Minggu, 23 Desember 2012

Selamat Tinggal Bom Natal

Kita punya cukup banyak agama untuk membuat kita saling benci,
tapi tak cukup banyak agama yang membuat kita saling mencintai
--Mr Jonatan Saturo, motivator

MENGAPA perayaan Hari Natal selalu dalam suasana tegang? Kenapa gereja-gereja dijaga ketat ratusan bahkan ribuan polisi dan tentara bersenjata? Bukankah umat Kristiani hanya melakukan ibadah Misa, mengapa seolah jadi seperti mau perang? 

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu mungkin muncul di benak sebagian orang.

Tahukah Anda? Pengamanan gereja yang ekstra ketat itu tentu dilatarbelakangi pada peristiwa yang terjadi 12 tahun lalu. Tepatnya 24 Desember 2000, serangkaian bom meledak di banyak tempat/gereja di Indonesia. Sedikitnya sembilan kota dilanda aksi pengeboman di Malam Natal. Yakni: Jakarta, Batam, Pekanbaru, Sukabumi, Pangandaran, Bandung, Kudus, Mojokerto dan Mataram. Akibat aksi pengeboman itu, puluhan gereja rusak,  beberapa orang tewas dan puluhan luka-luka. 

Aksi pengeboman di malam Natal itu merupakan yang pertama dalam sejarah Indonesia. Terbilang besar karena berlangsung serentak. Antara ledakan bom di suatu gereja dengan gereja lainnya hanya berselisih waktu beberapa menit saja. Sungguh di luar dugaan insiden ini bisa terjadi. Petugas keamanan yang relatif minim di seputar gereja dibuat tak berdaya. Pemerintah merasa kecolongan karena tak mampu melindungi warga negara yang tengah menjalankan ibadahnya. Semua kalangan mengutuk aksi pengeboman yang kemudian dikenal sebagai Bom Natal itu. 

Aksi Bom Natal merupakan ujian berat bagi toleransi antarumat beragama di negeri ini. Toleransi yang mulai membaik pasca reformasi 1998, tiba-tiba terusik dan cemar oleh ledakan bom. Menyedihkan, karena yang disasar dan jadi korban adalah umat Nasrani yang sedang beribadah di malam Natal. Apalagi kemudian yang diduga melakukannya adalah kelompok teroris Jamaah Islamiyah. Seakan antara umat Islam dan Kristen bermusuhan dan ''berperang.''  Padahal itu cuma ulah segelintir orang saja, yang tak suka negeri ini damai.

Syukurlah, Bom Natal itu hanya terjadi sekali saja. Insiden tahun 2.000 itu tak terulang. Tentu karena Tim Densus 88 sudah menembak mati gembong-gembong teroris yang menjadi otak intelektual serangkaian aksi pengemboman di tanah air. Sang gembong, siapa lagi kalau bukan Dr Azahari dan Nurdin M Top. Kedua orang inilah yang mengarsiteki aksi-aksi pengeboman di Indonesia sejak tahun 1980-an. Jaringan mereka memang luas dan kuat. Juga terhubung dengan jaringan teroris mancanegara salah satunya Libya.

Meski begitu, pemerintah tidak mau kecolongan lagi. Pihak gereja juga selalu waspada dan mencegah kemungkinan terjadinya hal-hal yang tak diinginkan, terutama pengeboman. Karena itu setiap menjelang Natal, aparat keamanan dikerahkan untuk berjaga-jaga di seputar gereja. Mereka menutup rapat-rapat agar tak ada celah bagi orang-orang jahat (baca: teroris) yang hendak melakukan pengeboman. Jadi, jangan heran jika suasana gereja menjelang Natal seperti sekarang dijaga petugas superketat.

Yang juga membanggakan, kaum muslim pun sekarang ini ikut serta mengamankan umat Nasrani yang sedang merayakan Natal. Itu ditunjukkan oleh Banser NU dan aktivis GP Ansor yang dengan sukarela ikut menjaga keamanan gereja di sejumlah tempat. Ini bentuk toleransi yang bagus antarpemeluk agama, juga menghapus stigma negatif bahwa Islam-Kristen bermusuhan. 

MUI (Majelis Ulama Indonesia) boleh saja mengeluarkan fatwa bahwa umat Islam haram mengucapkan Natal. Fatwa ini barangkali bersifat internal. Sebab faktanya dan realitanya, umat Islam dan Kristen bisa hidup saling berdampingan. Mereka saling tolong-menolong dalam banyak hal termasuk menjaga keamanan perayaan Natal. Tentu dengan tetap menghormati keyakinan agama masing-masing dan tidak mencampuradukkan ibadah masing-masing. 

Jika semua umat beragama bersatu, Indonesia menjadi damai. Semua berharap tak ada lagi aksi pengemboman di malam Natal. Selamat tinggal Bom Natal !

Pos Pengumben, 24 Desember 2012
ZHM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar