Jumat, 14 Desember 2012

''Kiamat'' di Partai Demokrat?

Semua partai politik pada akhirnya mati karena 
menelan kebohongannya sendiri
--Arbuthon, pemikir dan aktivis politik Inggris

RAMALAN Suku Maya bahwa tahun 2012 ini bakal terjadi kiamat benar ''terbukti.'' Setidaknya itu menimpa Partai Demokrat di Indonesia. Bukankah parpol yang dikomandani SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) itu tengah berada di titik nadir? Pamornya terus merosot, citranya memburuk, bahkan banyak kalangan memprediksi Partai Demokrat bakal ambruk di Pemilu 2014. Padahal partai ini menang Pemilu 2009 serta dua periode pula menjadi partai berkuasa.

Tentu banyak faktor penyebabnya. Terutama karena sejumlah kadernya terjerat kasus korupsi. Dari Muhammad Nazaruddin, Angelina ''Angie'' Sondakh, Hartati Murdaya, dan terakhir Andi Alfian Mallarangeng. Bahkan sang Ketua Umum, Anas Urbaningrum, disebut-sebut dan ditengarai bakal bernasib sama, menyusul mereka. Nazar sudah divonis penjara. Angie dan Hartati kini ditahan KPK dan perkaranya masih dalam persidangan. Sedangkan Andi sudah ditetapkan sebagai tersangka, tinggal menunggu panggilan pemeriksaan dan hampir bisa dipastikan juga akan masuk tahanan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). 

Ironis sekali. Semula mereka berteriak lantang bahkan menjadi ikon atau bintang iklan antikorupsi. ''Katakan tidak pada korupsi! Katakan tidak pada korupsi!''  Begitulah akting mereka dalam tayangan televisi dan cetakan di koran-koran. Nyatanya dan akhirnya justru satu per satu di antara mereka masuk bui karena korupsi.

Mereka itu bukanlah kader-kader biasa. Mereka adalah fungsionaris dan punya kedudukan penting atau strategis di Partai Demokrat. Tapi, lantaran kesandung kasus korupsi, jabatan mereka sudah dipreteli alias dicopot. Sedangkan posisi Anas yang juga ''rawan'' seakan menyandera partai tersebut, sehingga sulit sekali menaikkan rating atau elektabilitas partainya menjelang Pemilu Legislatif (Pileg) yang akan berlangsung kurang dari dua tahun lagi.

Bukan cuma itu. Ulah beberapa kadernya yang lain juga menjadi blunder dan merugikan partai. Terutama mereka yang vokal tetapi kadang ngawur, hantam kanan-kiri dan menimbulkan antipati publik. Misalnya pernyataan Sutan Bhatoegana tempo hari bahwa Gus Dur lengser karena kasus korupsi. Meski pernyataan ini dicabutnya dan dia sudah minta maaf ke keluarga besar Gus Dur, tidak lantas menaikkan derajat partai. Justru menambah beban. Pernyataan Ruhut Sitompul juga kerap tidak produktif, sehingga menambah beban berat partai. Ruhut sendiri baru saja dicopot dari jabatannya di partai, namun tak berpengaruh pada perbaikan partai. Alhasil, Partai Demokrat kian surut dan malah bisa ditinggal pergi konstituennya sendiri...

Dalam beberapa jajak pendapat atau polling yang dilakukan lembaga-lembaga survei, ranking Partai Demokrat tak lagi berada di puncak. Masa keemasan 2009 nyaris hilang. Sudah kalah dibanding Partai Golkar dan PDI Perjuangan. Kedua parpol ini cenderung bertahan dalam posisi pertama dan kedua serta berebutan menjadi yang teratas. 

Sebagai partai penguasa dan pemenang pemilu lima tahun lalu, mestinya Partai Demokrat bisa lebih percaya diri. Nyatanya malah jadi galau dan tidak berkembang. Benar kata pepatah ''merebut kemenangan jauh lebih mudah daripada mempertahankannya.'' Kegalauan Partai Demokrat selain karena perilaku sejumlah kadernya juga lantaran sikap dan kinerja pemerintahan SBY. Terutama kabinetnya yang terbentuk dari koalisi beberapa partai besar, justru membelenggu dan tidak membuat SBY jadi kreatif. 

Begitu banyak tarik-menarik kepentingan sehingga SBY kerap ragu dan lamban mengambil keputusan dalam kebijakan pembangunan. Inilah risiko dari rangkap jabatan. SBY adalah Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, dan beberapa menterinya adalah ketua umum atau pengurus dari beberapa partai politik yang berkoalisi. Dalam banyak hal terjadilah conflic of interest  dan sulit dibedakan: mana kepentingan negara dan rakyat, mana pula kepentingan partai politik,  yang mereka perjuangkan. Yang kerap terjadi adalah campur-aduk dua kepentingan tersebut. 

Bukan berarti Partai Demokrat adalah partai yang paling buruk. Bukan. Partai-partai lain, bisa jadi sama tidak bagusnya. Beberapa kader partai lain juga terlibat kasus korupsi. Bermutunya sebuah partai politik bisa diukur: seberapa besar manfaatnya bagi rakyat banyak, khususnya bagi konstituennya. Seberapa besar partai tersebut membawa aspirasi serta memperjuangkan nasib rakyat -- entah selagi berada di pemerintahan, di dalam maupun luar parlemen. Kalau cuma mengumbar janji, tanpa bukti, itu partai omong kosong namanya. Apalagi sampai korupsi, itu pengkhianat namanya. Cepat atau lambat akan ditinggal dan dilupakan rakyat.

Pos Pengumben, 15 Desember 2012
ZHM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar