Senin, 17 Desember 2012

Hukum Rimba Menimpa Si Lembah

Mencuri setangkai bunga kita anggap kejam,
Merampok ladang kita anggap terhormat
--Kahlil Gibran, penyair Libanon (1883-1931)

RASA keadilan masyarakat kembali terusik. Dari Magelang tersiar kabar: dua orang warga Tegalrejo -- Muhammad Misbachul Munir dan Budi Hermawan -- diadili gara-gara dituduh mencuri dua batang bambu. Mereka pun ditahan di Rutan Magelang sejak 5 November 2012. Padahal, mereka memangkas bambu tersebut justru mencegah agar tidak menimpa rumah. ''Saya kasihan sama Munir dan keluarganya. Karena membahayakan nyawa jika ambruk, bambu itu saya potong. Sekalian juga sebatang bambu yang melengkung dan menghalangi jalan di depan rumahnya,'' tutur Budi di ruang tahanan Pengadilan Negeri Mugkid, Magelang, Jawa Tengah. 

Kasus yang menimpa kedua warga Tegalrejo itu mengingatkan kita pada beberapa kasus serupa sebelumnya. Anda tentu belum lupa? AAL, seorang siswa SMK di kota Palu, diadili gara-gara dituduh mencuri sandal jepit butut milik polisi. Ia ditahan dan dalam persidangan ia diancam hukuman lima tahun. Peristiwa yang sempat mengundang aksi masyarakat mengumpulkan ribuan sandal jepit ini ini terjadi pada  Desember 2011.

Kemudian, seorang nenek berumur 55 tahun juga diadili gara-gara dituduh mencuri tiga buah kakao (buah bahan coklat) di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antam, Banyumas, Jawa Tengah. Nenek Minah tertunduk lemas di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Purwokerto dalam persidangan tanpa pembela yang digelar bulan November 2009. Si Nenek berterus terang bahwa ia mengambil kakao tersebut dengan maksud untuk dijadikan bibit.

Hal yang sama juga menimpa pasangan suami istri di Bojonegoro, Jawa Timur. Pasutri bernama Supriyono dan Sulastri itu mendekam tiga bulan di tahanan gara-gara mengambil setandan pisang di kebun orang. Oleh Pengadilan Negeri Bojonegoro, kedua terdakwa yang kehidupannya amat miskin itu diancam hukuman pidana penjara tujuh tahun. Perkara ini terjadi pada Oktober 2009. 

Itulah sederet kisah, betapa orang-orang kecil di negeri ini sangat tidak berdaya di hadapan hukum. Perkara mereka begitu cepat diproses bahkan seringkali tanpa pembelaan. Mereka meratap atau menjerit pun, hampir tak ada pejabat hukum yang mau peduli atau setidaknya memberikan keringanan hukuman dengan menimbang rasa keadilan publik. 

Ketika masyarakat melakukan aksi peduli terhadap nasib mereka, misalnya yang pernah dilakukan dengan menggelar ''aksi sejuta sandal jepit'', barulah aparat penegak hukum meringankan hukuman bagi para korban. Kalau tak ada pembelaan dari publik, mungkin orang-orang kecil itu tetap menjadi sasaran empuk aparat hukum. Mereka diinjak-injak dan tak berdaya.

Sementara, orang-orang besar yang nyata-nyata melanggar hukum malah penanganan perkaranya kerap ditunda-tunda. Seringkali terjadi tawar-menawar; hukum diperjual belikan, siapa yang berani bayar besar berpeluang besar dibebaskan. Atau minimal hukumannya diperingan. Ini banyak terjadi dalam kasus-kasus politik, khususnya kasus korupsi. Tak sedikit kasus korupsi yang terbengkalai atau tak sesegera mungkin diproses dan diadili. Tapi kasus Nenek Minah Cs malah secepat kilat masuk meja hijau. 

Maka jangan heran jika muncul perumpamaan bahwa hukum di Indonesia seperti pisau: tajam ke bawah tapi tumpul keatas. Kejam bagi rakyat kecil tapi tidak bagi pejabat. Sadis bagi orang-orang miskin tapi nyaman bagi orang-orang berduit. Celaka bagi orang-orang kere tetapi aman bagi orang-orang kaya.

Di mata hukum semua orang sama ternyata cuma teori belaka. Itu cuma teks-teks bisu dalam buku pelajaran sekolah atau diktat-diktat mata kuliah hukum di kampus-kampus. Nyatanya, hukum tidak ditegakkan sebagaimana mestinya. Hukum hanya jadi alat permainan pejabat dan konglomerat. Keadilan hanya milik mereka yang berkuasa dan berkantong tebal.

Kalau rakyat kecil dipenjara hanya gara-gara mencuri setandan pisang tetapi pejabat atau menteri yang menggarong uang negara miliaran rupiah dibebaskan, itu ''hukum rimba'' namanya. Seperti di hutan belantara, binatang buas berkuasa atas binatang yang lemah. Dan, rakyat selalu dalam posisi sebagai hewan yang lemah, tak berdaya dalam praktik hukum rimba!

Pos Pengumben, 18 Desember 2012
ZHM 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar