Senin, 05 November 2012

Jangan Bersihkan Rumah Tangga Orang

''Semangat saya datang ke sini sebenarnya bukan
untuk mengurusi dan bersih-bersih rumah tangga orang lain.
Bukan. Saya justru harus mengurusi rumah tangga sendiri.
Di BUMN pun masih banyak masalah yang harus dibenahi''
--Dahlan Iskan, saat konfres di DPR, 5 November 2012

JIKA saja para pejabat dan penyelenggara negara ini bisa bersikap seperti Dahlan Iskan, alangkah baiknya republik ini. Setidaknya semangat antikorupsi bisa ditumbuhkan. Korupsi pun dapat dicegah sedini dan sekecil mungkin.  Kenapa? Sebab para pejabat dengan sadar menjaga kebersihan lembaganya masing-masing dari perilaku korupsi. Benar, untuk mengubah orang lain, bahkan mengubah dunia, harus dimulai dari perubahan pada diri sendiri.

Yang kerap terjadi justru sebaliknya: sang pejabat menutup-nutupi, melindungi si oknum, bahkan sebisa mungkin kasusnya tak terendus aparat hukum. Seolah bersih, nyatanya kotor penuh najis. Mereka malah menuding lembaga-lembaga lain yang korupsi. Saling tuding korup antarlembaga tidak ada gunanya. Institusi penegakan hukum seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang paling berwenang dan bisa membuktikan siapa-saipa saja yang:  paling korup, cukup korup, setengah korup, korup, dan bersih.

Dahlan sebetulnya enggan mengorek kesalahan lembaga lain. Baginya, bekerja jauh lebih penting daripada 'berpolitik.' Dia justru merasa perlu membenahi Kementerian BUMN sendiri yang dipimpinnya, yang diakuinya selama ini pun tak luput dari cap sarang korupsi. Stigma BUMN jadi ''sapi perah'' sudah ada sejak zaman Orba. Kalau terpaksa kini Dahlan datang ke DPR, itu lantaran undangan Badan Kehormatan, yang meminta klarifikasi seputar pernyataannya terdahulu bahwa ada sejumlah oknum anggota DPR yang meminta upeti dari BUMN. Dan, menurutnya, itu sangat mengganggu manajemen BUMN. Bukan hanya mengganggu, tapi merugikan publik. Bukankah uang yang dijadikan upeti itu adalah uang negara atau uang rakyat?

Meminta upeti, memalak, memeras, atau apa pun istilah yang lebih kasar dari itu, adalah modus-modus dari perilaku korupsi. Bukan saja tidak pantas dilakukan pejabat, tapi sudah merupakan tindak pidana atau penyelewengan jabatan dan kekuasaan. Jangan kira hanya anggota DPR yang melakukan itu. Di lembaga-lembaga lain pun konon sudah membudaya dan lumrah. Budaya kongkalikong, yang berujung pada korupsi, sudah jadi perilaku sehari-hari. Hanya saja, tidak pernah diungkapkan ke publik. Kalau kini terkesan DPR menjadi lembaga paling rakus minta upeti, tentu tak lepas dari keberanian Pak Dahlan mengungkapkannya. Bahkan jumlahnya konon lebih dari dua nama (yang telah diserahkan ke BK DPR), tapi bisa 8, 10, atau belasan oknum yang terbukti minta upeti. Rencananya Rabu (7/11) dia akan menyerahkan beberapa nama lainnya ke BK DPR.

Untuk itu Dahlan tentu tidak omdo; dia pegang bukti-bukti. Kalau kemarin dia tidak mau menyebut langsung nama-nama penerima upeti, ya karena merasa tidak enak saja. Bukan karena takut atau tidak berani. Kurang etis, begitulah kira-kira.

Demi keterbukaan dan pengawasan, memang baik dan silakan saja BK DPR mengumumkan nama-nama peminta upeti tersebut. Beberapa koran bahkan sudah menyebut nama mereka di judul berita. Setidaknya itu bisa dijadikan shock therapy guna mencegah perilaku korupsi, khususnya di kalangan anggota dewan. Sekarang yang terpenting adalah: bagaimana para pejabat  -- dari tingkat terendah hingga tertinggi, termasuk presiden -- dapat mengurusi dan membenahi lembaga yang dipimpinnya. Bersihkanlah masing-masing lembaga sendiri dari (kemungkinan) korupsi. Kalau semua lembaga negara sudah bersih, maka Indonesia bakal bebas dari korupsi.

Jangan mengurusi lembaga orang lain sebelum lembaga sendiri bersih dari korupsi. Jangan pula menuding lembaga lain korup padahal lembaga sendirilah yang korup.
Jangan membersihkan rumah tangga orang lain. Kecuali Anda babu atau pesuruh di rumah itu...

Jakarta, 6 November 2012
ZHM





Tidak ada komentar:

Posting Komentar