Minggu, 26 Maret 2017

Menimbang Ridwan Kamil (1)

Politikus berpikir tentang pemilihan berikutnya,
negarawan berpikir tentang generasi mendatang
---JAMES F CLARKE, Pendeta Jerman, 1810-1888


SEANDAINYA Pilkada Jawa Barat digelar hari ini, maka Ridwan Kamil-lah pemenangnya. Ia layak dan pantas menjadi Gubernur, mengalahkan kandidat-kandidat lain yakni Deddy Mizwar, Dede Yusuf, dan Dedi Mulyadi.

Begitulah hasil exit-poll yang dilakukan beberapa lembaga survei, salah satunya Indo Barometer. Ridwan Kamil (RK) unggul telak dibanding tiga kandidat lainnya.

Sayang, Pilkada Jabar baru akan berlangsung pada tahun depan, 2018. Sehingga, segala kemungkinan masih akan terjadi. Peta politik di tanah Sunda itu masih bakal berubah-ubah dan bisa jadi sangat dinamis.

Ya, nama RK sejak lama memang popular dan dianggap yang paling punya elektabilitas tinggi untuk jadi orang nomor satu di Jabar. Karena itu, Partai Nasdem pimpinan Surya Paloh langsung bergerak cepat, mendeklarasikan RK sebagai bakal Cagubnya, pekan lalu. RK pun setuju atas dukungan itu.

Memang unik. Nasdem cuma punya 5 kursi tapi sudah berani mengusung RK. Tentu saja partai ini nanti harus berkoalisi dengan partai-partai lain. Nasdem sepertinya ingin membangun imej sebagai parpol yang leading membidik tokoh hebat sebagai calon kepala daerah, seperti halnya di DKI Jakarta ia yang pertama mendukung Ahok.

Sementara, Partai Gerindra yang sebelumnya mendukung RK sebagai Walikota Bandung, kemungkinan tidak akan menjagokannya lagi. Sepertinya parpol pimpinan Prabowo ini kecewa dan tak mau berkoalasi dengan Nasdem, yang notabene pendukung berat Presiden Jokowi.

Demikian pula PKS, yang pada Pilkada 2013 bersama Gerindra mendukung RK sebagai Walikota Bandung, tak akan lagi mendukung RK. PKS berencana mencalonkan Netty Prasetiyani, istri Gubernur Ahmad Heryawan (Aher)

Akankah RK berhasil meraih jabatan Gubernur Jabar pada 2018? Mari kita menimbang-nimbang.

Dari segi skill, kemampuan RK tak perlu diragukan lagi. Ia boleh dibilang sukses membangun kota Bandung. Banyak perubahan fisik maupun mentalitas masyarakat yang dilakukan sang arsitek ini. Penataan birokrasi di kota kembang itu juga terbilang bagus di bawah kepemimpinan RK. Sayang, kalau kinerjanya hanya diabdikan untuk satu kota, lebih baik untuk Provinsi Jabar.

Bahkan hampir saja RK ikut Pilkada DKI Jakarta 2017, yang berarti harus bersaing dengan Ahok. Namun, niatan itu berhasil dicegah Jokowi, dengan alasan para pemimpin hebat jangan numpuk di Jakarta. Lebih baik tersebar di banyak daerah, dalam hal ini RK lebih bermanfaat di Bandung saja, atau memimpin Jawa Barat saja.

Karier politik RK memang masih amat panjang. Kini ia baru berusia 46 tahun. Tapi, dalam usia mudanya, ia telah menunjukkan sebagai pemimpin yang cemerlang dan punya masa depan yang cerah. Terutama dari kinerja dan prestasi yang diukirnya.   

RK sudah punya modal yang sangat kuat dari segi prestasi. Lantas, bagaimana dengan dukungan politik dari partai-partai? Menyusul Nasdem, kemungkinan besar PDIP juga akan mendukungnya. Bahkan partai-partai yang berkolasi di pemerintahan Jokowi diprediksi bakal ikut mendukung pula, seperti: PKB, Hanura, dan PPP. Kecuali Golkar, karena punya calon yakni Dedy Mulyadi.

Karena itulah, sepertinya RK akan melenggang bebas meraih kursi Jabar 1. Meski mungkin ada pertarungan dengan beberapa kandidat lain, kans RK tetaplah yang terbesar. Asalkan, selama menjelang dan mendekati Pilkada 2018, ia bisa menjaga kualitas dirinya: prestasinya dan reputasinya.

Jangan lupa, goncangan politik dari kubu lawan begitu mudah muncul dan ada pula yang mengipas-ngipasinya. Contohnya saja, sehari setelah RK menerima dukungan dari Partai Nasdem, ia sudah mendapat serangan – entah dari mana asal-muasalnya – dengan tuduhan Syiah. Suka atau tidak, tuduhan ini bersifat negatif.

Terdengar pula suara nyinyir bahwa RK nafsu kekuasaan dengan mengincar kursi gubernur Jabar, sehingga rela menerima dukungan Nasdem, padahal Pilkada masih setahun lagi. Nasdem sendiri beralasan, pemimpin Jabar 1 harus jauh-jauh hari disiapkan, agar pada saatnya tiba tidak ’gelagapan’ alias asal pilih.

Dibanding kandidat lain, reputasi RK pun tetap unggul. Dengan Deddy Mizwar, misalnya. Meski Sang Nagabonar kini menjadi Wagub, tak terlihat prestasinya. Orang malah sering mengejek bahwa sang Wagub terlalu sibuk ’jualan sosis’ alias menjadi bintang iklan produk makanan tersebut.

Kemudian dibanding dengan Dedy Mulyadi, RK juga lebih diterima oleh masyarakat Jawa Barat. Dedy agak kontroversial lantaran kerap melakukan aksi budaya yang justru dianggap melanggar kearifan lokal.

Lantas, bagaimana dibanding Dede Yusuf?  Dede memang popular, tapi bukankah ia pernah kalah dalam Pilkada Jabar 2013? Walaupun Dede juga pernah punya pengalaman sebagai Wagub-nya Aher, namun kinerjanya juga tidak tampak. RK justru lebih prospektif, karenanya Dede pun bukan lawannya yang berat. Alhasil, sepertinya kursi Gubernur Jabar 2018 jatuh ke tangan RK.

Bila RK sudah menjadi Gubernur Jabar, akankah ia juga tergiur dengan kursi Wapres atau bahkan Presiden 2019? Bagaimana peluangnya? (Bersambung)  

Batavia, 26 Maret 2017.