Kamis, 20 Desember 2012

Orang Baik Korban Politik

Apabila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya,
maka tunggu saat kehancurannya
-- Hadits Nabi, Riwayat Imam Bukhori


DALAM politik, begitu dekat jarak istana dengan penjara. Tahun lalu masih berkuasa, boleh jadi tahun ini sudah masuk bui. Kemarin masih asyik duduk di empuknya kursi jabatan tinggi, bisa jadi hari ini sudah meringkuk di balik terali besi. Kisah tragis yang dialami M Nazaruddin, Angelina Sondakh, atau Hartati Murdaya, misalnya, adalah contoh sederhana dan paling nyata di depan kita.

Mereka -- ketiganya adalah kader Partai Demokrat -- sempat berada di lingkungan dan lingkaran istana, menjadi anggota partai penguasa, dan menikmati kekuasaannya. Tapi semua yang ada di genggaman itu lenyap dalam sekejap. Harta, pengaruh, dan harga diri, kini nyaris tiada lagi. Politik telah melambungkan taraf kehidupan mereka tetapi juga menjatuhkannya ke jurang terendah. Zero to Hero to Zero, begitulah kira-kira grafik kehidupan para politisi yang terjerat kasus korupsi.

Banyak orang mungkin heran: mengapa mereka sampai bernasib demikian? Ya, begitulah politik. Bagi mereka yang tidak pandai dan lihai memainkannya, begitu mudah tergelincir. Mereka hanya akan jadi bulan-bulanan dan akhirnya menjadi korban permainan kekuasaan. Thomas Jefferson, Presiden ketiga Amerika Serikat (1743-1826) pernah mengingatkan, ''Politik adalah suatu siksaan, yang saya sarankan semua orang tidak bergaul dengannya.'' Kurang lebih sama dengan yang dikatakan sastrawan Inggris, George Orwell, bahwa: semua persoalan adalah persoalan politik, dan politik itu merupakan kumpulan dusta, penyingkiran, kebodohan, kebencian dan skyzofrenia.

Penyanyi Iwan Fals juga dalam lirik sebuah lagunya mempertanyakan: apakah selamanya politik itu kejam?/Apakah selamanya dia datang tuk menghantam? Politik terasa kejam bagi mereka yang bukan hanya tidak lihai memainkannya, tapi juga memang tidak tepat berada di dalamnya. Bukan maqom-nya, bukan dunianya, bukan bidangnya, bukan basic-nya, bukan profesinya. Mereka pasti akan menderita. Masih untung kalau tersingkir dengan cara baik-baik, tapi amat celaka jika dengan cara yang keji terutama akibat terlibat kasus korupsi. 

Itulah sebabnya, tokoh pers dan konglomerat media Dahlan Iskan (kini Menteri BUMN) seringkali mengingatkan kaum profesional muda agar tidak mudah tergoda politik alias terjun ke politik praktis. ''Jauhi politik, jauhi politik, lebih baik kerja, kerja dan kerja. Hanya itu kalau bangsa ini mau maju,'' katanya. Kecuali bagi mereka yang sedari dini memilih karier sebagai politisi, terjun ke politik merupakan keharusan. Tetapi bagi orang-orang yang tidak memiliki basic atau tak bernasib baik dalam  politik, sangat mudah mengalami kegalauan dan kerapkali berakhir sia-sia.

Contoh kasus. Amien Rais misalnya, dulu dikenal sebagai akademisi UGM atau pakar ilmu politik yang cerdas dan kritis. Kemudian dia terjun ke politik praktis lewat Partai Amanat Nasional (PAN). Sempat terpilih sebagai Ketua MPR. Bahkan dia juga ikut nyapres di Pilpres 2009 namun kalah. Pemikiran dan pandangan-pandangan Amien kini menjadi bias (karena dinilai selalu punya tendensi politis), bahkan nyaris kehilangan otoritas alias tidak lagi dipercaya atau malah 'tak lagi didengarkan.'

Demikian juga Gus Dur. Di masa orde baru, Gus Dur dikenal sebagai tokoh demokrasi yang vokal dan kritis terhadap rezim Soeharto. Pandangan-pandangannya meski agak nyeleneh tapi didengar oleh publik. Namun tatkala jadi Presiden, dia seperti kehilangan basic dan perannya. Banyak kalangan menilai, peran Gus Dur jauh lebih baik dan bermanfaat di luar kekuasaan ketimbang harus jadi penguasa.  Lebih tepat dan lebih baik beliau jadi pemikir demokrasi alias Bapak Bangsa.

Hal yang sama sebetulnya juga 'menimpa' BJ Habibie. Sejatinya dia seorang ilmuwan yang punya kepandaian membuat pesawat terbang. Bukan politisi ulung yang pandai memainkan intrik-intrik politik. Dia sempat menjadi Menristek di zaman orde baru dan memproduksi pesawat lewat PT Nurtanio (kemudian berganti nama PT Dirgantara Indonesia). Lantaran situasi politik, memaksa Habibie jadi Wapres dan akhirnya menjadi Presiden, menggantikan Soeharto.

Tapi, dengan statusnya sebagai Presiden mengakibatkan ilmunya terbengkalai. Banyak kalangan menilai, peran dan kontribusi Habibie lebih penting sebagai ilmuwan yang ahli pesawat terbang ketimbang duduk di kursi istana. Kalau saja Habibie konsisten bertekun mengembangkan ilmunya, mungkin bangsa kita sekarang sudah menciptakan banyak jenis pesawat terbang.

Begitulah politik. Tepat bagi para pemain politik, tapi belum tentu cocok bagi orang baik-baik. Mereka bisa kehilangan basic-nya - kehilangan peran dan kontribusinya.

Pos Pengumben, 21 Desember 2012
ZHM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar