Senin, 26 November 2012

Wapres Pun Bisa ''Konyol'' di Jalan Raya

Hidup di negeri ini seperti di dalam kampung
di mana setiap orang ingin membuat peraturan
--Sajak (alm) Subagyo Sastrowardoyo


KASUS pengeroyokan dan pemukulan yang menimpa Jubir FPI (Front Pembela Islam) Munarman, menarik untuk ditelisik. Gara-garanya memang sepele, membunyikan klakson mobil, tapi lantaran tidak tepat maka berakibat fatal. Insiden ini bermula ketika Senin (26 November 2012) Munarman keluar dari rumahnya di kawasan Pondok Cabe hendak menuju Cinere dengan mengendarai mobil Mutsubishi Pajero. Di tengah jalan tiba-tiba ada sepeda motor yang menyalipnya. Munarman kesal dan spontan membunyikan klakson hingga berkali-kali. Rupanya, si pengendara motor tidak terima dan malah menggetok kaca mobil Munarman hingga pecah. Singkat cerita, terjadilah cekcok mulut hingga akhirnya Munarman pun sempat dipukul oleh dua pengendara motor tersebut.

Klakson memang perlu dibunyikan pengendara mobil atau motor. Tapi, harus tahu kapan membunyikannya. Misalnya ketika hendak mendahului kendaraan di depan, memberi sinyal akan belok kiri atau kanan, atau juga saat mengingatkan pengendara di lampu merah harus jalan karena lampu lalulintas sudah hijau.  Apa yang dilakukan Munarman memang kurang tepat, bahkan tidak elok. Meskipun dia dalam kondisi kesal atau marah, membunyikan klakson dengan keras dan berkali-kali tentu bisa membuat pengendara lain terganggu dan tersinggung.

Jalan raya meski merupakan sarana publik, memang tidak pernah sepi dari konflik. Sebab di sinilah bertemunya banyak orang dengan berbagai suku, karakter, tabiat, dan kepentingan. Sayangnya, orang cenderung hanya mementingkan dirinya sendiri. Saling mendahului dan saling sodok, begitulah yang sering terjadi. Di jalanan, semua orang cenderung terburu-buru seolah sedang dikejar-kejar hantu. Semua serba tergesa-gesa. Hampir tak ada yang mau mengalah. Maka sering terjadi keributan hanya lantaran didahului kendaraan lain atau jalurnya diserobot dari belakang. Rambu dan aturan laluintas yang sejatinya untuk melancarkan malah dilanggar, hingga terjadilah kesemrawutan dan kekacauan. Ini sudah menjadi pemandangan sehari-hari di kota-kota besar khususnya Jakarta.

Padahal, kalau setiap orang mau menggunakan jalan raya secara wajar, maka lalulintas akan lancar. Kebanyakan orang merasa jalanan adalah miliknya sendiri. Apalagi kalangan pejabat tinggi, tak jarang menunjukkan kesombongan di jalanan. Pernah ada anggota DPR marah dan langsung menodongkan pistol ke arah pengendara sepeda motor yang menyenggolnya. Ada juga anak seorang pejabat berhenti di tengah jalan hanya gara-gara mobilnya terhambat kendaraan lain di depannya. Ia turun dari mobil dan berkacak pinggang sambil marah-marah, hingga membuat kemacetan yang panjang.

Jangankan orang biasa, pejabat tertinggi pun -- yang notabene seharusnya mengerti dan taat hukum -- kerap bertindak konyol ketika di jalan raya. Ingatlah dulu pernah mobil yang membawa Wapres Hamzah Haz tiba-tiba nyelonong boy di jalur busway lantaran Jalan Raya Sudirman sedang macet. Gubernur DKI (ketika itu) Sutiyoso sempat melontarkan protes ke pihak Wapres, kenapa sampai melanggar aturan lalulintas. Seharusnya menjadi contoh yang baik bagi warga dan pengguna jalan raya.

Rombongan Presiden SBY pernah mengalami insiden di tol Jagorawi. Yakni menabrak beberapa pengendara. Masalahnya, ketika rombongan dari Cikeas itu hendak menuju Istana Negara di Jakarta, jalan tol secara tiba-tiba dikosongkan. Akibatnya banyak yang mendadak menghentikan kendaraannya karena ''si komo'' mau lewat. Maka terjadilah tabrakan beruntun. Meski tidak besar tetapi tetap membahayakan. Mestinya, sesuai protap (prosedur tetap) jalanan sudah harus dikosongkan atau pengendara lain minggir, 5 atau 10 menit sebelum rombongan Presiden lewat. Ya, begitulah, kalau jalanan pun dianggap hanya milik pejabat!  

Ya, jalan raya adalah cermin dari kepribadian banyak orang. Di situ kita bisa melihat karakter masing-masing orang. Ada yang pamer mobil mewah, ada yang unjuk kekuatan dan kesangaran, ada yang gampang marah, ada pula yang cepat emosional menghadapi kenyataan/kemacetan. Jalan raya juga menjadi ujian bagi setiap orang: apakah ia mampu bersabar menghadapi kemacetan, apakah ia menghargai pengendara lain, apakah juga ia bisa bertoleransi dengan para pejalan kaki. Atau sebaliknya. Silakan tes pada diri masing-masing....

Kebon Jeruk, 27 November 2012.
ZHM  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar