Selasa, 27 November 2012

Para Politisi, Mulutmu Harimaumu !

Cuma badut yang membuat manusia 
terbang ke awan, bukannya politikus tukang berkelahi
--Charlie Chaplin, komedian Inggris (1889-1977)

SUTAN Bhatoegana kena batunya. Ucapannya menuai protes keras. Yang memprotes bukan sembarang orang, melainkan keluarga besar dan pendukung Gus Dur (KH Aburrahman Wahid) serta tokoh dan massa NU (Nahdatul Ulama). Gerakan Pemuda Anshor bahkan sempat menggelar demo. Gara-garanya: petinggi Partai Demokrat itu mengatakan Gus Dur lengser dari kursi Kepresidenan lantaran terlibat kasus korupsi Buloggate dan Bruneigate. Sutan mengatakan itu dalam sebuah diskusi politik di Jakarta. Ia mengaku terprovokasi oleh pernyataan Adhie Massardi, mantan jubir Gus Dur, yang juga tampil sebagai pembicara di forum itu.

Sutan tentu tidak sedang keseleo lidah. Sebagai politisi, ia memang sering tampil di forum-forum diskusi. Juga talkshow dan ditayangkan langsung di televisi. Tapi sayang, ucapannya sering ceplas-ceplos dan sayang pula kadang terlalu emosional sehingga tak menampakkan kecerdasan. Ia suka ngotot dan merasa paling benar. Celakanya, presenter TV malah senang memancing-mancingnya, agar acaranya jadi heboh dan menarik perhatian pemirsa. 

Nah, ucapannya tentang Gus Dur itu, bisa jadi amat fatal. Dianggap melecehkan bahkan menghina Presiden ke-4 itu. Orang-orang Gus Dur marah besar. Tokoh-tokoh NU mengingatkan Partai Demokrat (PD) agar memberi sanksi terhadapnya, bahkan ada pula yang mendesak supaya Sutan dipecat dari partai yang dikomandani Presiden SBY itu. Ketum PD Anas Urbaningrum sudah berusaha meminta maaf kepada keluarga Gus Dur, tapi massa pendukung Sang Kiai itu tetap menolak. Mereka menuntut Sutan langsung yang meminta maaf, sebab ucapannya itu tidak terkait dengan partai, tapi tanggung jawab pribadi. ''Gus Dur kok dilawan,'' komentar seorang teman.

Sebetulnya, Sutan tak sendiri. Cukup banyak politisi yang ucapan-ucapannya kontroversial dan menyinggung pihak lain. Ingatlah ucapan Marzuki Alie beberapa bulan lalu. Politisi yang juga dari Partai Demokrat dan kini sebagai Ketua DPR ini, pernah menyinggung perasaan warga Mentawai,  Sumatera Barat, yang dilanda tsunami. Kata Marzuki, warga di sana yang takut ombak seharusnya tidak tinggal di dekat pantai. Ia menyitir pepatah yang berbunyi ''Kalau takut dilimbur ombak, jangan berumah di tepi pantai.'' Warga Mentawai merasa dilecehkan dengan ucapan Marzuki itu. Kenapa? Sebab kawasan pantai itu memang sudah sejak lama menjadi tempat tinggal mereka. Beranak, bercucu, bahkan mati di tempat itu. Gara-gara ucapan Marzuki itulah, pengurus PD sempat meminta maaf.

Kalau mau didata, sebetulnya cukup banyak politisi yang ucapan-ucapannya kontroversial, pedas dan membuat marah pihak lain. Itulah gambaran bahwa politisi kita kadang kurang berhati-hati saat bicara. Mereka seringkali mudah terbakar emosi dan lantas mengeluarkan pernyataan yang tidak pantas atau tidak semestinya diucapkan. Apalagi politisi yang arogan, sering ngomong blak-blakan tanpa peduli omongannya menerjang sana sini serta menyakitkan orang lain.

Padahal ucapan seorang politisi amat strategis, dalam arti bisa mengubah konstalasi politik. Mereka bicara yang baik dan penting-penting saja dapat mengubah keadaan masyarakat atau suatu bangsa/negara. Apalagi mereka bicara ngaco atau ngawur, bisa mengeruhkan suasana dan mencelakakan. Tapi yang celaka adalah dirinya sendiri. Dan, publik tidak akan melupakan omongan ngawur sang politikus itu, hingga merusak trust (kepercayaan), kredibilitas dan akhirnya menghancurkan karier politiknya di masa depan.

Bukankah pepatah Arab sudah mengingatkan: mulutmu harimaumu! Kalau kau tidak pandai menjaganya, maka akan menerkam dirimu sendiri...!

Pos Pengumben, 28 November 2012
ZHM

Senin, 26 November 2012

Wapres Pun Bisa ''Konyol'' di Jalan Raya

Hidup di negeri ini seperti di dalam kampung
di mana setiap orang ingin membuat peraturan
--Sajak (alm) Subagyo Sastrowardoyo


KASUS pengeroyokan dan pemukulan yang menimpa Jubir FPI (Front Pembela Islam) Munarman, menarik untuk ditelisik. Gara-garanya memang sepele, membunyikan klakson mobil, tapi lantaran tidak tepat maka berakibat fatal. Insiden ini bermula ketika Senin (26 November 2012) Munarman keluar dari rumahnya di kawasan Pondok Cabe hendak menuju Cinere dengan mengendarai mobil Mutsubishi Pajero. Di tengah jalan tiba-tiba ada sepeda motor yang menyalipnya. Munarman kesal dan spontan membunyikan klakson hingga berkali-kali. Rupanya, si pengendara motor tidak terima dan malah menggetok kaca mobil Munarman hingga pecah. Singkat cerita, terjadilah cekcok mulut hingga akhirnya Munarman pun sempat dipukul oleh dua pengendara motor tersebut.

Klakson memang perlu dibunyikan pengendara mobil atau motor. Tapi, harus tahu kapan membunyikannya. Misalnya ketika hendak mendahului kendaraan di depan, memberi sinyal akan belok kiri atau kanan, atau juga saat mengingatkan pengendara di lampu merah harus jalan karena lampu lalulintas sudah hijau.  Apa yang dilakukan Munarman memang kurang tepat, bahkan tidak elok. Meskipun dia dalam kondisi kesal atau marah, membunyikan klakson dengan keras dan berkali-kali tentu bisa membuat pengendara lain terganggu dan tersinggung.

Jalan raya meski merupakan sarana publik, memang tidak pernah sepi dari konflik. Sebab di sinilah bertemunya banyak orang dengan berbagai suku, karakter, tabiat, dan kepentingan. Sayangnya, orang cenderung hanya mementingkan dirinya sendiri. Saling mendahului dan saling sodok, begitulah yang sering terjadi. Di jalanan, semua orang cenderung terburu-buru seolah sedang dikejar-kejar hantu. Semua serba tergesa-gesa. Hampir tak ada yang mau mengalah. Maka sering terjadi keributan hanya lantaran didahului kendaraan lain atau jalurnya diserobot dari belakang. Rambu dan aturan laluintas yang sejatinya untuk melancarkan malah dilanggar, hingga terjadilah kesemrawutan dan kekacauan. Ini sudah menjadi pemandangan sehari-hari di kota-kota besar khususnya Jakarta.

Padahal, kalau setiap orang mau menggunakan jalan raya secara wajar, maka lalulintas akan lancar. Kebanyakan orang merasa jalanan adalah miliknya sendiri. Apalagi kalangan pejabat tinggi, tak jarang menunjukkan kesombongan di jalanan. Pernah ada anggota DPR marah dan langsung menodongkan pistol ke arah pengendara sepeda motor yang menyenggolnya. Ada juga anak seorang pejabat berhenti di tengah jalan hanya gara-gara mobilnya terhambat kendaraan lain di depannya. Ia turun dari mobil dan berkacak pinggang sambil marah-marah, hingga membuat kemacetan yang panjang.

Jangankan orang biasa, pejabat tertinggi pun -- yang notabene seharusnya mengerti dan taat hukum -- kerap bertindak konyol ketika di jalan raya. Ingatlah dulu pernah mobil yang membawa Wapres Hamzah Haz tiba-tiba nyelonong boy di jalur busway lantaran Jalan Raya Sudirman sedang macet. Gubernur DKI (ketika itu) Sutiyoso sempat melontarkan protes ke pihak Wapres, kenapa sampai melanggar aturan lalulintas. Seharusnya menjadi contoh yang baik bagi warga dan pengguna jalan raya.

Rombongan Presiden SBY pernah mengalami insiden di tol Jagorawi. Yakni menabrak beberapa pengendara. Masalahnya, ketika rombongan dari Cikeas itu hendak menuju Istana Negara di Jakarta, jalan tol secara tiba-tiba dikosongkan. Akibatnya banyak yang mendadak menghentikan kendaraannya karena ''si komo'' mau lewat. Maka terjadilah tabrakan beruntun. Meski tidak besar tetapi tetap membahayakan. Mestinya, sesuai protap (prosedur tetap) jalanan sudah harus dikosongkan atau pengendara lain minggir, 5 atau 10 menit sebelum rombongan Presiden lewat. Ya, begitulah, kalau jalanan pun dianggap hanya milik pejabat!  

Ya, jalan raya adalah cermin dari kepribadian banyak orang. Di situ kita bisa melihat karakter masing-masing orang. Ada yang pamer mobil mewah, ada yang unjuk kekuatan dan kesangaran, ada yang gampang marah, ada pula yang cepat emosional menghadapi kenyataan/kemacetan. Jalan raya juga menjadi ujian bagi setiap orang: apakah ia mampu bersabar menghadapi kemacetan, apakah ia menghargai pengendara lain, apakah juga ia bisa bertoleransi dengan para pejalan kaki. Atau sebaliknya. Silakan tes pada diri masing-masing....

Kebon Jeruk, 27 November 2012.
ZHM  

Minggu, 25 November 2012

Boikot Produk Israel, Mungkinkah?

Kekuatan senjata dapat menaklukkan segalanya,  tetapi 
kemenangan yang didapat tidaklah kekal
--ABRAHAM LINCOLN, Presiden ke-16 Amerika (1809-1865)


SIKAP Menteri Luar Negeri RI, Marty Natalegawa, kiranya patut dipuji. Dia mengajak negara-negara Timur Tengah untuk memboikot produk Israel di Markas PBB. Ajakan ini dilakukan menyusul kekejaman Zionis Israel terhadap bangsa Palestina yang telah berlangsung puluhan tahun (sejak 1967) dan memanas lagi dua pekan terakhir ini hingga menewaskan puluhan orang -- termasuk wanita dan anak-anak -- Palestina. Natalegawa merupakan pejabat Indonesia pertama yang berani dan secara blak-blakan menyerukan pemboikotan tersebut.

Sejak lama sikap pemerintah kita memang sudah jelas dan tegas: membela Palestina sembari mengutuk Israel. Bahkan kita tidak pernah membuka hubungan diplomatik dengan negeri keturunan Yahudi itu. Ini sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 45 serta ideologi bangsa Indonesia. Maka, seruan Menlu Natalegawa kian mempertegas sikap bangsa kita. Palestina yes, Israel no! Aksi boikot produk diharapkan ''menyadarkan'' Israel hingga mengakhiri agresi biadabnya di tanah Palestina khususnya sepanjang Jalur Gaza. 

Sayangnya, seruan Natalegawa itu masih sebatas wacana. Belum ditindaklanjuti secara konkret misalnya berunding dengan organisasi kerjasa sama Islam sedunia OKI (Organisation of Islamic Cooperation). Pengalaman selama ini, OKI hampir tidak punya kekuatan ketika menghadapi masalah yang terkait di luar organisasi ini. Jangankan OKI, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) saja nyaris tak berdaya menuntaskan masalah Israel-Palestina. Terutama karena Amerika Serikat dan sekutunya menyikapinya dengan standar ganda (double standard) bahkan jauh lebih condong pro-Israel. Tidak Clinton, tidak Bush, tidak Obama, ya sama saja. Karena itu, kalau tak ada gerakan yang konkret dan diperjuangkan secara berani, maka ajakan boikot produk Israel hanya ''sia-sia'' dan berhenti sebagai wacana belaka.

Di Indonesia sendiri, yang mayoritas penduduknya muslim dan sudah pasti anti Israel, mengalami kesulitan ketika hendak memboikot produk Israel.

Pertama, publik hanya teriak-teriak boikot produk Israel tetapi tidak tahu pasti mana saja sebenarnya produk Israel yang beredar di sini. Padahal begitu banyak jenis barang dan mereknya. Kalau boleh menyebutnya di antaranya: susu Danone dan Nestle, minuman Coca Cola, Fanta, Sprite dan Pepsi Cola, makanan cepat saji seperti MCDonanld's dan KFC, bedak Revlon dan Johnson and Johnson, cokelat Kit Kat, busana merk Calvin Klein, Levi's, Giorgio Armani, Kotex dan Hughes, dan banyak lagi yang lainnya.

Kedua, produk-produk Israel bukan cuma membanjiri Indonesia, tapi sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-harinya. Tak percaya? Sebutlah lagi beberapa merek barang seperti: komputer IBM dan Intel, ponsel merk Nokia, bahkan tempat berbelanja Carrefour pun termasuk buatan orang-orang Yahudi Israel. Kalau sejumlah produk tersebut diboikot, berarti masyarakat Indonesia harus siap-siap melepaskan semua barang tersebut dan tidak lagi memakainya dalam kehidupan keseharian. Mungkinkah? Agaknya berat, sebab film-film Hollywood di bioskop dan televisi yang kita tonton pun adalah juga produk seniman keturunan Yahudi. Banyak handphone dan media jejaring sosial seperti facebook dan twitter juga buatan orang-orang keturunan Yahudi yang terkenal amat jenius itu.  

Sebagai gerakan moral -- sebagaimana juga ajakan Menlu Natalegawa -- tentu penting dan baik-baik saja kita memboikot produk Israel, bangsa rasis yang zalim itu. Tapi ketika persoalan ini dibawa ke ranah sosio-politik, tentunya agak berat. Sebab, globalisme telah menyatukan dunia dalam satu ruang dan waktu. Tanpa sadar kita telah menjadi bagian masyarakat dunia. Sebaliknya, dunia luar termasuk produk Israel, juga menjadi bagian dari masyarakat kita, Indonesia. Ada semacam saling ketergantungan.

Nah, akhirnya tetap menjadi pertanyaan besar: mungkinkah kita memboikot produk-produk Israel terutama yang beredar di Indonesia?

Pos Pengumben, 26 November 2012
ZHM

Sabtu, 24 November 2012

Belajar Jujur dari Seorang Sopir Taksi

Kejujuran adalah mata uang
yang berlaku di mana-mana
--Pepatah Klasik

MISALKAN saja ada sebuah tas berisi uang Rp 100 juta tergeletak di pinggir jalan. Saya yakin, hampir semua orang tentu tergoda untuk mengambilnya. Jangankan uang sebanyak itu, satu juta rupiah pun barangkali orang tergiur untuk membawanya pulang. Tak peduli uang itu milik siapa. Buru-buru dikantongi dan dianggap rezeki nomplok yang jatuh dari langit. 

Nah, di Singapura, belum lama ini seorang sopir taksi bernama Sia Ka Tian menemukan uang berkali-kali lipat dari jumlah itu.  Di dalam taksinya ia menemukan uang 1,1 juta dolar Singapura atau sekitar Rp 8,6 miliar yang ditinggalkan oleh sepasang turis yang sedang berwisata. Sang sopir sangat terkejut, namun tak terlintas dalam pikirannya untuk mengambilnya. Ia justru mengembalikan uang tersebut ke pangkalan taksi. ''Saya tidak ingin menggunakan uang itu, uang itu bukan milik saya,'' katanya seperti dikutip harian The Straits Times

Pasangan turis yang kehilangan uangnya itu kemudian menghubungi perusahaan taksi yang baru saja digunakannya. Sia Ka Tian (berusia 70 tahun)  pun mengembalikan uang itu kepada pemiliknya. Ia mendapat imbalan sebagai tanda terimakasih dari pemilik uang tersebut. Perusahaan taksi yang mempekerjakannya sangat bangga terhadapnya.

Orang seperti Sia Ka Tian tentu langka. Mungkin hanya ada satu di antara sejuta di dunia. Itulah contoh paling jelas tentang orang yang berperilaku jujur. Ia tidak mau mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Walaupun ada kesempatan dan tidak ada orang lain melihatnya, ia lebih memilih mengembalikannya kepada yang berhak. Sia Ka Tian percaya Tuhan tidak tidur dan senantiasa melihatnya. Acungan seribu jempol untuk sopir taksi terjujur itu.

Ya, kejujuran di zaman sekarang memang sudah amat langka dan mahal. Jika dikalkulasi, mungkin jauh lebih banyak orang yang tidak jujur, dan barangkali kita termasuk dalam golongan ini. Ketidakjujuranlah yang mengakibatkan ketimpangan sosial dan terjadinya berbagai ketidakadilan di berbagai sektor kehidupan. Contoh paling faktual adalah maraknya kasus korupsi di banyak negara terutama Indonesia. Akibat banyak pejabat birokrat, penguasa dan pengusaha yang tidak jujur, korupsi pun tumbuh subur. Kalau saja mereka jujur, takkan mungkin kasus korupsi bisa separah saat ini. Semua hal dikorupsi. Setiap ganti penguasa, berganti pula pelaku dan modus korupsinya. Satu korupsi terbongkar, seribu korupsi lainnya bermunculan. Sungguh parah, sebab korupsi berlangsung hampir sepanjang sejarah...

Karena itu, gerakan penanaman nilai-nilai kejujuran patut didukung penuh. Misalnya yang digagas sejumlah sekolah (SMP dan SMA) dengan membuka ''Kantin Kejujuran''. Kantin yang berada di lingkungan sekolah ini menjual makanan dan minuman serta alat tulis kebutuhan murid. Tapi kantin ini tanpa pelayan dan penjaga. Tak ada petugas atau kasirnya. Setiap murid melayani diri sendiri (swalayan) dari sejak membeli barang, membayar dan mengambil uang kembalian. Bisa saja misalnya murid membeli makanan tapi tidak dibayarnya. Toh tak ada pelayan dan penjaga kantin. Tapi di situlah dia diuji: bisa jujur atau curang. Kantin Kejujuran melatih murid-murid berperilaku jujur.

Seandainya kantin semacam itu juga ada di kantor-kantor walikota, kantor bupati, kantor gubernur, kantor menteri, kantor presiden serta kantor-kantor swasta, maka bisa dijadikan sarana untuk melatih kejujuran para pegawai dan terutama pejabat. Bisakah dan beranikah mereka berlaku jujur? Jika bisa, maka begitulah juga seharusnya mereka dalam mengelola uang negara/uang rakyat lewat Pajak, APBD dan APBN. Sehingga tidak ada kecurangan yang mengakibatkan bocornya uang kas negara. Tak ada lagi yang mengambil sesuatu yang bukan miliknya.

Banyak orang sering berkata, ''mencari yang haram saja susah, apalagi yang halal'' dan ''yang jujur pasti hancur.'' Faktanya, rezeki yang halal mudah dicari dan orang jujur tetap berjaya. Di belahan muka bumi mana pun orang jujur lebih terhormat dan mulia. Di zaman yang serba curang ini, kejujuran menjadi langka tetapi mahal harganya. Bahkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sedang gencar mengkampanyekan semangat kejujuran di kalangan masyarakat dengan menyebarkan stiker dan pamflet ber-tagline: ''Jujur Itu Hebat!''.

Jika Anda mau dan berperilaku jujur, maka Anda adalah orang yang hebat!

Pos Pengumben, 25 November 2012
ZHM

Kamis, 22 November 2012

Mahfud MD ''Menyadarkan'' Para Pejabat

Tak ada yang abadi / tak ada yang abadi
Jiwa yang lama segera pergi / bersiaplah para pengganti
-- Ariel (sewaktu masih Peterpan)


SIAPA tokoh-tokoh Indonesia saat ini paling sering bikin kontroversi? Seandainya harus menyebut satu nama, maka saya pilih: Mahfud MD. Bukan lantaran dia sedang jadi berita. Bukan pula karena dia Ketua MK (Mahkamah Konstitusi). Tapi semata-mata karena kontroversinya banyak gunanya. Cukup banyak ''rekor'' kontroversial yang dipecahkannya semenjak memimpin lembaga peradilan tersebut. Terutama putusan-putusan MK yang di luar dugaan umum. Dari soal pemilu, soal undang-undang, soal jabatan, soal perkara pejabat, dan sebagainya. Hingga banyak pihak mengajukan gugatannya ke MK, dengan harapan besar mendapatkan keadilan.

Mahfud MD juga dikenal konsisten. Pernyataan-pernyataannya selalu kritis dan menohok, namun membangkitkan kesadaran. Masih hangat dalam ingatan kita, ketika setengah bulan lalu dia melontarkan kritik tajam ke Istana Presiden SBY. Dia menengarai ada mafia kasus narkoba di istana, terkait dengan grasi yang diberikan SBY kepada Meirika Franola yang telah divonis hukuman mati. Kubu istana bak kebakaran jenggot dan menyerang balik Mahfud. Tapi Mahfud -- lelaki kelahiran Madura -- itu tidak gentar, tetap mensinyalir adanya mafia tersebut. Publik pun ramai mendiskusikannya bahkan informasinya melebar hingga ada temuan-temuan baru terkait kasus itu.

Kemarin, 22 November 2012, Mahfud kembali membuat pernyataan menarik. Apalagi kalau bukan terkait rencana dirinya tidak akan mencalonkan diri lagi sebagai Ketua MK tahun depan. Masa jabatannya bakal berakhir 1 April 2013. Dia sudah mengirim surat pemberitahuan itu ke DPR. Pernyataan menariknya begini: ''Saya harus berhenti. Kalau senang itu diteruskan, nanti akan jadi sesat,'' katanya, di kantor MK. Menurutnya itu tidak berlaku hanya untuk dirinya saja, tapi juga bagi semua pejabat. ''Mereka harus berhenti di suatu saat. Itu agar nanti tidak menjadi sesuatu yang buruk kalau diteruskan,'' tegasnya.

Kenapa Mahfud tidak tertarik lagi jadi Ketua MK? Mengapa pula dia melontarkan statement seperti itu? Hal ini menimbulkan spekulasi politik. Sebagian kalangan meyakini Mahfud akan mencalonkan diri sebagai Capres 2014. Jadi, sejak kini dia harus mempersiapkan diri. Kalau benar demikian, ya tidak apa-apa. Nama Mahfud memang sudah masuk bursa capres. Dari sejumlah polling yang dilakukan lembaga survei, Mahfud selalu masuk 5 besar, bahkan 3 besar kandidat Capres 2012. Itu artinya, dia diakui punya kapasitas dan layak jadi calon presiden mendatang.

Di luar soal capres, pernyataan Mahfud tadi juga menarik untuk digarisbawahi. Kenapa? Banyak pejabat yang sedang berkuasa cenderung tidak mau berhenti dan ingin terus berkuasa. Seringkali dengan alasan atau klaim masih disukai rakyat. Bila perlu mereka memperpanjang masa kekuasaannya itu lewat keturunan dan konco-konconya. Sehingga lahirlah apa yang disebut ''politik dinasti.'' Di Indonesia kecenderungan ini makin kuat. Tak sedikit gubernur atau bupati atau walikota yang kemudian jabatannya diteruskan oleh suami/istri atau anak dan menantunya. 

Catat kata-kata Mahfud, bahwa kekuasaan yang terlalu lama itu bisa menyesatkan!  

Cukup banyak penguasa diktator di Timur Tengah seperti Mesir, Tunisia dan beberapa negara Arab lainnya, akhirnya jatuh dalam kondisi mengenaskan. Itu akibat mereka terlalu lama berkuasa. Contoh paling dekat di Filipina, betapa Ferdinand Marcos akhirnya jatuh dari kursi kekuasaannya dalam keadaan hina dina, lantaran dalam kondisi korup ngotot pula ingin terus berkuasa. Di Indonesia, Soeharto juga mengalami nasib yang sama, lengser dalam hujatan massal rakyatnya karena dia berkuasa terlalu lama--32 tahun!

Statement Mahfud tersebut setidaknya telah menyindir,  mengingatkan dan menyadarkan para pejabat -- pada level dan bidang apa pun -- bahwa kekuasaan yang terlampau lama bisa membahayakan diri. Harus menyadari kapan saatnya berhenti. Itu bukan cuma perlu bagi demokrasi, tapi juga penting demi regenerasi.

Pos Pengumben, 23 November 2012
ZHM




Rabu, 21 November 2012

Daging Sapi & Politik Dagang Sapi

Politisi di mana-mana sama saja. Mereka berjanji
membangun jembatan, bahkan ketika tidak ada sungai sekalipun
--Nikita Krushchev, negarawan Soviet (1894-1971)


SAYA bukan termasuk orang yang gemar makan daging. Sesekali saja mengonsumsinya, itu pun dalam porsi kecil. Kenapa? Terutama karena faktor umur dan demi kesehatan. Saya percaya, terlalu banyak makan daging tidak baik bagi sirkulasi darah dalam tubuh. Lebih sehat banyak makan ikan dan sayur-sayuran. Karena itu, ketika pekan lalu terjadi kelangkaan daging sapi akibat harganya sangat mahal (Rp 100-120 ribu/kilogram) dan para pedagang daging sempat mogok, saya tidak risau. Namun saya ikut prihatin melihat para pedagang; berkurang penghasilan mereka, termasuk juga para pengusaha rumah makan padang yang terpaksa tak menjual rendang. Para tukang bakso dan soto juga menderita karena kehabisan daging sebagai bahan utama menunya.

Konon, kelangkaan daging sapi -- terutama di Jabotabek -- itu akibat ulah importir daging. Mereka mempermainkan harga. Sementara pasokan daging sapi lokal atau dari dalam negeri terbatas. Daging sapi impor diakui lebih berkualitas. Nah, di sinilah para spekulan bermain dan mencari untung sendiri, tanpa peduli nasib para pedagang. Alhasil, para pembelilah yang jadi korban. Sudah harganya sangat mahal, susah pula mencarinya. Seorang teman yang gemar makan rendang bahkan dengan kesalnya berkata, ''Huh, negara macam apa ini, cari daging saja susah. Katanya negara kita negara pertanian, tapi tidak ada daging. Terpaksa deh aku puasa makan rendang....''

Jangan terlalu heran mengapa Indonesia bisa terjadi kelangkaan daging sapi. Pertama, karena memang sejak lama negara kita sudah tidak mampu berswasembada pangan. Beras, gula, minyak goreng, kedelai, bahkan cabe merah pun sebagian besar  impor. Termasuk daging sapi pun impor. Ketika pasokan impor terbatas dan harganya selangit, otomatis kelangkaan daging sapi terjadi. Kedua, bukankah politik Indonesia mengenal praktik dan istilah yang tidak jauh dari sapi? Maksudnya adalah ''politik dagang sapi.'' Sebuah praktik politik yang licik, negatif, hanya menguntungkan para elit tapi mengorbankan wong cilik. Boleh jadi kelangkaan daging sapi pun akibat ''politik dagang sapi''.

Apa sih maksudnya ''politik dagang sapi''? Dalam pengertian sederhana adalah, tawar-menawar dan jual-beli kepentingan yang dilakukan sejumlah partai politik untuk tujuan tertentu. Misalnya di DPR, sejumlah perwakilan partai politik lewat fraksi-fraksi melakukan tawar-menawar dalam melaksanakan hak-hak anggota dewan misalnya hak interpelasi, hak angket, penyusunan anggaran (APBN) dan perumusan undang-undang. Akhirnya terjadilah dan tercapailah kompromi di antara mereka. 

Demikian pula di pemerintahan, partai-partai politik juga bisa melakukan tawar-menawar dalam penyusunan menteri di kabinet. Terutama partai politik yang tergabung dalam koalisi besar, sangat mungkin terjadi tawar menawar posisi menteri. Mereka berbagi kursi kekuasaan. Makanya, ada istilah pula ''kabinet dagang sapi''. Itu berarti, kabinet tersebut terbentuk dari tawar-menawar antara parpol-parpol yang berkoalisi. Hampir setiap periode pemerintahan baru di Indonesia, cenderung membentuk ''kabinet dagang sapi'', termasuk pemerintahan SBY saat ini.  

Mengapa sampai disebut ''politik dagang sapi''? Dari mana asal-usul istilah ini? Konon bermula dari sebuah kisah. Menurut sejarawan keturunan Arab, Alwi Shahab, di tahun 1970-an Indonesia masih menjadi eksportir sapi. Pada saat itu perdagangan sapi sangat marak sekali di pasar-pasar. Karena di dalam perdagangan lazim terjadi tawar menawar, maka muncullah istilah politik dagang sapi. Artinya politik yang disusupi jual-beli kepentingan.

Celakanya, ''politik dagang sapi'' hanya untuk kepentingan para elit semata. Sedikit pun tidak mempedulikan, mendengar, dan  mengakomodir aspirasi konstituen  atau rakyat banyak. Para elit politik dan petinggi parpol melakukan jual-beli kepentingan dan kompromi-kompromi secara sembunyi-sembunyi. Jangankan rakyat, kalangan pers pun kadang tidak mengetahuinya. Banyak kompromi politik yang luput dari perhatian para jurnalis sehingga tidak terekspose lewat media massa. Itulah liciknya dan negatifnya praktik ''politik dagang sapi.'' Para pelaku politik terkadang sulit menghindarinya...

Pos Pengumben, 22 November 2012
ZHM






Senin, 19 November 2012

Sutiyoso Vs Jokowi: Kritik Yes, Fitnah No!

Pujian adalah teror 
--Tukul Arwana

SEJATINYA, tidak ada seorang pun yang mau dikritik. Semua orang ingin dipuji. Apalagi kritik yang pedas atau keras, pasti selalu dihindari. Padahal dengan kritiklah kekurangan dan kekeliruan kerapkali dapat diperbaiki. Asalkan kritiknya konstruktif. Sedangkan pujian seringkali membuat orang terlena dan lupa diri, akhirnya jatuh. Makanya, tokoh-tokoh besar dunia dalam berbagai bidang, respek terhadap kritik karena bisa dijadikan koreksi dan masukan berharga. Demokrasi yang ideal juga mensyaratkan adanya kritik sebagai check and balance.

Sayangnya, Gubernur Jokowi dan Wagub Ahok langsung bereaksi menyikapi kritik yang datang dari Sutiyoso, mantan Gubernur DKI Jakarta dua periode (1997-2007). Sutiyoso mengeritik Jokowi yang getol blusukan alias keluar-masuk perkampungan di Jakarta sejak dirinya jadi gubernur. Menurutnya, cukuplah Jokowi turun ke lapangan, sekarang waktunya bekerja membangun Jakarta, mewujudkan janji-janji kampanyenya. ''Masalah di jakarta yang dicari sudah diketahui, keadaan rakyatnya seperti apa. Turun ke lapangan sudah cukup, saatnya action,'' kata Sutiyoso usai menghadiri peringatan Milad Muhammadiyah ke-100 di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Minggu 18 November 2012.

Ahok sebagai bawahan Jokowi langsung menangkis kritik tersebut sambil menyindir Sutiyoso. Menurut Ahok, saat Sutiyoso alias Bang Yos dipilih sebagai gubernur DKI, tidak ada pemilihan kepala daerah secara langsung. Sutiyoso dipilih oleh DPRD,  berbeda dengan sekarang. ''Bang Yos kan nggak dipilih langsung, ya nggak perlu blusukan ke kampung-kampung. Dia cuma perlu ke DPR aja. Kalau sekarang kami kan dipilih rakyat secara langsung, jadi beda. Dan jelas beda,'' kata Ahok, membela Jokowi. 

Mestinya Ahok tidak perlu bereaksi keras seperti itu. Sikapi saja dengan santai, tak perlu emosional dan frontal. Kenapa? Toh kritik yang disampaikan Sutiyoso tidak salah besar. Sebab, Jokowi dan Ahok juga perlu menata administrasi dan birokrasi di dalam sebagai bagian dari manajemen Pemprov DKI Jakarta. Kalau terus menerus ke lapangan, tentu banyak hal terbengkalai, yang secara administrasi mungkin perlu segera diketahui dan kemudian didisposisi atau diputuskan. Lagi pula, Sutiyoso bukanlah sembarang orang. Sebagai mantan gubernur dua periode, tentu dia tahu banyak tentang cara membangun Jakarta dan karena itu dia layak serta punya kapasitas menyampaikan kritik bagi juniornya, gubernur penerusnya.

Ada segelintir orang mengatakan Sutiyoso merasa iri dengan mereka (Ahok dan Jokowi) sehingga melontarkan kritik. Apalagi saat Pilkada lalu Sutiyoso diyakini pro Fauzi Bowo. Padahal belum tentu begitu. Ketika menjadi gubernur, Sutiyoso dikenal sebagai orang yang tidak alergi terhadap kritik. Kritik yang datang kepadanya justru bertubi-tubi, bahkan amat keras. Namun Sutiyoso selalu merespon kritik yang datang dengan bekerja, terutama kritik yang baik dijadikannya ide pembangunan. Proyek Busway yang kini dirasakan banyak orang/warga Jakarta, adalah salah satu wujud responnya terhadap kritik tentang kemacetan. 

Karena itu, sikap Ahok tersebut justru bisa berakibat fatal: dirinya akan dicap sebagai pejabat publik yang antikritik. Itu sangat negatif. Di saat kampanye dan setelah menang Pilkada lalu dia dan Jokowi sempat mengatakan akan menjadikan Sutiyoso sebagai penasihatnya. Apakah dia lupa? Kalaupun tidak jadi, bukan berarti tak perlu mendengar kritik atau saran Sutiyoso. Kecuali jika yang disampaikannya fitnah, boleh saja ditentang atau dilawan. Fitnah bukan kritik, siapa pun wajib menolaknya. Kalau kritik yang membangun, tentu lebih baik didengarkan. 

Bila sikap antikritik terus ditampilkannya, maka lama-lama Ahok maupun Jokowi akan dicap sebagai pejabat daerah yang pongah alias sombong. Mestinya dia tetap legowo, rendah hati, membuka telinga,  dan menghargai saran atau pendapat seniornya. Itu sejalan dengan semangat perubahan serta konsep Jakarta Baru yang diusungnya. Dan, bukankah dengan sifat dan sikap semacam itulah Jokowi-Ahok bisa terpilih sebagai Gubernur DKI?

Jangan sampai, belum 100 hari bekerja, sudah ''lupa kacang akan kulitnya''. Itu berbahaya.

Pos Pengumben, 20 November 2012.
ZHM 

Minggu, 18 November 2012

Tampang & Gaya Presiden


VANITAS VANITATUM ET OMNIA VANITAS 
Kesombongan adalah sia-sia dan semuanya adalah kesia-siaan
--Wisdom Romawi


SIAPA bilang seorang presiden tidak boleh bergaya nyeleneh. Barack Obama misalnya, pada 17 November 2012, justru berani tampil dengan gaya ''alay''-nya. Dia berfoto bareng dengan seorang wanita atlet senam olimpiade, dengan mulut dimonyong-monyongkan, persis gaya wanita ABG zaman sekarang. Sedikit pun dia tidak risih atau malu, malah seakan menikmati gaya gaul itu. Tentu saja sang atlet merasa surprise sekaligus bahagia karena sang Presiden Amerika mau melakukan hal yang tidak diduga-duganya itu. Foto unik tersebut kini sudah mendunia karena diunggah ke dunia maya hingga tersebar luas terutama lewat media jejaring sosial seperti twitter, facebook dan BBM.

Tingkah Obama itu menarik. Seorang presiden negeri adidaya, ternyata tidak mau menjaga citra dirinya secara berlebihan. Dia berani tampil alamiah, apa adanya, tak perlu dipoles-poles atau direkayasa, sehingga kelihatan sebagai pemimpin paling berwibawa. Sementara, banyak kepala negara -- termasuk kalangan pejabat tinggi --  lebih sibuk menjaga menampilan diri. Mereka cenderung jaim alias jaga imej. Berbagai cara dilakukan agar tampak terhormat dan mempesona. Padahal, tak lebih sebagai trik atau dalam istilah sekarang, ''pencitraan.''

Lain Amerika, lain pula Indonesia. Lain Obama, lain pula dengan para presiden kita. Presiden RI pertama Bung Karno misalnya, walau tampak galak dan pidatonya selalu berapi-api, masih suka berkelakar atau membanyol saat berjumpa orang biasa. Dia amat familiar dengan rakyat kecil dari petani, sopir, maupun pembantu rumah tangga. Lihat saja foto-fotonya dalam buku ataupun dokumen sejarah. Banyak foto Bung Karno yang mengekspresikan keceriaan bersama rakyat. Dia tampak tertawa lebar bahkan terpingkal-pingkal. 

Kemudian Soeharto, walau terkenal angker sebagai penguasa Orde Baru hampir 32 tahun lamanya, selalu memberikan senyuman bagi tamu-tamunya di Istana Negara. Bahkan hampir kepada semua orang yang menyapanya, termasuk para petani yang tergabung dalam Kelompencapir, Soeharto menebarkan senyumnya. Dia memang dikenal sebagai tentara yang murah senyum, hingga berjuluk The Smiling General dan julukan ini popular di dunia internasional. Itulah ciri khas Soeharto.

Presiden BJ Habibie lain lagi. Ia memang sangat serius saat berbicara. Apalagi bila pembicaraan menyangkut ilmu, ekonomi dan teknologi, matanya sampai melotot. Yang unik dari presiden Habibie adalah: posisi pecinya miring! Ya, coba perhatikan bagaimana peci hitam yang dipakainya, begitu jelas tidak tegak lurus alias miring. Entah apakah itu disadari oleh penata riasnya, atau memang begitulah gayanya Habibie. Toh, ia tak pernah risih dengan posisi pecinya yang miring itu. Baginya, the show must go on.

Presiden Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) jauh lebih unik lagi. Ketika memimpin sidang kabinet atau menerima tamu negara di istana, Gus Dur pun tampak santai saja. Dibiarkan kepalanya miring ke kiri dan sesekali jari-jemari tangannya digerakkan. Dalam situasi tertentu bahkan Gus Dur menyelipkan pembicaraannya dengan guyonan khasnya, sehingga lawan bicaranya ikut senyum dan tertawa. ''Gitu aja kok repot,'' ungkapan itulah yang jadi filosofi hidupnya. Gus Dur-lah pula yang membuat kesan Istana Negara menjadi tidak ketat dan tidak angker lagi. Di masa kekuasaannya, pers bebas meliput di istana. Bahkan saat lengser, Gus Dur pun keluar istana hanya memakai t-shirt dan celana pendek. Lucu ya?

Tidak demikian dengan Megawati. Walau dia anak Bung Karno, tapi pembawaannya sangat borjuis. Memang sesekali dia tersenyum tetapi jauh lebih sering diam dan kadang wajahnya cemberut bila ada sesuatu yang tak disukainya. Selama menjadi Presiden, hampir tak pernah terdengar atau terlihat Mega misalnya berkelakar dengan para menteri, atau kepada orang-orang biasa yang menemuinya. Sepertinya ada jarak pemisah antara dirinya dengan konstituen atau para pendukungnya. Tidak sefamiliar ayahnya. 

Kurang lebih sama dengan Presiden SBY. Bahkan presiden yang satu ini terkesan amat serius sebagai kepala negara. SBY memang gagah dan ganteng. Tapi sesekali saja dia tersenyum, selebihnya selalu serius terutama saat menyampaikan pidato-pidatonya yang panjang dan ditandai dengan gerak-gerik kedua tangannya. SBY bahkan mudah marah dan langsung menegur orang lain. Misalnya, dia marah tatkala ada pejabat, bupati, bahkan anak sekolah tertidur di ruangan saat dia menyampaikan pidatonya. Entah kenapa begitu. Padahal SBY cukup pintar membuat lagu dan sudah membuat album pula. Tapi jiwa senimannya -- yang lazim dengan gaya nyeleneh -- tak pernah muncul. Ia terkesan selalu jaim-jaga imej. Banyak orang bisa berada dekat dan dalam lingkaran SBY, namun boleh jadi mereka merasa tetap berjarak dengan sang Presiden.

Tentu saja tiap-tiap presiden punya karakter (termasuk tampang dan gaya) yang berbeda-beda dan tidak mungkin harus disamakan. Tapi, jabatan presiden bukanlah segala-galanya, bukan sesuatu yang harus disakralkan atau dikultuskan,  hingga mengecilkan bahkan menyepelekan keberadaan orang-orang lain di bawahnya.  

Obama bisa melakukan ke-"alay"-an tanpa harus kehilangan wibawanya sebagai Presiden. Dia bisa nyeleneh tanpa merendahkan status dan harga dirinya. Bahkan yang diajak nyeleneh malah senang karena merasa dihargai dan dipedulikan oleh  pemimpinnya. Sekali waktu Obama juga berjoget ala Gangnam Style atau memeluk erat istrinya di depan orang banyak. Ini masalah gaya komunikasi politik saja. Obama pintar menggunakan komunikasi politik kekinian, yang akrab dengan perkembangan zaman terutama yang dimaui dan disukai kalangan muda. ***

Kebon Jeruk, 19 November 2012
ZHM




Sabtu, 17 November 2012

JLo dan SRK Datang, Indonesia Aman?

Bom atom kau ledakkan, semua jadi berantakan
Bingung, bingung, ku memikirnya
-- "Perdamaian'' Nasyida Ria


APA jadinya kalau dua megabintang dunia datang ke Indonesia? Pasti seru, dan ini tentu kabar gembira bagi para penggemar musik dan hiburan di tanah air. Jenifer Lopez (JLo), diva pop Amerika, dan Shah Rukh Khan (SRK), aktor Bollywood/India masa kini, bakal konser di sini. JLo konser di Jakarta pada 30 November, sedangkan SRK  manggung di Sentul, Jawa Barat, pada 8 Desember. 

JLo dan SRK bukan satu-satunya artis dunia yang tampil di Indonesia. Sebelumnya, beberapa artis penyanyi dan pemusik top mancanegara juga pernah manggung di sini. Sebutah misalnya Katy Perry, Beyonce, Justin Bieber, Phil Collins, supergrup Metallica, Air Suply, The Corrs, serta puluhan musisi jazz yang meramaikan hajatan rutin Java Jazz. 

Kedatangan mereka tidak bisa dipandang hanya sebagai kemajuan industri pertunjukan di tanah air. Tapi juga, menjadi gambaran tingkat keamanan dan stabilitas politik nasional. Terutama kaitannya dengan terorisme. Suatu masa, di tahun 2000-an, banyak artis dunia membatalkan konsernya di Indonesia lantaran di sini banyak aksi-aksi pengeboman. Ada pengeboman di Bali, di Kedubes Filipina, di Kedubes Australia, dan di hotel JW Marriot. Berbagai aksi teror itu langsung menimbulkan stigma negatif: Indonesia tidak aman! Mana mungkin mereka mau datang dan konser, kalau keselamatan diri dan para penonton terancam. Lebih baik dibatalkan.

Stigma negatif itu tentu amat merugikan Indonesia. Termasuk pula merosotnya jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke sini. Apalagi negara-negara seperti Amerika dan Australia, mengeluarkan travel warning  bagi warganya yang sedang atau akan ke Indonesia. Yang sedang berwisata bergegas pulang, yang siap-siap datang langsung mengurungkan keberangkatan. Begitu dahsyat efek terorisme, membuat banyak kalangan takut dan tidak berani beraktivitas. Terorisme melumpuhkan kehidupan.

Syukurlah, dalam 3-5 tahun terakhir ini aksi-aksi pengeboman relatif mulai surut. Meski sesekali ada aksi peledakan, namun terbilang tidak besar dari sisi ledakan dan jumlah korban. Tim Densus 88 masih bisa mengatasinya. Kondisi yang membaik ini tak terlepas dari keberhasilan Densus yang sudah menembak mati gembong teroris Dr Azahari di Kota Batu, Malang,  dan kemudian juga tewasnya Noordin M Top dalam aksi penyerbuan di Jawa Tengah, beberapa tahun lalu.   

Meski begitu, Indonesia belum 100 persen aman. Buktinya sebulan lalu aksi pengeboman masih muncul di Solo. Beberapa bom rakitan yang siap diledakkan juga ditemukan polisi di beberapa rumah kontrakan di Jakarta. Sejumlah terduga teroris yang siap beraksi juga berhasil dibekuk. Artinya, tetap dibutuhkan kewaspadaan, sebab aksi-aksi terorisme selalu muncul tanpa diduga-duga. Dari banyak kasus pengeboman yang pernah terjadi, semuanya tanpa didahului (misalnya) ancaman lewat telepon gelap. Bom itu tiba-tiba saja meledak.

Siapa sangka misalnya tetangga sebelah rumah Anda, yang pendiam dan tidak banyak gaul, ternyata adalah teroris. Ia mungkin tidak menganiaya Anda, tapi sudah siap meledakkan bom rakitannya di tempat lain. Maka, seperti sering diingatkan oleh Bang Napi, waspadalah... waspadalah.... waspadalah....

Kebon Jeruk, 18 November 2012
ZHM




Jumat, 16 November 2012

Republik "Kuburan Kasus"

Perdamaian tanpa keadilan adalah tirani
--William A White, Politikus Amerika (1868-1944)

JIKA Anda seorang peneliti, tak usah jauh-jauh ke luar negeri. Di sini saja, di Indonesia, begitu banyak kasus yang bisa Anda teliti. Anda bebas memilih: kasus kriminal, kasus politik, kasus hukum, kasus pelanggaran HAM, kasus ekonomi, kasus olahraga, semuanya ada. Bahkan kasus SARA pun tersedia. Ya, di Indonesia memang ada beribu-ribu kasus menumpuk yang terjadi hampir saban hari. Sayangnya, tidak semua kasus dapat diselesaikan. Lebih banyak yang ditunda penyelesaiannya, dibiarkan, dipetieskan, bahkan dikubur untuk selamanya. Maka pantaslah bila negeri ini berjuluk ''republik kuburan kasus.''

Seluas manakah kuburan kasus itu? Tergantung bidangnya. Kasus kriminal, misalnya, mungkin bisa diibaratkan seperti TPU (Tempat Pemakaman Umum) Tanah Kusir dan TPU Karet Bivak. Cukup luas arealnya dan yang dikubur adalah kasus-kasus yang menyangkut orang biasa. Lantas kuburan kasus politik dan hukum bisa diumpamakan TMP (Taman Makam Pahlawan) Kalibata atau mirip juga dengan Pemakaman Sandiego Hills di Karawang. Arealnya cukup luas tetapi yang dikubur adalah kasus-kasus yang melibatkan kaum elit dan penguasa.  

Sebagai kuburan kasus, tentu saja tidak mudah untuk diutak-atik lagi. Jarang ada kuburan yang dibongkar dan mustahil pula menghidupkan orang yang telah mati. Kuburan kasus itu hanya bisa diziarahi dan lebih sering cuma untuk ditangisi. Para keluarga korban nyaris tak berdaya. Sebut saja misalnya: Kasus Tragedi Tanjung Priok 1984, Kasus Kerusuhan Mei 1998, Kasus Penembakan Mahasiswa Trisakti dan Kasus Semanggi I & II, hingga kini belum juga terselesaikan. Padahal keluarga korban sudah mengadu ke DPR dan menggugat sana-sini, tapi hasilnya nihil. Mahasiswa hanya bisa meneriakkannya lewat aksi unjuk rasa.

Kemudian Kasus Penculikan Aktivis dan Kasus Kematian Munir adalah dua kasus pelanggaran HAM berat yang begitu sulit dituntaskan. Keluarga korban sudah mengadu ke mana-mana. Para aktivis juga telah membantu memberikan advokasi ke banyak biro bantuan hukum. Tetapi semua usaha itu selalu kandas. Sepertinya ada tembok besar yang menghalanginya, sehingga belum juga tampak siapa pelaku dan otak di balik kejahatan kemanusiaan ini. Pemerintah yang berkuasa pun bungkam, seolah menutup mata dan telinganya.

Hal yang sama terjadi pada penanganan kasus korupsi. Kasus dugaan korupsi Soeharto, misalnya, begitu berbelit-belit penyelesaiannya hingga mantan penguasa Orde Baru itu wafat, kasusnya tak kunjung terselesaikan. Lantas Kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dan Kasus Bailout Bank Century, cuma serius di awal tetapi kini macet total. Apalagi kasus Century, cuma jadi bahan retorika dan mainan politik para elit. Sampai detik ini belum juga dibongkar siapa-siapa saja yang telah mengambil uang rakyat dengan dalih mencegah krisis ekonomi. 

Demikian pula Kasus Korupsi Wisma Atlet dan Kasus Korupsi Sport Center Hambalang, baru para kroconya saja yang bisa disentuh (atau dikorbankan?), sedangkan biang kerok dan dalangnya belum juga terjerat. Begitu lambatnya penyelesaian kasus ini. KPK sebagai lembaga paling berwenang menangani perkaranya, lebih sering hanya mengumbar janji bakal ada tersangka baru. Katanya besok, nyatanya belum. Jangan-jangan kasus ini pun akan masuk ke liar kubur.

Rakyat Indonesia, khususnya para korban dan keluarga korban, sudah capek mengadu ke wakil rakyat di DPR. Namun aduan mereka cuma masuk kuping kanan dan keluar lagi ke kuping kiri. Mereka juga sudah lelah menuntut keadilan ke sana-sini, tetapi sang Dewi Keadilan hanya bisa menangis lantaran jaksa dan para hakim bisa dibeli. Hukum bak sendal jepit. Keadilan hanya milik orang berduit.

Lantas, apa gunanya keberadaan Presiden, Anggota DPR, Kepolisian, Kejaksaan Agung, bahkan KPK,  kalau hanya bisa menggali kubur bagi ribuan kasus yang merugikan serta mengorbankan rakyat banyak?   

Jakarta Barat, 17 November 2012
ZHM

Kamis, 15 November 2012

Para Pejabat, Bercerminlah Pada Mak Yanti

Jangan bilang kamu kaya, kalau 
tetanggamu makan bangkai kucingnya
-- WS Rendra


SOSOK Mak Yanti kini menjadi berita menarik di televisi dan koran-koran. Padahal dia hanya seorang pemulung. Tinggalnya pun di pinggiran kampung. Tapi, berkat kemuliaan hati dan perilakunya,  kita memandangnya sebagai seorang yang istimewa. Bukan lagi orang yang terpinggirkan. Boleh jadi dia jauh lebih berharga ketimbang seorang artis yang cuma cari sensasi, atau seorang pejabat yang korupsi, atau para capres (calon presiden) yang cuma tebar pesona dan umbar janji.

Mak Yanti adalah wanita tua dan bersama suaminya menjadi pemulung di Jakarta. Sehari-hari dia mengais botol bekas untuk mencari rezeki guna menyambung hidupnya. Rupanya, Tuhan mengaruniainya jiwa sosial yang tinggi. Dalam kemiskinan, dari hasil memulung, dia mampu menyisihkan uangnya dan selama tiga tahun terkumpul sebanyak Rp 5 juta. Uang itulah yang dibelikan hewan kurban berupa dua ekor kambing dan disumbangkan di sebuah masjid di Tebet, Jakarta Selatan, pada hari Idul Adha lalu. Dia memang ingin memberikan hewan kurban itu, setelah hidup di Jakarta 47 tahun selalu mendapat pemberian daging kambing.  Kali ini dia ingin berbagi.  Subhanallah...

Aksi Mak Yanti  itu terdengar oleh Menteri Sosial Salim Segaf Aljufri.  Mensos pun langsung mengunjungi Mak Yanti di rumahnya, dan tidak lupa memberikan uang tunai untuk modal usaha. Mak Yanti bersyukur dikunjungi menteri. Dan, kini ada kabar bagus bahwa sebuah biro perjalanan haji pun berencana memberangkatkan Mak Yanti bersama suaminya beribadah haji ke Tanah Suci. Insya Allah sang pemulung berhati mulia itu akan berangkat tahun depan.

Kisah Mak Yanti bukan hanya menyentuh nurani, tapi juga membuat hati kita iri. Bagaimana tidak? Kita yang mungkin hidup berkecukupan belum tentu bisa melakukan pengorbanan seperti Mak Yanti.  Kalau kita banyak uang atau harta lantas memberikan sumbangan bagi kaum dhuafa, itu wajar dan biasa. Semua orang kaya pasti bisa. Tapi sungguh luar biasa bagi seorang Mak Yanti, karena di dalam ketiadaan pun dia masih bisa berbagi. Apakah kita bisa seperti dia? Belum tentu!

Nah, dalam konteks itulah mestinya para pejabat dan calon-calon pejabat berkaca pada kehidupan Mak Yanti. Para pejabat yang sudah hidup enak dan kaya raya, cenderung masih saja menambah kekayaannya.  Tak peduli rakyat atau orang di sekelilingnya menderita kelaparan. Hampir semua pejabat di Indonesia hartanya langsung naik tinggi dibanding sebelum menjabat. Jika pertambahannya wajar dan legal, tentu tidak apa-apa. Yang sering terjadi adalah dengan jalan menyelewengkan jabatan dan kekuasaannya. Mereka memperkaya diri dengan jalan korupsi. 

Begitu pula para bakal capres yang kini sudah ramai bermunculan. Tidakkah tuan-tuan bercermin pada kehidupan dan kemuliaan hati Mak Yanti? Tuan-tuan mengatakan akan mengubah negeri ini bila nanti terpilih. Tuan-tuan berjanji akan memperbaiki hidup orang-orang miskin seperti Mak Yanti. Nyatanya, setelah tuan terpilih, yang terpikir hanya melulu kepentingan pribadi. Tak ada lagi peduli pada orang seperti Mak Yanti.

Kalau benar para capres pro rakyat kecil, tidak harus menunggu terpilih untuk peduli pada kehidupan orang-orang yang bernasib seperti Mak Yanti. Sekarang saja. Sebab, mengatasi kelaparan mereka tak bisa lagi ditunda...

Kebon Jeruk, 16 November 2012
ZHM



Selasa, 13 November 2012

Menolak Kongkalikong, Setan Pasti Kalah!

Lebih baik mencegah kejahatan daripada menghukumnya
--Cesare Beccaria, Politisi Italia (1738-1794)

BASUKI Tjahaja Purnama alias Ahok bukanlah Dahlan Iskan. Dia hanya seorang pejabat lokal, Wakil Gubernur DKI Jakarta. Tetapi dia telah melakukan sesuatu yang kurang lebih sama. Yakni: memberantas praktik kongkalikong pejabat dalam penyusunan maupun penggunaan anggaran pembangunan. Dahlan menguak kasus upeti yang diminta sejumlah oknum anggota DPR terhadap BUMN. Sedangkan Ahok menolak kemungkinan mark up anggaran di Dinas PU (Pekerjaan Umum) DKI Jakarta. 

Apa sebetulnya yang dilakukan Ahok? Begini ceritanya: Kamis 8 November 2012,  Ahok menggelar rapat anggaran bersama Dinas PU DKI di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan. Dalam rapat tersebut, rupanya masih ada kebiasaan lama. Salah seorang pejabat Dinas PU meminta poin-poin yang belum disetujui agar diberi tanda bintang. Apa yang terjadi?

Ternyata Ahok menolak bahkan marah. ''Nggak usah kasih bintang Pak. Ini bukan DPR. Kayak di komisi DPR saja. Saya sudah biasa Pak, bintang-bintang begitu di komisi. Capek sudah 2,5 tahun ngurusin bintang-bintang itu. Coret-coret saja kalau Bapak setuju (menghilangkan program),'' katanya serius. Ahok yang mantan anggota DPR itu paham betul bahwa tanda bintang adalah sinyal bahwa program tersebut harus ada pembahasan khusus. Padahal mungkin tidak perlu, mengada-ada, sehingga anggaran atau dananya bisa ''dimainkan.'' Lewat program yang diberi tanda bintang itulah sang pejabat mencari celah untuk kongkalikong, yang ujung-ujungnya ya korupsi.

Ahok mempertanyakan sekaligus mengeritik beberapa program yang diajukan Dinas PU itu sebetulnya tidak penting. Bahkan anggaran yang diajukan pun terlampau besar, sangat tidak realistis. Karena itu dia langsung memerintahkan semua itu dihapus. Singkat cerita, begitu banyak hal yang tidak penting dianggarkan Dinas PU yang bisa menimbulkan kerawanan diselewengkan atau dikorup. Makanya, Ahok agak sewot sehingga rapat itu berlangsung agak tegang.

Celakanya, rapat tersebut direkam dan videonya di-apload oleh Pemprov DKI ke situs Youtube. Dalam sekejap, video yang berdurasi 46 menit itu langsung tersebar luas lewat media jejaring sosial seperti facebook, twitter, dan BBM. Ketahuanlah bahwa para pejabat Dinas PU seakan ingin main kongkalikong dalam penyusunan anggaran. Untunglah Wagub Ahok tidak bisa diajak kompromi. Nehi, nehi, nehi, begitu kira-kira kata pria keturunan etnis Tionghoa itu dalam logat bahasa India.

Tindakan Ahok kelihatannya sepele, padahal sesungguhnya penting untuk memberantas budaya kongkalikong yang sudah mentradisi di lembaga-lembaga birokrasi dalam hal ini di jajaran pejabat Pemprov DKI. Kongkalikong, apalagi menyangkut anggaran atau uang negara, arahnya jelas. Sangat negatif. Kemungkinan terjadinya penggelembungan dana, yang sebagian bisa jadi lahan korupsi. Ahok berusaha melawan peluang ke arah itu. Dengan caranya sendiri, dia mencegahnya.

Di tengah merajalelanya kasus-kasus korupsi, negara ini membutuhkan pejabat yang berani menangkis  ''bisikan dan rayuan setan.'' Yaitu pejabat yang tidak bisa diajak kompromi, tapi malah secara proaktif menolak serta membongkar praktik dan perilaku korupsi. Orang seperti mereka mungkin tidak disukai di  kalangan pejabat bermental jahat maupun oleh mitra-mitra kerjanya, karena dianggap mengganggu bahkan mengancam. Seperti Dahlan mendapat serangan balik dari sejumlah besar anggota DPR.

Orang seperti mereka juga langka. Sebab tidak mudah untuk melakukan tindakan semacam itu. Selain karena ketulusan, panggilan nurani, tanggung jawab moral, juga nyali besar alias keberanian. Banyak pejabat yang anti korupsi, tapi tak berani mencegah bahkan memberantasnya dengan tindakan nyata. Dahlan dan Ahok setidaknya sudah mencobanya. Semoga pejabat lain tertular melakukan hal serupa; berlomba menciptakan birokrasi yang bersih dari korupsi.

Jangan lagi menganggap tindakan mereka itu sebagai cari sensasi. Jangan pula menilainya sebagai politik pencitraan. Boleh jadi mereka melakukan itu dengan penuh kesungguhan. Tindakan mereka positif dan baik. Juga membangkitkan kesadaran semua orang: oh ternyata kejahatan bisa dilawan. Kalau setiap pejabat mau memerangi kejahatan kekuasaan, maka kata Rhoma Irama dalam lagunya: setan pasti kalah...! 

Kebon Jeruk, 14 November 2012 
ZHM

Senin, 12 November 2012

Diego, Sepak Bola atau Sepak Kepala?

Dalam sepakbola kita, tidak jelas 
mana ''game'' dan mana ''crime''...


TAHUKAH Anda? Sepakbola Indonesia adalah olahraga paling menarik di dunia. Ya, sangat menarik sekali. Jauh lebih menarik daripada ajang Euro (Piala Eropa) dan World Cup (Piala Dunia). Tak percaya? Lihat saja permainan di lapangan hijau. Seringkali bukan bola yang disepak, tapi para pemain saling sikut dan adu jotos. Bila perlu badan dan kepala pun ditendang. Bahkan wasit bisa babak belur karena dikeroyok dan dipukuli pemain. Dan, antarsuporter, terbiasa perang batu di dalam maupun luar stadion. Bukankah itu menarik? 

Yang tak kalah menarik, bahkan bikin heboh, pemain melakukan penganiayaan di Night Club -- tempat yang tak punya korelasi sedikit pun dengan klub sepakbola. Itulah yang dilakukan Diego Michiels, seorang pemain Timnas. Dia berkelahi dan memukul seseorang hingga mukanya memar, bahkan berdarah-darah. Keluarga korban lalu melapor ke polisi.  Akibat perbuatannya itu, Diego ditangkap dan sejak akhir pekan lalu ditahan di sel Polsek Tanah Abang. 

Penahanan Diego menuai pro-kontra. Banyak kalangan setuju dia ditahan, dan bila perlu namanya dicoret dari Timnas. Sebab dia dinilai telah melakukan indisipliner serta perbuatan kriminal yang dapat merusak prestasi Timnas sekaligus citra persepakbolaan Indonesia. Sedangkan pihak Timnas atau PSSI cenderung membela Diego, dengan alasan dia pemain berbakat yang diharapkan bisa ikut memperkuat Timnas terutama di ajang Piala AFF di Malaysia, 24  November - 1 Desember 2012 ini.

Benarkah ulah Diego bisa merusak citra sepakbola kita? Memangnya sepakbola kita masih punya citra? Tanpa adanya kasus Diego pun citra sepakbola Indonesia sudah ancur-ancuran. Tidak jelas mana game dan mana crime.  Atau, setiap game selalu berakhir dengan crime. Hampir sepanjang sejarah, pengurus PSSI terus berkelahi. Bukan hanya adanya dualisme kepengurusan atau organisasi, tapi juga dibelit berbagai skandal suap, korupsi dan judi. Alhasil, menonton pertikaian antarpengurus PSSI jauh lebih menarik ketimbang menonton duel Timnas di stadion Senayan sekalipun misalnya lawannya tim Barcelona atau Spanyol.

Sepertinya sudah menjadi ''takdir dan kutukan'' kalau sepakbola Indonesia terus menderita kekalahan. Masa keemasan era tahun 1960-an hanya tinggal kenangan, tak pernah terulang lagi. Walaupun sudah dibongkar-susun Timnas dengan banyak pemain baru dan gonta-ganti nama, termasuk Timnas Garuda, tetap saja terpuruk walau di tingkat Asia. Timnas kita lebih sering dipecundangi Thailand dan Malaysia. Sepertinya, begitu sulit mencari 11 orang saja pemain bola terbaik di antara sekitar 250 juta rakyat Indonesia. 

Padahal, sepakbola sebagai olahraga rakyat, sangat bisa mengharumkan nama negara dan bangsa di  mata dunia. Itu sudah dialami dan dirasakan bangsa-bangsa di Eropa dan juga Afrika. Dengan jumlah penduduk yang besar mestinya Indonesia bisa. Nyatanya itu tidak pernah. Negara kita lebih dikenal sebagai pengekspor TKI ke Malaysia dan Arab Saudi. Juga sebagai negara terkorup ke-10 di  wilayah Asia-Pasific. Di kancah dunia, sepakbola kita masih dipandang sebelah mata. Entah sampai kapan akan terus begini; menderita, dan merana.

Nah, kalau faktanya seperti itu, masih menarikkah menonton sepakbola Indonesia? Masih perlukah datang ke Gelora Bung Karno atau ke stadion-stadion di daerah? Masih perlukah pula menyalakan televisi yang menayangkan Liga-liga Indonesia?

Jangan salahkan publik di tanah air kalau mereka rela begadang malam-malam untuk menonton Liga Italia, Liga Inggris atau Liga Eropa yang tayang di televisi. Sebab itu adalah pertandingan sepakbola kelas dunia, yang sangat asyik ditonton, juga memberikan pelajaran tentang teknik bermain bola dengan seni dan citarasa tinggi. Juga memberikan semangat dan nilai-nilai sportivitas.

Jangan salahkan publik atau penonton jika mereka -- kini atau nanti -- segera mengganti chanel atau mematikan televisi tatkala ada tayangan sepakbola Indonesia, tapi adegannya justru pemain adu jotos atau wasit lari terbirit-birit karena dikeroyok para pemain... 

Jakarta, 13 November 2012
ZHM


Minggu, 11 November 2012

Musim Hujan Vs Suhu Politik Indonesia

Dua gajah (elit politik ) bertarung, 
pelanduk (rakyat kecil) mati di tengah-tengah
--Pepatah Klasik


ADAKAH hubungan antara musim hujan dengan suhu politik Indonesia? Saya tidak tahu. Yang jelas, mulai November dan Desember 2012 ini musim hujan sudah datang. Sejumlah wilayah di nusantara diguyur air cukup deras dari langit. Bahkan beberapa daerah dilanda banjir. Musim hujan menyertai dinginnya udara dan cuaca, hingga bisa menggigilkan badan, tetapi -- sayangnya -- belum tentu mendinginkan hati dan pikiran.

Ya, hati dan pikiran orang Indonesia memang mudah panas. Sekarang pun sedang panas. Lihat saja: berbagai aksi kekerasan terjadi saban hari di mana-mana. Di rumah, di jalan, di pasar, di kampus, bahkan di tempat ibadah ada anarkisme. Perkelahian pelajar yang kian brutal tak kunjung usai. Antarsuku/etnis juga saling serang hingga berujung pada kerusuhan. Setelah Aceh, Kalimantan, Ambon, Poso, belum lama ini pun terjadi di Lampung. Konflik antarpejabat dan antarpolitisi juga tak pernah berhenti. Di DPR, di istana, di kantor pemerintah, dan lembaga-lembaga hukum, selalu terjadi polemik dan perang opini. Pendeknya, negeri ini tak pernah sepi dari orang berkelahi. Hati dan pikiran kita mudah panas dan terbakar. Padahal, seringkali hanya karena gesekan kecil atau masalah sepele.

Semua pihak suka ngotot dan saling serang. Lihatlah misalnya konflik antara KPK dan Polri dalam menangani perkara korupsi, ketegangannya berkepanjangan. Kemudian antara Menteri Dahlan Iskan dengan DPR terkait isu pemalakan BUMN, kedua pihak perang statement. Terbaru, perang opini antara orang-orang Istana Presiden dengan Ketua MK Mahfud MD soal dugaan mafia narkoba terkait grasi bagi terpidana kasus narkoba. Selain itu, juga saling kecam antara partai-partai politik dengan KPU soal verifikasi parpol peserta Pemilu 2014. Begitu panjangnya daftar konflik dan keributan itu. Begitu bisingnya jika kita mendengarkan semuanya. Panas, panas, dan suhu politik nasional pun memanas.

Stigma orang Indonesia ramah-ramah atau peramah, sebetulnya salah kaprah. Faktanya justru banyak orang Indonesia mudah marah dan jadi pemarah.  Beda pendapat, marah. Beda parpol, marah. Beda calon gubernur, marah. Beda capres, marah. Beda keyakinan atau agama pun, marah. Wah, parah! Kata seorang teman -- tapi saya tidak percaya -- itu akibat letak geografis wilayah nusantara dikelilingi api (ring of fire) atau gugusan gunung berapi,  sehingga hati dan pikiran orang Indonesia mudah panas dan terbakar. Akibatnya, sering terjadi konflik dan keributan.

Menurut saya, masalahnya berpangkal pada pendidikan dan mental. Warga, politisi, dan pejabat yang berpendidikan serta bermental bagus, tidak akan mudah terbakar emosi ketika menghadapi konflik. Mereka tenang, tidak kebakaran jenggot, tidak menghujat lawan,  dan dapat menyelesaikan kasusnya dengan akal sehat. Mereka tahu diri dan sadar diri, termasuk mengaku salah jika salah. Masih ada orang biasa dan tokoh-tokoh yang bersikap demikian. Mereka takkan pernah bikin onar atau keributan. Mereka menjaga toleransi. Mereka lebih mementingkan NKRI ketimbang ambisi dan nafsu pribadi. Cuma jumlahnya mungkin segelintir saja.

Selain itu, juga akibat tidak adanya keteladanan dari kepemimpinan nasional. Tak ada top leader yang benar-benar bisa jadi panutan. Ucapan, perilaku dan semua tindak-tanduknya dapat dijadikan contoh teladan bagi semua orang, terutama yang muda-muda. Kini tak ada yang semacam itu, tak ada yang se-ideal itu. Akibat tak ada panutan atau pegangan, orang pun berjalan sendiri-sendiri sambil memaksakan kehendak pribadi atau kelompoknya. Terjadilah gesekan kepentingan. Hingga suhu politik jadi panas.

Siapa tahu musim hujan yang datang dapat mendinginkan hati dan pikiran kita, melembutkan hati dan pikiran para elit politik Indonesia, tanpa harus kehilangan ide-ide kreatif dan semangat untuk terus bekerja! 

Jakarta, 12 November 2012
ZHM


Sabtu, 10 November 2012

Razia Polisi Gendut & Rekening Gendut

Tegakkan hukum hingga langit akan runtuh
-- Pepatah Latin


INI berita lucu. Setidaknya mengundang senyum. Polres Tangerang belakangan ini rajin merazia anggotanya yang bertubuh gendut. Tak kurang dari sebulan, sebanyak 132 polisi gendut kena razia. Karena itu, mereka diwajibkan mengikuti program olahraga penurunan berat badan pada tiap Selasa dan Jumat sore. ''Sebagai polisi, dia harus terlihat gagah dan memiliki tubuh proporsional supaya enak dipandang masyarakat. Jika memiliki tubuh yang sesuai porsi, akan lebih gampang menangkap penjahat,'' kata Kapolres Tangerang Kombes Wahyu Widada memberi alasan.

Razia tersebut mendapat dukungan positif dari Polda Metro Jaya, bahkan bakal digelar pula di wilayah-wilayah lainnya. Apa yang dilakukan Polres Tangerang dinilai sebagai suatu terobosan kreatif guna mengubah penampilan anggota kepolisian di lapangan. Juga baik untuk membina kekuatan polisi dalam menghadapi tantangan.

Sebetulnya razia semacam itu sudah lumrah di luar negeri terutama di negara-negara maju. Polisi, karena tugasnya yang berat, secara fisik harus benar-benar sehat wal afiat. Tak boleh obesitas. Jangan pula sebaliknya,  kurus kerempeng. Mereka harus disiplin menjaga kesehatan agar berat badan ideal. Polisi di Inggris rutin menjalani tes kesehatan. Jika tiga kali gagal, maka diancam gajinya dipotong. Begitu pula di India, Amerika, dan beberapa negara Eropa. 

Demi kesehatan dan memaksimalkan kinerja para polisi, tentu siapa pun mendukung razia polisi gendut. Itu bagus. Lebih bagus lagi, kepolisian juga gencar merazia anggotanya yang bermasalah. Misalnya polisi yang suka menilang sembarangan di jalan raya, suka memeras pelanggar lalulintas, suka membekingi bandar judi, suka memprovokasi dan agitasi, suka dugem di tempat hiburan malam, dan sejenisnya yang secara moralitas tak mencerminkan sebagai pengayom masyarakat. 

Bahkan lebih hebat lagi kalau digelar razia polisi yang memiliki ''rekening gendut''. Yakni rekening yang dalam waktu cepat jumlah uangnya membengkak dan asal muasal uangnya pun mencurigakan. Konon banyak petinggi Polri yang memiliki rekening gendut. Hal ini pernah diungkap dalam laporan utama majalah Tempo edisi 28 Juni-4 Juli 2010. Mahkamah Agung juga pernah mengeluarkan Peraturan Nomor 2 Tahun 2011 yang meminta kepolisian segera membuka informasi soal  17 rekening gendut sejumlah petinggi kepolisian. Namun, Kabag Penerangan Polri Kombes Boy Rafli Amar menyatakan rekening tersebut adalah rahasia pribadi masing-masing pemiliknya, sehingga belum dapat dipastikan apakah akan dipublikasikan ke masyarakat sesuai keputusan MA.

Bisa dipastikan, Polri tidak akan mau mengungkap dan mempublikasikan ke-17 rekening gendut tersebut. Polri malah bersikukuh dan merujuk laporan yang telah diberikan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) sebagai bukti tidak ada yang salah dengan rekening-rekening tersebut. Karena Polri tidak mau membukanya, ya harus dilakukan oleh lembaga lain yang juga berwenang, dalam hal ini adalah KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk ''merazia'' alias mengusutnya. Jika benar ada penyimpangan keuangan, ya dibongkar saja. Polri harus legowo dan bahkan proaktif memberantas korupsi di jajarannya. Bukankah kepolisian adalah juga institusi penting dalam penegakan hukum?

Nah, publik mendukung razia polisi gendut. Lebih mendukung lagi razia rekening gendut !

Jakarta, 11 November 2012
ZHM


Jumat, 09 November 2012

Jawa Barat "Dikuasai" Seleb-Birokrat

Tinggalkan saja diriku
yang tak mungkin menunggu
jangan pernah memilih
aku bukan pilihan
-- Iwan Fals

SEPULUH tahun yang lalu ada yang memprediksi. Bahwa wilayah Jawa Barat bakal dikuasai artis. Maksudnya, di provinsi ini banyak artis yang akan menjadi pejabat publik. Dari bupati, walikota, hingga gubernur. Prediksi tersebut tak meleset jauh. Terbukti, muncullah Rano Karno menjadi Wakil Bupati Tangerang dan kemudian menjadi Wakil Gubernur Banten. Dicky Chandra jadi Wakil Bupati Garut walau akhirnya mengundurkan diri.  Sedangkan Dede Yusuf menjadi Wakil Gubernur Jabar. 

Bandingkan dengan di daerah lain, hampir tak ada selebriti menjadi pejabat birokrasi. Kecuali di Jambi, Bupati  Tanjung Jabung Timur dijabat Zumi Zola, yang juga seorang artis.  Maka Jawa Barat boleh dibilang menjadi satu-satunya wilayah geopolitik Indonesia yang dipenuhi selebriti. Karena mereka masuk di jajaran pejabat birokrat, sebut saja dengan istilah: seleb-birokrat.

Fenomena seleb-birokrat menguasai Jawa Barat semakin jelas misalnya di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jabar kali ini. Pilgub-nya digelar pada Februari 2013. Tahap pendaftaran sudah dimulai. Ada sejumlah artis yang ikut bertarung. Rieke "Oneng" Diah Pitaloka jadi cagub dari PDIP. Deddy Mizwar jadi cawagub PKS. Dan, tentu saja, Dede Yusuf jadi cagub Partai Demokrat. Sempat beredar pula nama Nurul Arifin untuk jadi cawagub Partai Golkar, tapi akhirnya batal. Siapa pun yang menang, hampir bisa dipastikan bahwa di antara para artis itu akan menjadi gubernur ataupun wakil gubernur baru di Jawa Barat. Alhasil, di Jawa Barat banyak seleb-birokrat.

Mengapa mereka dipilih? Tak usah heran. Mereka popular, ngetop, sehingga memiliki elektabilitas yang tinggi. Apalagi calon-calon dari parpol kurang dikenal publik, maka ketenaran sang artis sangat menguntungkan dan dimanfaatkan sebagai penangguk suara (vote getter). Dalam Pilgub kali ini misalnya, PKS sengaja  memasang aktor kawakan Deddy Mizwar mendampingi cagub Ahmad Heryawan. Ini semata-mata untuk mengimbangi sekaligus melawan ketenaran Dede Yusuf dan Oneng. Ketiga artis ini akan berebut suara pemilih.

Yang jadi pertanyaan, jika sang artis telah terpilih, bisakah dan mampukah ia menjadi pejabat publik? Nah, di sinilah persoalannya. Kalau sekadar terpilih jadi bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota, gubernur atau wakil gubernur, mungkin sangat mudah bagi sang artis. Repotnya kalau ia tidak mampu menjalani tugasnya sebagai pejabat. Sangat mungkin terjadi karena ia  tidak punya pengalaman sebagai politisi maupun pejabat. Sehingga, tatkala sebagai seleb-birokrat, tak banyak yang bisa diperbuat. Jadilah ia sebagai pajangan saja, atau sebagai pelengkap belaka.

Di DPR saja, misalnya, cukup banyak artis jadi anggota dewan. Mereka pun masuk kategori seleb-birokrat. Tapi berapa besar kontribusi mereka? Apakah mereka mengubah atau minimal mewarnai parlemen? Nyatanya tidak, karena tetap didominasi para politisi yang secara kemampuan dan pengalaman jauh lebih memadai. Bahwa ada satu dua orang yang kelihatan menonjol, tapi tetap tenggelam di antara para politisi sejati. Seleb-birokrat di DPR cenderung hanya sebagai 'penggembira' saja.

Seleb-birokrat kita memang belum setaraf Ronald Reagen ataupun Arnold Scwarzenegger di Amerika. Masih jauh panggang dari api. Seleb-birokrat kita masih demam panggung. Bahkan mereka hampir tidak bisa membedakan: mana panggung politik dan mana panggung hiburan. Jadilah tingkah polah mereka yang gamang seperti yang terlihat sekarang.

Lantas, mengapa masih suka mengusung artis jadi kandidat seleb-birokrat, jadi calon pejabat publik? Ya karena partai-partai politik telah gagal, tak punya kader atau calon pemimpin yang bagus. Juga karena parpol-parpol malas; pengennya mengambil jalan pintas untuk merebut kursi kekuasaan itu. Tak peduli calon yang diusung sebenarnya tak bermutu....

Jakarta, 10 November 2012.
ZHM

Kamis, 08 November 2012

Pejabat (Negeri) yang Aneh

IGNORANTIA LEGIS NON EXCUSAT 
Pengabaian hukum tidak dapat dimaafkan atau dimaklumi


REPUBLIK ini memang aneh. Begitu banyak pejabat pemerintah kesandung kasus hukum. Sebanyak 281 kepala daerah dalam status sebagai saksi, tersangka, terdakwa, dan terpidana. Ada yang sudah lengser, tetap bertahan, dan sebaliknya malah ada yang dipromosikan serta diangkat kembali jadi pejabat. Data lain juga menyebut: 153 pegawa negeri sipil (PNS) adalah bekas terpidana. Mereka menjadi pejabat struktural.

Anehnya, baru sekarang Kementerian Dalam Negeri tersadar dan mengeluarkan surat edaran agar mereka jangan dipilih. Atau segera diberhentikan. Lebih aneh lagi, Mendagri Gamawan Fauzi lebih sering mengeluhkan keadaan itu. Mengapa tidak dari dulu saja dia membereskan sistem birokrasi dan pola rekrutmen pejabat yang tak becus itu.

Contoh kasus: di Maluku,  misalnya, terjadi pengaktifan dan pengangkatan kembali terpidana korupsi Bupati (nonaktif) Kepulauan Aru, Thedy Tengko, yang konon atas persetujuan Presiden SBY. Berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa setempat memprotes keras keputusan itu, namun tak digubris. Gubernur Maluku tetap berpegang pada restu Mendagri dan setuju Presiden.

Di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, juga ada pengangkatan empat pejabat bekas terpidana korupsi. Pihak Pemkab Karimun tampaknya berlagak pilon. Padahal,  pengangkatan mereka diduga melanggar surat edaran Mendagri Nomor 800/4329/SJ tanggal 29 Oktober 2012 Tentang Pengangkatan Kembali PNS dalam Jabatan Struktural. Ini contoh kecil saja, tentu masih banyak kasus serupa yang terjadi di sejumlah daerah.

Memang, setiap warga negara punya hak yang sama untuk dipilih atau diangkat jadi pejabat. Apalagi jika tidak melanggar aturan hukum formal, ya silakan.Tapi jangan lupa, hukum tak tertulis juga bisa berlaku bahkan terkadang lebih kuat karena menyangkut sosial dan adat. Ada hukum kepatutan dan kepantasan. Seseorang yang pernah divonis bersalah, pernah dihukum atau dipenjara misalnya karena kejahatan korupsi, masih patutkah menjadi pejabat publik? Masih pantaskah mereka memimpin rakyat? Tidakkah sebaiknya memilih orang lain yang masih bersih? Nah, hal seperti ini sungguh penting jadi bahan pertimbangan.

Pejabat yang moralnya cacat akan sulit dipercaya rakyat. Akibat kehilangan trust (kepercayaan), dia akan goyah dan tidak dapat memaksimalkan kinerjanya. Apalagi jika kecacatan moralnya itu selalu jadi pemicu rongrongan dari berbagai pihak, maka tak ada gunanya lagi dia jadi pejabat. Ibarat macan ompong yang bengong.

Memang, pejabat bukanlah malaikat. Tak ada yang 100 persen sempurna. Selalu ada sisi lemah dan buruknya. Tapi, bukan berarti tidak ada pilihan yang baik dan terbaik. Pasti tersedia banyak calon pejabat yang baik terutama dari segi moral. Tinggal penguasa mau atau tidak memilih mereka.  Terlalu mahal dan berbahaya menyerahkan negara ini ke tangan para pejabat jahat atau yang cacat moral, termasuk yang pernah mengkorupsi uang rakyat. 

Ke depan, harus ada keberanian dari penguasa dan rakyat: hanya memilih atau mengangkat pejabat yang baik dan benar-benar baik. Ajang Pilkada, Pileg dan Pilpres, harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk memilih pejabat publik yang baik. Orang baik pasti memilih orang baik. Takkan mungkin memilih yang jahat. Kebaikan menularkan kebaikan.

Jakarta, 9 November 2012.
ZHM



  

Rabu, 07 November 2012

Obama, Dahlan, Jokowi, Siapa Lagi?

Leadership and learning are
indispensable to teach other
---JOHN F KENNEDY


OBAMA menang lagi. Obama unggul lagi. Obama Presiden lagi. Hasil Pilpres yang berlangsung kemarin, jagoan Partai Demokrat itu mengalahkan Mitt Romney dari Partai Republik. Memang tidak menang telak, tapi nyata-nyata lawannya telah kalah. Maka, untuk kali kedua, Obama yang berkulit hitam itu berhak menghuni Gedung Putih. Kemenangan Obama disambut sukacita para pendukungnya. Dari rasa lega, gembira, tepuk tangan, hingga airmata keharuan.

Mengapa Obama menang kita pun ikut senang? Tentu saja karena kita memiliki kedekatan emosional. Dulu Obama kecil pernah bersekolah di SDN 01 Menteng, Jakarta Pusat. Hingga kemudian banyak orang Indonesia menyebutnya ''si anak Menteng.'' Nostalgia itu pula yang dibangkitkan saat Obama berkunjung ke sini, dua tahun lalu. ''Nasi goreng, emping, semuanya enak,'' kata Obama sembari tertawa saat menghadiri jamuan makan malam di Istana Negara, untuk menunjukkan bahwa dirinya amat familiar dengan orang Indonesia.

Tapi, proximity (kedekatan) kita dengan Obama bukan semata-mata karena itu. Melainkan pula karena kepemimpinannya, yakni: orang muda, bersih,  dan mengusung perubahan. Pemimpin macam inilah yang sedang dibutuhkan di banyak negara termasuk Indonesia. Makanya, Obama disambut hangat publik dunia ketika dia  menang dalam Pilpres Amerika empat tahun silam, dan juga sekarang. Dengan slogan khasnya Yes We Can, Obama menampilkan sosok pemimpin muda yang enerjik, mau bekerja, dan melakukan perubahan. Virus leadership macam inilah yang disuka. Dunia sudah muak dengan para pemimpin dan penguasa yang cuma pandai beretorika. Dunia mencari dan memilih pemimpin yang action, bekerja, membuka harapan, dan menciptakan perubahan.

Di Indonesia, memang tidak ada Obama. Tetapi telah muncul beberapa tokoh muda yang setidaknya punya spirit sama. Sebutlah misalnya Dahlan Iskan. Tokoh enerjik ini suka bekerja, bahkan hidupnya menjadi lebih hidup dengan bekerja. Dari seorang jurnalis, dia kemudian dipercaya memimpin PLN (Perusahaan Listrik Negara) dan sekarang menjadi Menneg BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Beberapa terobosan sudah dilakukan Dahlan, misalnya menyelamatkan beberapa perusahaan negara yang nyaris bangkrut. Dahlan pula yang menularkan gairah kerja di jajaran kabinet, terutama dengan speed dan gaya egaliternya. Dia mengubah etos kerja yang kaku menjadi cair dan kreatif serta mengubah birokrasi yang berbelit menjadi simpel. Dahlan pula yang menyadarkan banyak orang, bahwa selalu ada harapan (hope) di tengah kesulitan.

Kemudian sebut pula nama Joko Widodo (Jokowi). Sukses menjadi Walikota Solo, meningkat menjadi Gubernur DKI Jakarta saat ini. Apa yang dilakukan Jokowi? Banyak. Menyederhanakan birokrasi di tingkat pemerintahan kota dan provinsi. Mempercepat pelayanan publik. Mengatasi masalah pembangunan tanpa konflik. Dan, mengelola keuangan pemerintah bebas dari korupsi. Itu berkat kesederhanaan, ketulusan dan kejujuran seorang Jokowi.

Lantas, siapa lagi? Sebutlah juga Jusuf Kalla (JK). Meski dia mantan Wapres, tapi masih terus bekerja dan masih ada harapan memimpin bangsa. Saat ini dia menjadi Ketua PMI (Palang Merah Indonesia), lembaga kemanusiaan yang cukup penting. Kontribusi JK bagi bangsa ini adalah: mendamaikan banyak konflik antarsuku bangsa di negeri ini misalnya di Aceh dan Poso. JK memang spesialis juru damai yang andal. Cara bekerjanya cepat, tanpa ragu,  dan memudahkan masalah yang pelik.

Tokoh lain yang juga layak dicatat adalah Mahfud MD (Ketua MK) dan Abraham Samad (Ketua KPK). Kedua tokoh ini masih punya komitmen dan integritas tinggi dalam menegakkan hukum. Jujur dan bersih. Peran mereka amat penting, ketika para penegak hukum lainnya mudah goyah karena godaan rupiah. Ada harapan kedua orang ini pun bisa membawa perubahan bagi Indonesia, terutama dalam penegakan hukum demi Indonesia yang lebih baik.

Di antara mereka ada benang merahnya: saling menghargai, saling menginspirasi, dan mau saling belajar satu dengan yang lain.

Ya, saatnya orang-orang seperti mereka tampil di depan. Memimpin bangsa. Mengubah Indonesia. Yang cuma omdo -- omong doang -- segera lengser ke barisan paling belakang !

Jakarta, 8 November 2012
ZHM

Selasa, 06 November 2012

Sekarang, Soekarno-Hatta Pahlawan

Ini Pahlawan Baru dan Ini Baru Pahlawan: Soekarno dan Hatta

MUNGKIN banyak orang merasa heran mengapa baru sekarang Soekarno dan Hatta diberi gelar Pahlawan Nasional? Padahal, sudah banyak pejuang bangsa ini yang lebih muda darinya, yang gugur di meda perang ataupun mati belakangan, telah lebih dulu mendapat gelar itu. Padahal pula, sudah 67 tahun lebih bangsa Indonesia merdeka, yang tidak lain diproklamasikan oleh kedua tokoh tersebut. 

Terlambat, tertunda, atau sengaja memang baru sekarang gelar itu diberikan? Entahlah. Biarlah pakar sejarah saja yang lebih fasih menjawabnya. Yang pasti,  Rabu 7 November 2012 ini, gelar pahlawan bagi keduanya akan diserahkan oleh Pemerintah di Istana Negara. Pihak keluarga Soekarno dan keluarga Hatta pun kabarnya akan hadir dan berkenan menerimanya. 

Selama ini orang memang tidak pernah mengutak-atik gelar tersebut bagi Bung Karno dan Bung Hatta.  Kalau tak keliru, baru setahun lalu ada suara-suara yang mempersoalkannya (baca: mengusulkannya). Rupanya, publik atau rakyat Indonesia telanjur mengira kedua tokoh bangsa ini sejak Proklamasi RI dibacakan pada 17 Agustus 1945 otomatis menyandang gelar Pahlawan Nasional. Nyatanya tidak. Faktanya mereka belum bergelar Pahlawan.

Cobalah tanyakan misalnya kepada anak-anak sekolah dasar (SD), mereka pasti akan menyebut Soekarno dan Hatta adalah Proklamator RI. Tidak lebih dari itu.  Mereka mengenalnya pasti karena sering membaca teks Proklamasi, yang di pojok kanan bawah tertera nama Soekarno-Hatta.  Tetapi tatkala ditanyakan apakah mereka termasuk Pahlawan Nasional, anak-anak SD itu barangkali tidak bisa memberi penjelasan. Kita yang dewasa pun belum tentu berani menjawab ya atau tidak, karena tak tahu pasti mengenai gelar kepahlawanan Soekarno-Hatta (Ir Soekarno dan Dr Mohammad Hatta).

Memang, untuk menetapkan apakah seseorang layak mendapat gelar pahlawan atau tidak, ada kriteria, aturan dan prosedurnya. Tidak berlaku untuk sembarang orang. Tidak bisa seperti menobatkan seseorang  misalnya sebagai: Man of The Year, Tokoh Perubahan, Tokoh Kontroversial, Tokoh Terpopular, Tokoh Berbusana Terbaik, dan sejenisnya, yang lazim penuh rekayasa dan belum tentu ada manfaatnya. 

Khusus bagi Bung Karno dan Bung Hatta, mestinya sejak dari dulu sekali gelar Pahlawan itu diberikan. Ya, harapan publik pasti begitu, namun harus diakui bahwa pemberian gelar ini pun tak lepas dari nuansa politis. Kalau tidak politis, di masa Orde Baru pun Soekarno-Hatta mungkin sudah bergelar Pahlawan. Yang terjadi kala itu malah sebaliknya: hak-hak politik Soekarno dan Hatta (termasuk keluarganya) mendapat kekangan dan penjegalan. Mana mungkin Soeharto mau memberikan gelar pahlawan bagi lawan-lawan politiknya? Suka atau tidak, sejarah memang hanya milik pemenang dan penguasa...walau kerap dimanipulasi demi kepentingannya semata.

Sama halnya sekarang,  dua mantan Presiden yakni almarhum Soeharto dan almarhum Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) sudah pernah diusulkan banyak pihak agar diberi gelar Pahlawan Nasional. Namun usulan itu hanyalah ''bertepuk sebelah tangan'' alias tidak pernah mendapat tanggapan dari Pemerintah SBY. Mungkin SBY berhitung untung-ruginya secara politis bila memberikan gelar bagi dua presiden pendahulunya itu. Daripada berisiko, barangkali SBY menyerahkan kepada pemerintahan mendatang atau kelak kapan, yang akan memberikan gelar pahlawan bagi keduanya. 

SBY tentu merasa lebih urgen dan ''nyaman'' memberikan gelar Pahlawan buat Soekarno dan Hatta ketimbang buat Soeharto maupun Gus Dur. Itu lebih menguntungkan setidaknya untuk konstelasi politik saat ini dan persiapan partainya menyongsong tahun 2014. 

Padahal, sesungguhnya, Soekarno dan Hatta lebih dari sekadar Pahlawan. Sesungguhnya pula, Soekarno dan Hatta adalah Proklamator sejati dan abadi. Jadi, tak butuh politisasi. Allah SWT memang sengaja mengirim kedua tokoh tersebut -- dengan segala kelebihan dan kekurangannya -- ke bumi ini, untuk memerdekakan Indonesia dari  kaum penjajah. Kenang, kenanglah, perjuangan mereka. Hargai jasa-jasanya. Lanjutkan cita-citanya.

Jakarta, 7 November 2012
ZHM






Senin, 05 November 2012

Jangan Bersihkan Rumah Tangga Orang

''Semangat saya datang ke sini sebenarnya bukan
untuk mengurusi dan bersih-bersih rumah tangga orang lain.
Bukan. Saya justru harus mengurusi rumah tangga sendiri.
Di BUMN pun masih banyak masalah yang harus dibenahi''
--Dahlan Iskan, saat konfres di DPR, 5 November 2012

JIKA saja para pejabat dan penyelenggara negara ini bisa bersikap seperti Dahlan Iskan, alangkah baiknya republik ini. Setidaknya semangat antikorupsi bisa ditumbuhkan. Korupsi pun dapat dicegah sedini dan sekecil mungkin.  Kenapa? Sebab para pejabat dengan sadar menjaga kebersihan lembaganya masing-masing dari perilaku korupsi. Benar, untuk mengubah orang lain, bahkan mengubah dunia, harus dimulai dari perubahan pada diri sendiri.

Yang kerap terjadi justru sebaliknya: sang pejabat menutup-nutupi, melindungi si oknum, bahkan sebisa mungkin kasusnya tak terendus aparat hukum. Seolah bersih, nyatanya kotor penuh najis. Mereka malah menuding lembaga-lembaga lain yang korupsi. Saling tuding korup antarlembaga tidak ada gunanya. Institusi penegakan hukum seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang paling berwenang dan bisa membuktikan siapa-saipa saja yang:  paling korup, cukup korup, setengah korup, korup, dan bersih.

Dahlan sebetulnya enggan mengorek kesalahan lembaga lain. Baginya, bekerja jauh lebih penting daripada 'berpolitik.' Dia justru merasa perlu membenahi Kementerian BUMN sendiri yang dipimpinnya, yang diakuinya selama ini pun tak luput dari cap sarang korupsi. Stigma BUMN jadi ''sapi perah'' sudah ada sejak zaman Orba. Kalau terpaksa kini Dahlan datang ke DPR, itu lantaran undangan Badan Kehormatan, yang meminta klarifikasi seputar pernyataannya terdahulu bahwa ada sejumlah oknum anggota DPR yang meminta upeti dari BUMN. Dan, menurutnya, itu sangat mengganggu manajemen BUMN. Bukan hanya mengganggu, tapi merugikan publik. Bukankah uang yang dijadikan upeti itu adalah uang negara atau uang rakyat?

Meminta upeti, memalak, memeras, atau apa pun istilah yang lebih kasar dari itu, adalah modus-modus dari perilaku korupsi. Bukan saja tidak pantas dilakukan pejabat, tapi sudah merupakan tindak pidana atau penyelewengan jabatan dan kekuasaan. Jangan kira hanya anggota DPR yang melakukan itu. Di lembaga-lembaga lain pun konon sudah membudaya dan lumrah. Budaya kongkalikong, yang berujung pada korupsi, sudah jadi perilaku sehari-hari. Hanya saja, tidak pernah diungkapkan ke publik. Kalau kini terkesan DPR menjadi lembaga paling rakus minta upeti, tentu tak lepas dari keberanian Pak Dahlan mengungkapkannya. Bahkan jumlahnya konon lebih dari dua nama (yang telah diserahkan ke BK DPR), tapi bisa 8, 10, atau belasan oknum yang terbukti minta upeti. Rencananya Rabu (7/11) dia akan menyerahkan beberapa nama lainnya ke BK DPR.

Untuk itu Dahlan tentu tidak omdo; dia pegang bukti-bukti. Kalau kemarin dia tidak mau menyebut langsung nama-nama penerima upeti, ya karena merasa tidak enak saja. Bukan karena takut atau tidak berani. Kurang etis, begitulah kira-kira.

Demi keterbukaan dan pengawasan, memang baik dan silakan saja BK DPR mengumumkan nama-nama peminta upeti tersebut. Beberapa koran bahkan sudah menyebut nama mereka di judul berita. Setidaknya itu bisa dijadikan shock therapy guna mencegah perilaku korupsi, khususnya di kalangan anggota dewan. Sekarang yang terpenting adalah: bagaimana para pejabat  -- dari tingkat terendah hingga tertinggi, termasuk presiden -- dapat mengurusi dan membenahi lembaga yang dipimpinnya. Bersihkanlah masing-masing lembaga sendiri dari (kemungkinan) korupsi. Kalau semua lembaga negara sudah bersih, maka Indonesia bakal bebas dari korupsi.

Jangan mengurusi lembaga orang lain sebelum lembaga sendiri bersih dari korupsi. Jangan pula menuding lembaga lain korup padahal lembaga sendirilah yang korup.
Jangan membersihkan rumah tangga orang lain. Kecuali Anda babu atau pesuruh di rumah itu...

Jakarta, 6 November 2012
ZHM