Jumat, 16 November 2012

Republik "Kuburan Kasus"

Perdamaian tanpa keadilan adalah tirani
--William A White, Politikus Amerika (1868-1944)

JIKA Anda seorang peneliti, tak usah jauh-jauh ke luar negeri. Di sini saja, di Indonesia, begitu banyak kasus yang bisa Anda teliti. Anda bebas memilih: kasus kriminal, kasus politik, kasus hukum, kasus pelanggaran HAM, kasus ekonomi, kasus olahraga, semuanya ada. Bahkan kasus SARA pun tersedia. Ya, di Indonesia memang ada beribu-ribu kasus menumpuk yang terjadi hampir saban hari. Sayangnya, tidak semua kasus dapat diselesaikan. Lebih banyak yang ditunda penyelesaiannya, dibiarkan, dipetieskan, bahkan dikubur untuk selamanya. Maka pantaslah bila negeri ini berjuluk ''republik kuburan kasus.''

Seluas manakah kuburan kasus itu? Tergantung bidangnya. Kasus kriminal, misalnya, mungkin bisa diibaratkan seperti TPU (Tempat Pemakaman Umum) Tanah Kusir dan TPU Karet Bivak. Cukup luas arealnya dan yang dikubur adalah kasus-kasus yang menyangkut orang biasa. Lantas kuburan kasus politik dan hukum bisa diumpamakan TMP (Taman Makam Pahlawan) Kalibata atau mirip juga dengan Pemakaman Sandiego Hills di Karawang. Arealnya cukup luas tetapi yang dikubur adalah kasus-kasus yang melibatkan kaum elit dan penguasa.  

Sebagai kuburan kasus, tentu saja tidak mudah untuk diutak-atik lagi. Jarang ada kuburan yang dibongkar dan mustahil pula menghidupkan orang yang telah mati. Kuburan kasus itu hanya bisa diziarahi dan lebih sering cuma untuk ditangisi. Para keluarga korban nyaris tak berdaya. Sebut saja misalnya: Kasus Tragedi Tanjung Priok 1984, Kasus Kerusuhan Mei 1998, Kasus Penembakan Mahasiswa Trisakti dan Kasus Semanggi I & II, hingga kini belum juga terselesaikan. Padahal keluarga korban sudah mengadu ke DPR dan menggugat sana-sini, tapi hasilnya nihil. Mahasiswa hanya bisa meneriakkannya lewat aksi unjuk rasa.

Kemudian Kasus Penculikan Aktivis dan Kasus Kematian Munir adalah dua kasus pelanggaran HAM berat yang begitu sulit dituntaskan. Keluarga korban sudah mengadu ke mana-mana. Para aktivis juga telah membantu memberikan advokasi ke banyak biro bantuan hukum. Tetapi semua usaha itu selalu kandas. Sepertinya ada tembok besar yang menghalanginya, sehingga belum juga tampak siapa pelaku dan otak di balik kejahatan kemanusiaan ini. Pemerintah yang berkuasa pun bungkam, seolah menutup mata dan telinganya.

Hal yang sama terjadi pada penanganan kasus korupsi. Kasus dugaan korupsi Soeharto, misalnya, begitu berbelit-belit penyelesaiannya hingga mantan penguasa Orde Baru itu wafat, kasusnya tak kunjung terselesaikan. Lantas Kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dan Kasus Bailout Bank Century, cuma serius di awal tetapi kini macet total. Apalagi kasus Century, cuma jadi bahan retorika dan mainan politik para elit. Sampai detik ini belum juga dibongkar siapa-siapa saja yang telah mengambil uang rakyat dengan dalih mencegah krisis ekonomi. 

Demikian pula Kasus Korupsi Wisma Atlet dan Kasus Korupsi Sport Center Hambalang, baru para kroconya saja yang bisa disentuh (atau dikorbankan?), sedangkan biang kerok dan dalangnya belum juga terjerat. Begitu lambatnya penyelesaian kasus ini. KPK sebagai lembaga paling berwenang menangani perkaranya, lebih sering hanya mengumbar janji bakal ada tersangka baru. Katanya besok, nyatanya belum. Jangan-jangan kasus ini pun akan masuk ke liar kubur.

Rakyat Indonesia, khususnya para korban dan keluarga korban, sudah capek mengadu ke wakil rakyat di DPR. Namun aduan mereka cuma masuk kuping kanan dan keluar lagi ke kuping kiri. Mereka juga sudah lelah menuntut keadilan ke sana-sini, tetapi sang Dewi Keadilan hanya bisa menangis lantaran jaksa dan para hakim bisa dibeli. Hukum bak sendal jepit. Keadilan hanya milik orang berduit.

Lantas, apa gunanya keberadaan Presiden, Anggota DPR, Kepolisian, Kejaksaan Agung, bahkan KPK,  kalau hanya bisa menggali kubur bagi ribuan kasus yang merugikan serta mengorbankan rakyat banyak?   

Jakarta Barat, 17 November 2012
ZHM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar