Kamis, 08 November 2012

Pejabat (Negeri) yang Aneh

IGNORANTIA LEGIS NON EXCUSAT 
Pengabaian hukum tidak dapat dimaafkan atau dimaklumi


REPUBLIK ini memang aneh. Begitu banyak pejabat pemerintah kesandung kasus hukum. Sebanyak 281 kepala daerah dalam status sebagai saksi, tersangka, terdakwa, dan terpidana. Ada yang sudah lengser, tetap bertahan, dan sebaliknya malah ada yang dipromosikan serta diangkat kembali jadi pejabat. Data lain juga menyebut: 153 pegawa negeri sipil (PNS) adalah bekas terpidana. Mereka menjadi pejabat struktural.

Anehnya, baru sekarang Kementerian Dalam Negeri tersadar dan mengeluarkan surat edaran agar mereka jangan dipilih. Atau segera diberhentikan. Lebih aneh lagi, Mendagri Gamawan Fauzi lebih sering mengeluhkan keadaan itu. Mengapa tidak dari dulu saja dia membereskan sistem birokrasi dan pola rekrutmen pejabat yang tak becus itu.

Contoh kasus: di Maluku,  misalnya, terjadi pengaktifan dan pengangkatan kembali terpidana korupsi Bupati (nonaktif) Kepulauan Aru, Thedy Tengko, yang konon atas persetujuan Presiden SBY. Berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa setempat memprotes keras keputusan itu, namun tak digubris. Gubernur Maluku tetap berpegang pada restu Mendagri dan setuju Presiden.

Di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, juga ada pengangkatan empat pejabat bekas terpidana korupsi. Pihak Pemkab Karimun tampaknya berlagak pilon. Padahal,  pengangkatan mereka diduga melanggar surat edaran Mendagri Nomor 800/4329/SJ tanggal 29 Oktober 2012 Tentang Pengangkatan Kembali PNS dalam Jabatan Struktural. Ini contoh kecil saja, tentu masih banyak kasus serupa yang terjadi di sejumlah daerah.

Memang, setiap warga negara punya hak yang sama untuk dipilih atau diangkat jadi pejabat. Apalagi jika tidak melanggar aturan hukum formal, ya silakan.Tapi jangan lupa, hukum tak tertulis juga bisa berlaku bahkan terkadang lebih kuat karena menyangkut sosial dan adat. Ada hukum kepatutan dan kepantasan. Seseorang yang pernah divonis bersalah, pernah dihukum atau dipenjara misalnya karena kejahatan korupsi, masih patutkah menjadi pejabat publik? Masih pantaskah mereka memimpin rakyat? Tidakkah sebaiknya memilih orang lain yang masih bersih? Nah, hal seperti ini sungguh penting jadi bahan pertimbangan.

Pejabat yang moralnya cacat akan sulit dipercaya rakyat. Akibat kehilangan trust (kepercayaan), dia akan goyah dan tidak dapat memaksimalkan kinerjanya. Apalagi jika kecacatan moralnya itu selalu jadi pemicu rongrongan dari berbagai pihak, maka tak ada gunanya lagi dia jadi pejabat. Ibarat macan ompong yang bengong.

Memang, pejabat bukanlah malaikat. Tak ada yang 100 persen sempurna. Selalu ada sisi lemah dan buruknya. Tapi, bukan berarti tidak ada pilihan yang baik dan terbaik. Pasti tersedia banyak calon pejabat yang baik terutama dari segi moral. Tinggal penguasa mau atau tidak memilih mereka.  Terlalu mahal dan berbahaya menyerahkan negara ini ke tangan para pejabat jahat atau yang cacat moral, termasuk yang pernah mengkorupsi uang rakyat. 

Ke depan, harus ada keberanian dari penguasa dan rakyat: hanya memilih atau mengangkat pejabat yang baik dan benar-benar baik. Ajang Pilkada, Pileg dan Pilpres, harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk memilih pejabat publik yang baik. Orang baik pasti memilih orang baik. Takkan mungkin memilih yang jahat. Kebaikan menularkan kebaikan.

Jakarta, 9 November 2012.
ZHM



  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar