Senin, 19 November 2012

Sutiyoso Vs Jokowi: Kritik Yes, Fitnah No!

Pujian adalah teror 
--Tukul Arwana

SEJATINYA, tidak ada seorang pun yang mau dikritik. Semua orang ingin dipuji. Apalagi kritik yang pedas atau keras, pasti selalu dihindari. Padahal dengan kritiklah kekurangan dan kekeliruan kerapkali dapat diperbaiki. Asalkan kritiknya konstruktif. Sedangkan pujian seringkali membuat orang terlena dan lupa diri, akhirnya jatuh. Makanya, tokoh-tokoh besar dunia dalam berbagai bidang, respek terhadap kritik karena bisa dijadikan koreksi dan masukan berharga. Demokrasi yang ideal juga mensyaratkan adanya kritik sebagai check and balance.

Sayangnya, Gubernur Jokowi dan Wagub Ahok langsung bereaksi menyikapi kritik yang datang dari Sutiyoso, mantan Gubernur DKI Jakarta dua periode (1997-2007). Sutiyoso mengeritik Jokowi yang getol blusukan alias keluar-masuk perkampungan di Jakarta sejak dirinya jadi gubernur. Menurutnya, cukuplah Jokowi turun ke lapangan, sekarang waktunya bekerja membangun Jakarta, mewujudkan janji-janji kampanyenya. ''Masalah di jakarta yang dicari sudah diketahui, keadaan rakyatnya seperti apa. Turun ke lapangan sudah cukup, saatnya action,'' kata Sutiyoso usai menghadiri peringatan Milad Muhammadiyah ke-100 di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Minggu 18 November 2012.

Ahok sebagai bawahan Jokowi langsung menangkis kritik tersebut sambil menyindir Sutiyoso. Menurut Ahok, saat Sutiyoso alias Bang Yos dipilih sebagai gubernur DKI, tidak ada pemilihan kepala daerah secara langsung. Sutiyoso dipilih oleh DPRD,  berbeda dengan sekarang. ''Bang Yos kan nggak dipilih langsung, ya nggak perlu blusukan ke kampung-kampung. Dia cuma perlu ke DPR aja. Kalau sekarang kami kan dipilih rakyat secara langsung, jadi beda. Dan jelas beda,'' kata Ahok, membela Jokowi. 

Mestinya Ahok tidak perlu bereaksi keras seperti itu. Sikapi saja dengan santai, tak perlu emosional dan frontal. Kenapa? Toh kritik yang disampaikan Sutiyoso tidak salah besar. Sebab, Jokowi dan Ahok juga perlu menata administrasi dan birokrasi di dalam sebagai bagian dari manajemen Pemprov DKI Jakarta. Kalau terus menerus ke lapangan, tentu banyak hal terbengkalai, yang secara administrasi mungkin perlu segera diketahui dan kemudian didisposisi atau diputuskan. Lagi pula, Sutiyoso bukanlah sembarang orang. Sebagai mantan gubernur dua periode, tentu dia tahu banyak tentang cara membangun Jakarta dan karena itu dia layak serta punya kapasitas menyampaikan kritik bagi juniornya, gubernur penerusnya.

Ada segelintir orang mengatakan Sutiyoso merasa iri dengan mereka (Ahok dan Jokowi) sehingga melontarkan kritik. Apalagi saat Pilkada lalu Sutiyoso diyakini pro Fauzi Bowo. Padahal belum tentu begitu. Ketika menjadi gubernur, Sutiyoso dikenal sebagai orang yang tidak alergi terhadap kritik. Kritik yang datang kepadanya justru bertubi-tubi, bahkan amat keras. Namun Sutiyoso selalu merespon kritik yang datang dengan bekerja, terutama kritik yang baik dijadikannya ide pembangunan. Proyek Busway yang kini dirasakan banyak orang/warga Jakarta, adalah salah satu wujud responnya terhadap kritik tentang kemacetan. 

Karena itu, sikap Ahok tersebut justru bisa berakibat fatal: dirinya akan dicap sebagai pejabat publik yang antikritik. Itu sangat negatif. Di saat kampanye dan setelah menang Pilkada lalu dia dan Jokowi sempat mengatakan akan menjadikan Sutiyoso sebagai penasihatnya. Apakah dia lupa? Kalaupun tidak jadi, bukan berarti tak perlu mendengar kritik atau saran Sutiyoso. Kecuali jika yang disampaikannya fitnah, boleh saja ditentang atau dilawan. Fitnah bukan kritik, siapa pun wajib menolaknya. Kalau kritik yang membangun, tentu lebih baik didengarkan. 

Bila sikap antikritik terus ditampilkannya, maka lama-lama Ahok maupun Jokowi akan dicap sebagai pejabat daerah yang pongah alias sombong. Mestinya dia tetap legowo, rendah hati, membuka telinga,  dan menghargai saran atau pendapat seniornya. Itu sejalan dengan semangat perubahan serta konsep Jakarta Baru yang diusungnya. Dan, bukankah dengan sifat dan sikap semacam itulah Jokowi-Ahok bisa terpilih sebagai Gubernur DKI?

Jangan sampai, belum 100 hari bekerja, sudah ''lupa kacang akan kulitnya''. Itu berbahaya.

Pos Pengumben, 20 November 2012.
ZHM 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar