Kamis, 06 Desember 2012

Polemik Bangsa yang Tak Produktif

Rakyat tidak menginginkan kata-kata, mereka ingin
suara pertempuran-pertempuran untuk mengubah nasib mereka
--Gamal Abdul Naser, Presiden ke-2 Mesir (1918-1970)


SETELAH ACENG FIKRI, SIAPA LAGI?
Begitu pertanyaan seorang teman yang dikirimnya via BBM (BlackBerry Massanger) pagi tadi. Saya langsung menjawabnya: ''Nggak tahu nih. Memangnya penting?'' Dia pun membalas: ''Betul, lebih baik ngomongin yang ada gunanya saja ya.''

Ya, kasus nikah sirri 4 hari antara Bupati Garut Aceng Fikri dengan wanita bernama Fany Octora memang sempat menjadi pergunjingan nasional hampir dua pekan ini. Bahkan beritanya sampai pula ke Amerika dan menjadi perhatian Presiden Barack Obama (baca harian Nonstop edisi 6 Desember 2012). Aceng Fikri mendunia...

Sebagai berita, sebagai obrolan, sebagai gunjingan, bahkan sebagai polemik, kasus nikah kilat Aceng Fikri-Fany Octora tentu saja amat menarik. Bagi sebagian orang malah mungkin ''mengasyikkan''; jadi kesempatan untuk melampiaskan rasa tidak suka, penolakan, atau kebencian pada kasus perkawinan sirri yang kebetulan kini dilakoni Aceng Fikri. Mereka mencaci-maki dan menghujat sang pejabat. Mereka tumpahkan kemarahan.  Dan lain sebagainya, hingga Bupati Garut itu dimosi tak percara warganya, juga berakhir pada ancaman pelengseran.

Tapi, seberapa pentingkah meributkan kasus Bupati Aceng? Penting kalau dari kasus ini menjadi preseden baik terutama bagi para pejabat publik. Mereka belajar dan tidak mengulangi hal yang sama di kemudian hari. Mereka menjaga martabat dan kepatutan sebagai pejabat, bukan berbuat 'seenak udelnya' mentang-mentang sebagai penguasa. Mereka melindungi warganya, bukan malah memangsa serta menjadikan korban kesewenang-wenangan. Pejabat atau penguasa semacam itu takkan pernah ada yang langgeng. Cepat atau lambat, mereka akan jatuh tersungkur atau menjadi tercela di mata rakyatnya. Aceng salah satu contoh faktual yang pantas jadi pelajaran bagi yang lainnya.

Penting pula kalau pemerintah (dalam kasus ini adalah Mendagri dan Gubernur Jawa Barat) lantas membuat regulasi agar rekrutmen pejabat publik menghasilkan pemimpin yang baik. Atau membuat semacam peraturan bahwa pejabat yang a-moral harus dikenai sanksi. Dari teguran keras hingga pemberhentian dari jabatannya. Walaupun secara hukum positif mungkin bukan pelanggaran, tapi bisa saja perilakunya bertentangan dengan hukum konvensional (agama, etika, dan adat-istiadat). Hanya dengan begitu dimungkinkan lahirnya pejabat yang ideal.

Tapi, polemik kasus Aceng juga bisa menjadi polemik yang tidak produktif.  Kalau akibat polemik ini begitu banyak pikiran, energi, dan waktu yang terbuang percuma. Berhari-hari bahkan berminggu-minggu publik disuguhkan serta dilibatkan pada persoalan tetek bengek itu. Alih-alih menggali dan membicarakan gagasan besar bagi pembangunan bangsa, justru terjebak pada pergunjingan masalah pribadi orang lain. Tegasnya, polemik kasus Aceng menjadi mubazir atau sia-sia kalau kita -- khususnya para pejabat publik -- tidak bisa memetik hikmah atau pelajaran berharga darinya.

Sudah sering bangsa ini terjebak dalam polemik panjang yang tidak produktif. Dari persoalan masyarakat hingga ulah pejabat. Namun polemiknya tidak memberikan pencerahan, tidak menggugah pikiran positif dan akal sehat yang kreatif. Juga tidak menambah wawasan yang memperkuat visi masa depan masyarakat. Ini salah satu dari banyak faktor yang membuat kita cepat tertinggal misalnya dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Filipina bahkan Vietnam yang lebih cepat mencapai kemajuan. Alhasil, Indonesia tak pernah berhasil menjadi ''Macan Asia.''

Percayalah: berkhayal bisa membuat pesawat terbang tanpa mesin jauh lebih baik daripada sibuk bergunjing dan mengurusi aib orang lain...

Pos Pengumben, 7 Desember 2012.
ZHM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar