Jumat, 28 Desember 2012

Ketika Dunia Akting ''Overacting''

Membuat yang rumit menjadi sederhana itulah kreativitas
--Charles Mingus, musisi jazz (1922-1979)
-----------------------------------------------------------------------------------

''Camera....roll action......
        Cut!   Cut!   Cut!..........
                 Ayo diulang lagi...''

ANDA pasti paham, begitulah teriakan sutradara film saat mengambil atau merekam adegan. Ia yang memerintahkan artisnya mulai berakting, ia pula yang tiba-tiba menyetopnya dan lalu mengulangnya. Sutradara menjadi pengarah sekaligus berkuasa penuh bagi adegan-adegan yang akan direkamnya. Untuk pengambilan gambar yang bagus dan serealitas mungkin, kadang harus memilih lokasi yang sesungguhnya. Bukan settingan atau rekayasa. Misalnya: dalam rumah sakit, kampus, kantor perusahaan, kuburan, hutan belantara, bahkan tempat yang sulit pun harus ditempuh, agar menghasilkan gambar yang benar-benar nyata.

Tapi, sebuah syuting sinetron di RS Harapan Kita, Jakarta, membawa petaka. Seorang pasien penyakit kanker bernama Ayu Tria Desiani meninggal dunia gara-gara di dekat ruang ICCU tempatnya dirawat dipakai syuting sinetron Love in Paris. Musibah ini terjadi Kamis (27/12/2012) sekitar pukul 02.30 WIB. Pihak rumah sakit kemudian dipanggil pihak berwenang (Depkes). Bahkan, pasca insiden ini,  bakal ada larangan rumah-rumah sakit serta puskesmas harus steril alias tidak boleh dipakai syuting (berita lengkap, baca koran Nonstop edisi 28 Desember 2012).

Sangat disayangkan peristiwa sedih itu terjadi. Alih-alih menjaga dan mengobati orang sakit, malah membuatnya meregang nyawa. Pihak rumah sakit, produser, sutradara dan kru pembuat sinetron tersebut harus bertanggung jawab terhadap kematian korban. Walau mungkin tidak disengaja, tapi ini sebuah keteledoran yang fatal. Proses syuting tersebut setidaknya ikut memicu kematian Ayu. Akting yang overacting! begitulah kita menyebutnya.

Proses syuting sebuah film atau sinetron memang tidak sederhana. Kadang menggunakan banyak peralatan. Dari kamera, lighting, mick, speaker, diesel, dan kabel-kabel. Semua ini seringkali harus masuk ke dalam ruangan yang sempit. Belum lagi para artis dan kru yang terlibat dalam syuting itu, bisa membuat ruangan terasa sumpek. Waktu yang dipakai pun tak cukup dua-tiga jam, bisa sehari-semalam. Bayangkan jika ini dilakukan di ruang ICCU/Isolasi rumah sakit yang seharusnya hening demi ketenangan pasien. Mungkin sekali Ayu sangat terganggu oleh kegiatan syuting itu, sehingga sampai meninggal dunia.

Sebagai bandingan, kantor Graha Pena Jakarta (di kawasan Kebayoran Lama Jakarta Selatan) juga pernah beberapa kali dipakai untuk syuting sinetron. Di kantor ini ada ratusan wartawan bekerja menggarap beberapa koran dan majalah. Memang, di situ dilakukan pengambilan gambar adegan para jurnalis sedang membuat berita. Tapi ketika syuting dilakukan, para jurnalis itu juga merasa terganggu. Saya ingat betul betapa kami menjadi kurang konsentrasi karena kru pembuat sinetron lalu-lalang di depan meja kerja. Begitu pula cahaya lampu dan sorot kamera mengganggu ketenangan. 

Yang paling terasa mengganggu adalah ketika sang artis salah berakting. Oleh sutradaranya disuruh mengulang lagi, lagi, dan lagi. Atau, ada juga artis sinetronnya yang berulah: berteriak, tertawa-tawa, dan melebih-lebihkan aktingnya. Pokoknya, overacting banget. Tidak semua wartawan senang bila kantornya dipakai syuting sinetron atau film. Lebih banyak yang merasa terganggu karena mereka butuh konsentrasi penuh terutama menjelang deadline. Apalagi di rumah sakit tempat orang-orang sakit sedang dirawat, maka syuting sinetron atau film tentu amat mengganggu.

Tidak jarang kegaduhan juga terjadi manakala syuting sinetron tersebut ditonton masyarakat. Kadang banyak orang -- terutama ibu-ibu dan remaja -- berdatangan karena ingin bertemu atau melihat artis idolanya berakting. Mereka berteriak meng-elu-elu-kan sang idola. Merasa tersanjung, sang artis seringkali juga tampil overacting alias berlebihan. Dalam keadaan seperti itulah syuting film kadang seperti suasana pasar. Ramai, gaduh, dan semrawut.

Jadi harus bagaimana?

Banyak yang menyarankan sebaiknya lokasi syuting -- terutama rumah sakit, kuburan, dan tempat-tempat yang tidak mengganggu privasi orang serta tidak merusak sarana publik -- dibuat settingan alias rekayasa saja. Seolah-olah lokasi sesungguhnya, padahal cuma buatan belaka. Memang beberapa sineas Indonesia sudah melakukan itu, tetapi kebanyakan cenderung mengambil cara gampangan saja yakni memakai lokasi sungguhan. Untuk lokasi yang tak berisiko mungkin tidak apa-apa, tapi rumah-rumah sakit, puskesmas, dan kuburan, sebaiknya jangan. Tanah dan nisan kuburan, misalnya, banyak yang rusak terinjak-injak karena dipakai syuting sinetron. 

Para pekerja dan pembuat sinetron atau film Indonesia memang harus belajar banyak dari Hollywood (industri film Amerika) dan Bollywood (industri film India). Mereka bisa menciptakan lokasi-lokasi imitasi yang sangat mirip dengan lokasi sungguhan. Satu contoh film Titanic. Adegan laut, gunung es dan tenggelamnya kapal pesiar tersebut tidak dilakukan di tengah lautan, tapi laut bikinan dalam studio. Ternyata hasilnya luar biasa; seakan terjadi di lokasi sungguhan seperti ratusan tahun silam. Tentu saja untuk bisa membuat film seperti itu dibutuhkan keseriusan/profesionalitas, pengetahuan, kecerdasan, dan kreativitas.  

Bukan sekadar bikin. Bukan asal acting. Bukan pula overacting....

Pos Pengumben, 29 Desember 2012
ZHM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar