Minggu, 11 November 2012

Musim Hujan Vs Suhu Politik Indonesia

Dua gajah (elit politik ) bertarung, 
pelanduk (rakyat kecil) mati di tengah-tengah
--Pepatah Klasik


ADAKAH hubungan antara musim hujan dengan suhu politik Indonesia? Saya tidak tahu. Yang jelas, mulai November dan Desember 2012 ini musim hujan sudah datang. Sejumlah wilayah di nusantara diguyur air cukup deras dari langit. Bahkan beberapa daerah dilanda banjir. Musim hujan menyertai dinginnya udara dan cuaca, hingga bisa menggigilkan badan, tetapi -- sayangnya -- belum tentu mendinginkan hati dan pikiran.

Ya, hati dan pikiran orang Indonesia memang mudah panas. Sekarang pun sedang panas. Lihat saja: berbagai aksi kekerasan terjadi saban hari di mana-mana. Di rumah, di jalan, di pasar, di kampus, bahkan di tempat ibadah ada anarkisme. Perkelahian pelajar yang kian brutal tak kunjung usai. Antarsuku/etnis juga saling serang hingga berujung pada kerusuhan. Setelah Aceh, Kalimantan, Ambon, Poso, belum lama ini pun terjadi di Lampung. Konflik antarpejabat dan antarpolitisi juga tak pernah berhenti. Di DPR, di istana, di kantor pemerintah, dan lembaga-lembaga hukum, selalu terjadi polemik dan perang opini. Pendeknya, negeri ini tak pernah sepi dari orang berkelahi. Hati dan pikiran kita mudah panas dan terbakar. Padahal, seringkali hanya karena gesekan kecil atau masalah sepele.

Semua pihak suka ngotot dan saling serang. Lihatlah misalnya konflik antara KPK dan Polri dalam menangani perkara korupsi, ketegangannya berkepanjangan. Kemudian antara Menteri Dahlan Iskan dengan DPR terkait isu pemalakan BUMN, kedua pihak perang statement. Terbaru, perang opini antara orang-orang Istana Presiden dengan Ketua MK Mahfud MD soal dugaan mafia narkoba terkait grasi bagi terpidana kasus narkoba. Selain itu, juga saling kecam antara partai-partai politik dengan KPU soal verifikasi parpol peserta Pemilu 2014. Begitu panjangnya daftar konflik dan keributan itu. Begitu bisingnya jika kita mendengarkan semuanya. Panas, panas, dan suhu politik nasional pun memanas.

Stigma orang Indonesia ramah-ramah atau peramah, sebetulnya salah kaprah. Faktanya justru banyak orang Indonesia mudah marah dan jadi pemarah.  Beda pendapat, marah. Beda parpol, marah. Beda calon gubernur, marah. Beda capres, marah. Beda keyakinan atau agama pun, marah. Wah, parah! Kata seorang teman -- tapi saya tidak percaya -- itu akibat letak geografis wilayah nusantara dikelilingi api (ring of fire) atau gugusan gunung berapi,  sehingga hati dan pikiran orang Indonesia mudah panas dan terbakar. Akibatnya, sering terjadi konflik dan keributan.

Menurut saya, masalahnya berpangkal pada pendidikan dan mental. Warga, politisi, dan pejabat yang berpendidikan serta bermental bagus, tidak akan mudah terbakar emosi ketika menghadapi konflik. Mereka tenang, tidak kebakaran jenggot, tidak menghujat lawan,  dan dapat menyelesaikan kasusnya dengan akal sehat. Mereka tahu diri dan sadar diri, termasuk mengaku salah jika salah. Masih ada orang biasa dan tokoh-tokoh yang bersikap demikian. Mereka takkan pernah bikin onar atau keributan. Mereka menjaga toleransi. Mereka lebih mementingkan NKRI ketimbang ambisi dan nafsu pribadi. Cuma jumlahnya mungkin segelintir saja.

Selain itu, juga akibat tidak adanya keteladanan dari kepemimpinan nasional. Tak ada top leader yang benar-benar bisa jadi panutan. Ucapan, perilaku dan semua tindak-tanduknya dapat dijadikan contoh teladan bagi semua orang, terutama yang muda-muda. Kini tak ada yang semacam itu, tak ada yang se-ideal itu. Akibat tak ada panutan atau pegangan, orang pun berjalan sendiri-sendiri sambil memaksakan kehendak pribadi atau kelompoknya. Terjadilah gesekan kepentingan. Hingga suhu politik jadi panas.

Siapa tahu musim hujan yang datang dapat mendinginkan hati dan pikiran kita, melembutkan hati dan pikiran para elit politik Indonesia, tanpa harus kehilangan ide-ide kreatif dan semangat untuk terus bekerja! 

Jakarta, 12 November 2012
ZHM


Tidak ada komentar:

Posting Komentar