Jumat, 28 Desember 2012

Ketika Dunia Akting ''Overacting''

Membuat yang rumit menjadi sederhana itulah kreativitas
--Charles Mingus, musisi jazz (1922-1979)
-----------------------------------------------------------------------------------

''Camera....roll action......
        Cut!   Cut!   Cut!..........
                 Ayo diulang lagi...''

ANDA pasti paham, begitulah teriakan sutradara film saat mengambil atau merekam adegan. Ia yang memerintahkan artisnya mulai berakting, ia pula yang tiba-tiba menyetopnya dan lalu mengulangnya. Sutradara menjadi pengarah sekaligus berkuasa penuh bagi adegan-adegan yang akan direkamnya. Untuk pengambilan gambar yang bagus dan serealitas mungkin, kadang harus memilih lokasi yang sesungguhnya. Bukan settingan atau rekayasa. Misalnya: dalam rumah sakit, kampus, kantor perusahaan, kuburan, hutan belantara, bahkan tempat yang sulit pun harus ditempuh, agar menghasilkan gambar yang benar-benar nyata.

Tapi, sebuah syuting sinetron di RS Harapan Kita, Jakarta, membawa petaka. Seorang pasien penyakit kanker bernama Ayu Tria Desiani meninggal dunia gara-gara di dekat ruang ICCU tempatnya dirawat dipakai syuting sinetron Love in Paris. Musibah ini terjadi Kamis (27/12/2012) sekitar pukul 02.30 WIB. Pihak rumah sakit kemudian dipanggil pihak berwenang (Depkes). Bahkan, pasca insiden ini,  bakal ada larangan rumah-rumah sakit serta puskesmas harus steril alias tidak boleh dipakai syuting (berita lengkap, baca koran Nonstop edisi 28 Desember 2012).

Sangat disayangkan peristiwa sedih itu terjadi. Alih-alih menjaga dan mengobati orang sakit, malah membuatnya meregang nyawa. Pihak rumah sakit, produser, sutradara dan kru pembuat sinetron tersebut harus bertanggung jawab terhadap kematian korban. Walau mungkin tidak disengaja, tapi ini sebuah keteledoran yang fatal. Proses syuting tersebut setidaknya ikut memicu kematian Ayu. Akting yang overacting! begitulah kita menyebutnya.

Proses syuting sebuah film atau sinetron memang tidak sederhana. Kadang menggunakan banyak peralatan. Dari kamera, lighting, mick, speaker, diesel, dan kabel-kabel. Semua ini seringkali harus masuk ke dalam ruangan yang sempit. Belum lagi para artis dan kru yang terlibat dalam syuting itu, bisa membuat ruangan terasa sumpek. Waktu yang dipakai pun tak cukup dua-tiga jam, bisa sehari-semalam. Bayangkan jika ini dilakukan di ruang ICCU/Isolasi rumah sakit yang seharusnya hening demi ketenangan pasien. Mungkin sekali Ayu sangat terganggu oleh kegiatan syuting itu, sehingga sampai meninggal dunia.

Sebagai bandingan, kantor Graha Pena Jakarta (di kawasan Kebayoran Lama Jakarta Selatan) juga pernah beberapa kali dipakai untuk syuting sinetron. Di kantor ini ada ratusan wartawan bekerja menggarap beberapa koran dan majalah. Memang, di situ dilakukan pengambilan gambar adegan para jurnalis sedang membuat berita. Tapi ketika syuting dilakukan, para jurnalis itu juga merasa terganggu. Saya ingat betul betapa kami menjadi kurang konsentrasi karena kru pembuat sinetron lalu-lalang di depan meja kerja. Begitu pula cahaya lampu dan sorot kamera mengganggu ketenangan. 

Yang paling terasa mengganggu adalah ketika sang artis salah berakting. Oleh sutradaranya disuruh mengulang lagi, lagi, dan lagi. Atau, ada juga artis sinetronnya yang berulah: berteriak, tertawa-tawa, dan melebih-lebihkan aktingnya. Pokoknya, overacting banget. Tidak semua wartawan senang bila kantornya dipakai syuting sinetron atau film. Lebih banyak yang merasa terganggu karena mereka butuh konsentrasi penuh terutama menjelang deadline. Apalagi di rumah sakit tempat orang-orang sakit sedang dirawat, maka syuting sinetron atau film tentu amat mengganggu.

Tidak jarang kegaduhan juga terjadi manakala syuting sinetron tersebut ditonton masyarakat. Kadang banyak orang -- terutama ibu-ibu dan remaja -- berdatangan karena ingin bertemu atau melihat artis idolanya berakting. Mereka berteriak meng-elu-elu-kan sang idola. Merasa tersanjung, sang artis seringkali juga tampil overacting alias berlebihan. Dalam keadaan seperti itulah syuting film kadang seperti suasana pasar. Ramai, gaduh, dan semrawut.

Jadi harus bagaimana?

Banyak yang menyarankan sebaiknya lokasi syuting -- terutama rumah sakit, kuburan, dan tempat-tempat yang tidak mengganggu privasi orang serta tidak merusak sarana publik -- dibuat settingan alias rekayasa saja. Seolah-olah lokasi sesungguhnya, padahal cuma buatan belaka. Memang beberapa sineas Indonesia sudah melakukan itu, tetapi kebanyakan cenderung mengambil cara gampangan saja yakni memakai lokasi sungguhan. Untuk lokasi yang tak berisiko mungkin tidak apa-apa, tapi rumah-rumah sakit, puskesmas, dan kuburan, sebaiknya jangan. Tanah dan nisan kuburan, misalnya, banyak yang rusak terinjak-injak karena dipakai syuting sinetron. 

Para pekerja dan pembuat sinetron atau film Indonesia memang harus belajar banyak dari Hollywood (industri film Amerika) dan Bollywood (industri film India). Mereka bisa menciptakan lokasi-lokasi imitasi yang sangat mirip dengan lokasi sungguhan. Satu contoh film Titanic. Adegan laut, gunung es dan tenggelamnya kapal pesiar tersebut tidak dilakukan di tengah lautan, tapi laut bikinan dalam studio. Ternyata hasilnya luar biasa; seakan terjadi di lokasi sungguhan seperti ratusan tahun silam. Tentu saja untuk bisa membuat film seperti itu dibutuhkan keseriusan/profesionalitas, pengetahuan, kecerdasan, dan kreativitas.  

Bukan sekadar bikin. Bukan asal acting. Bukan pula overacting....

Pos Pengumben, 29 Desember 2012
ZHM

Rabu, 26 Desember 2012

Anak-Cucu ''Orang Gedean''

Anakmu bukanlah milikmu / mereka adalah 
putra putri sang Hidup / yang rindu akan dirinya sendiri
--Kahlil Gibran, penyair Libanon


Telah lahir seorang bayi
Jenis kelamin: Laki-laki
Berat: 3,35 kilogram.
Panjang: 50 centimeter.
Tempat/tanggal lahir: RS Pondok Indah, 24 Desember 2012
Namanya: Airlangga Satriadhi Yudhoyono

SEJAK kemarin hingga hari ini bayi tersebut sudah masuk tayangan televisi dan fotonya juga dimuat di koran-koran. Dalam posisi digendong oleh sang nenek, didampingi ibu dan ayahnya, bayi berambut hitam tebal itu diboyong ke sebuah rumah di Kompleks Perumahan Puri Cikeas, Bogor. Sang bayi telah jadi pusat perhatian dan pemberitaan di republik ini. Tak kalah menariknya dibanding berita banjir dan kasus korupsi yang mengisi banyak media hari-hari menjelang tutup tahun 2012 ini.

Itulah bayi milik pasangan Eddy Baskoro Yudhoyono (Ibas) dan Alya Radjasa. Bagi Presiden SBY, sang bayi merupakan cucu kedua. Sedangkan bagi Hatta Radjasa (Menko Perekonomian) bayi tersebut merupakan cucu pertama. Alhasil, Airlangga otomatis menjadi ''bayi politik'' dari hubungan besan kedua pejabat tinggi negara itu. 

Jangan heran kalau kelahiran Airlangga menjadi bahan dan pusat pemberitaan. The name make news, begitu salah satu rumus dalam jurnalisme. Orang-orang terkenal selalu menjadi berita sekaligus menciptakan berita (news). Seperti juga anak-anak artis, Airlangga pun terlahir dari orang terkenal: ayahnya putra seorang presiden,  sedang berkuasa pula, dan ibunya pun putri seorang menteri - masih menjabat pula. Maka layak dan pantaslah bila wajah Airlangga mejeng di hampir semua media di Indonesia. 

Bahkan tak berhenti di situ. Berita tentang Airlangga kemungkinan besar akan berlanjut. Nanti tatkala rambutnya dicukur, juga akan jadi berita. Kemudian saat misalnya dibawa ke rumah kakek dan neneknya yang satu lagi (rumah Hatta Radjasa), pun bakal jadi berita. Apalagi kalau Airlangga sudah mencapai usia setahun dan berulang tahun, pastilah wajahnya akan disorot kamera televisi serta fotonya mejeng di koran-koran. Seperti juga sebelumnya, cucu Presiden SBY yang berasal dari pasangan Annisa Pohan-Agus Yudhoyono.

Itu sudah lumrah. Anak-anak dan cucu-cucu ''orang gedean'' seperti presiden senantiasa menjadi berita. Bukan cuma terjadi pada Presiden SBY. Hal yang sama juga berlaku dulu bagi anak dan cucu Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, Presiden BJ Habibie, Presiden Gus Dur, dan Presiden Megawati. Anak, cucu, dan cicitnya sering diberitakan media. Malah kadang tidak kalah hebohnya dibanding berita mereka. Dan, ini merupakan kelaziman bagi kaum jetset di mancanegara. Hal sepele yang terkait kehidupan mereka pun sering jadi berita. 

Publik tentu tertarik dengan sajian informasi macam itu. Tetapi harus diingat pula jangan melampaui batas kewajaran. Orang akan sinis bila berita anak dan cucu ''orang gedean'' itu disajikan over expose alias terlalu berlebihan. Lebay, kata anak-anak muda zaman sekarang. Misalnya terus-menerus ditayangkan di televisi; pagi, siang, malam, bahkan hingga pagi lagi. Seolah tidak ada berita penting lainnya. Padahal publik memerlukan informasi lainnya yang terkait dengan kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Apalagi jika dalam pemberitaan anak-cucu ''orang gedean'' itu dipamerkan pula harta benda serta gaya hidup glamour keluarga mereka, itu bisa menimbulkan kecemburuan sosial. Keluarga presiden bisa dicap kurang memiliki sense of crisis. Kemarin saja saat Presiden SBY dan keluarga menjemput Airlangga di RS Pondok Indah, muncul suara-suara nyinyir. ''Bukannya mengunjungi korban-korban banjir yang meninggal, SBY malah menengok cucu barunya. Dahulukan kepentingan rakyat dong Pak daripada kepentingan pribadi dan keluarga,'' begitu komentar masyarakat lewat media jejaring sosial twitter.

Pos Pengumben, 27 Desember 2012
ZHM

Minggu, 23 Desember 2012

Selamat Tinggal Bom Natal

Kita punya cukup banyak agama untuk membuat kita saling benci,
tapi tak cukup banyak agama yang membuat kita saling mencintai
--Mr Jonatan Saturo, motivator

MENGAPA perayaan Hari Natal selalu dalam suasana tegang? Kenapa gereja-gereja dijaga ketat ratusan bahkan ribuan polisi dan tentara bersenjata? Bukankah umat Kristiani hanya melakukan ibadah Misa, mengapa seolah jadi seperti mau perang? 

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu mungkin muncul di benak sebagian orang.

Tahukah Anda? Pengamanan gereja yang ekstra ketat itu tentu dilatarbelakangi pada peristiwa yang terjadi 12 tahun lalu. Tepatnya 24 Desember 2000, serangkaian bom meledak di banyak tempat/gereja di Indonesia. Sedikitnya sembilan kota dilanda aksi pengeboman di Malam Natal. Yakni: Jakarta, Batam, Pekanbaru, Sukabumi, Pangandaran, Bandung, Kudus, Mojokerto dan Mataram. Akibat aksi pengeboman itu, puluhan gereja rusak,  beberapa orang tewas dan puluhan luka-luka. 

Aksi pengeboman di malam Natal itu merupakan yang pertama dalam sejarah Indonesia. Terbilang besar karena berlangsung serentak. Antara ledakan bom di suatu gereja dengan gereja lainnya hanya berselisih waktu beberapa menit saja. Sungguh di luar dugaan insiden ini bisa terjadi. Petugas keamanan yang relatif minim di seputar gereja dibuat tak berdaya. Pemerintah merasa kecolongan karena tak mampu melindungi warga negara yang tengah menjalankan ibadahnya. Semua kalangan mengutuk aksi pengeboman yang kemudian dikenal sebagai Bom Natal itu. 

Aksi Bom Natal merupakan ujian berat bagi toleransi antarumat beragama di negeri ini. Toleransi yang mulai membaik pasca reformasi 1998, tiba-tiba terusik dan cemar oleh ledakan bom. Menyedihkan, karena yang disasar dan jadi korban adalah umat Nasrani yang sedang beribadah di malam Natal. Apalagi kemudian yang diduga melakukannya adalah kelompok teroris Jamaah Islamiyah. Seakan antara umat Islam dan Kristen bermusuhan dan ''berperang.''  Padahal itu cuma ulah segelintir orang saja, yang tak suka negeri ini damai.

Syukurlah, Bom Natal itu hanya terjadi sekali saja. Insiden tahun 2.000 itu tak terulang. Tentu karena Tim Densus 88 sudah menembak mati gembong-gembong teroris yang menjadi otak intelektual serangkaian aksi pengemboman di tanah air. Sang gembong, siapa lagi kalau bukan Dr Azahari dan Nurdin M Top. Kedua orang inilah yang mengarsiteki aksi-aksi pengeboman di Indonesia sejak tahun 1980-an. Jaringan mereka memang luas dan kuat. Juga terhubung dengan jaringan teroris mancanegara salah satunya Libya.

Meski begitu, pemerintah tidak mau kecolongan lagi. Pihak gereja juga selalu waspada dan mencegah kemungkinan terjadinya hal-hal yang tak diinginkan, terutama pengeboman. Karena itu setiap menjelang Natal, aparat keamanan dikerahkan untuk berjaga-jaga di seputar gereja. Mereka menutup rapat-rapat agar tak ada celah bagi orang-orang jahat (baca: teroris) yang hendak melakukan pengeboman. Jadi, jangan heran jika suasana gereja menjelang Natal seperti sekarang dijaga petugas superketat.

Yang juga membanggakan, kaum muslim pun sekarang ini ikut serta mengamankan umat Nasrani yang sedang merayakan Natal. Itu ditunjukkan oleh Banser NU dan aktivis GP Ansor yang dengan sukarela ikut menjaga keamanan gereja di sejumlah tempat. Ini bentuk toleransi yang bagus antarpemeluk agama, juga menghapus stigma negatif bahwa Islam-Kristen bermusuhan. 

MUI (Majelis Ulama Indonesia) boleh saja mengeluarkan fatwa bahwa umat Islam haram mengucapkan Natal. Fatwa ini barangkali bersifat internal. Sebab faktanya dan realitanya, umat Islam dan Kristen bisa hidup saling berdampingan. Mereka saling tolong-menolong dalam banyak hal termasuk menjaga keamanan perayaan Natal. Tentu dengan tetap menghormati keyakinan agama masing-masing dan tidak mencampuradukkan ibadah masing-masing. 

Jika semua umat beragama bersatu, Indonesia menjadi damai. Semua berharap tak ada lagi aksi pengemboman di malam Natal. Selamat tinggal Bom Natal !

Pos Pengumben, 24 Desember 2012
ZHM

Jumat, 21 Desember 2012

Antara Garut, Cikeas, Ciganjur...

Guru   :  Apa yang terkenal dari Garut?
Murid  :  Dodolnya
Guru   :  Itu dulu. Kalau sekarang?
Murid  :  Bupatinya...
Guru   :  ?1?!

YA, sejarah Kabupaten Garut memang tengah ''berubah.'' Selama ini kita hanya mengenal lewat kulinernya. Salah satu yang paling khas adalah dodolnya. Siapa yang ke daerah Jawa Barat khususnya Garut, pulangnya pasti membawa oleh-oleh berupa dodol. Ukurannya kecil dan dikemas sebesar permen. Isinya sekeping dodol rasa manis yang dibungkus kertas. Orang lebih sering menyebutnya Dodol Garut. Bahkan dodol ini sudah lama dipasarkan ke mana-mana, sehingga memasyarakat dan mudah didapat.

Jika hampir sebulan ini Garut menjadi trending topic dan masuk berita nasional paling heboh, tentu saja karena skandal nikah sirri kilat Bupatinya: Aceng Fikri. Masyarakat seolah lupa pada dodol Garut yang khas dan populer itu. Yang mereka ingat hanyalah Aceng, Aceng, dan Aceng. Apalagi skandal ini berakhir pada pemecatan sang bupati, sebagaimana hasil Rapat Paripurna DPRD Garut. Jumat (22/12/2012). Enam dari delapan fraksi mengusulkan Aceng dilengserkan, karena terbukti melanggar aturan dan etika jabatan.

Hingga tulisan ini ditayangkan, nasib Aceng memang belum seratus persen final. Ia belum resmi dipecat. Atasannya, Gubernur Jabar, malah melempar kasus ini ke Mahkamah Agung. Aceng yang masa jabatannya akan berakhir tahun depan (2013) itu sudah pasrah. Besar kemungkinan ia bakal segera lengser.

Sekiranya tak ada kasus Aceng, mungkin Garut tidak setenar sekarang. Beritanya pun berskala lokal. Publik -- khususnya di Jawa Barat -- barangkali lebih fokus bicara seputar calon-calon Cagub/Cawagub yang kebetulan sudah resmi mendaftar di Pilkada Jabar. Bahkan mereka sudah mengantongi nomor urut sebagai kontestan resmi yang akan bertarung pada puncaknya Februari 2013. Artinya, kasus Aceng telah membuat Garut jadi lebih terkenal. Jika disikapi secara positif, maka ini bisa jadi aset penting misalnya untuk pengembangan pariwisata Garut. Atau, kelak menaikkan status Garut dari kabupaten menjadi kota di Jawa Barat.

Selain Garut, ada sejumlah tempat di Indonesia yang semula asing, tiba-tiba mendadak jadi terkenal. Cikeas misalnya. Ini hanyalah sebuah desa di Kecamatan Sukaraja, Bogor, Jawa Barat. Tapi Cikeas kini sudah amat kesohor dan menjadi semacam ikon politik Indonesia. Kenapa? Tentu saja karena di daerah ini keluarga besar Presiden SBY tinggal. Di kompleks perumahan Puri Cikeas, di situlah kediaman orang nomor satu Indonesia itu. SBY dan keluarga tidak mau tinggal di Istana Negara.

Di Cikeas pula sering dilakukan rekrutmen anggota kabinet serta pertemuan pimpinan dan kader Partai Demokrat. Masyarakat luas bisa mengetahui dan mengenal Cikeas lantaran kerap masuk tayangan televisi dan diberitakan di koran-koran. Karena jadi pusat pemberitaan, maka Cikeas ngetop layaknya kawasan Cendana (Jakarta Pusat) -- tempat kediaman keluarga Presiden Soeharto dulu.

Demikian juga Ciganjur. Ini hanyalah sebuah pemukiman penduduk atau kampung di Jakarta Selatan. Tapi hampir semua orang Indonesia mungkin mengenal Ciganjur. Ya, karena di sini keluarga Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tinggal. Gus Dur juga tidak mau tinggal di Istana Negara. Sepeninggal beliau, istri dan anak-anaknya pun hingga kini masih menetap di rumah di kawasan Ciganjur itu. Rumah Gus Dur juga pernah menjadi tempat pertemuan para tokoh reformasi di tahuan 1998, yang melahirkan ''Deklarasi Ciganjur.'' Itu pula yang membuat Ciganjur masuk kosakata politik Indonesia.

Sebuah tempat, yang paling asing dan terisolir sekalipun, bisa menjadi amat terkenal jika tiba-tiba ada peristiwa besar atau penting yang menandainya. Atau ada orang terkenal yang bermukim di daerah itu. Contoh lain. Nama Rengasdengklok mungkin tidak akan pernah terkenal dan masuk dalam cerita sejarah Indonesia kalau saja tidak ada aksi ''penculikan'' terhadap Bung Karno dan Bung Hatta, hingga berujung pada tercetusnya Proklamasi RI pada 17 Agustus 1945. Padahal Rengasdengklok hanyalah wilayah kecamatan di Karawang, Jawa Barat, namun jadi ngetop dan tak terpisahkan dari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Peristiwa dan tokoh memang punya andil besar bagi pengenalan serta popularitas suatu tempat. Sebagaimana pula nama pantai Anyer menjadi sangat dikenal oleh orang-orang Malaysia, karena penyanyi Sheilla Madjid melantunkan lagu ''Antara Anyer dan Jakarta'': antara Anyer dan Jakarta kita jatuh cinta....

Pos Pengumben, 22 Desember 2012
ZHM

Kamis, 20 Desember 2012

Orang Baik Korban Politik

Apabila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya,
maka tunggu saat kehancurannya
-- Hadits Nabi, Riwayat Imam Bukhori


DALAM politik, begitu dekat jarak istana dengan penjara. Tahun lalu masih berkuasa, boleh jadi tahun ini sudah masuk bui. Kemarin masih asyik duduk di empuknya kursi jabatan tinggi, bisa jadi hari ini sudah meringkuk di balik terali besi. Kisah tragis yang dialami M Nazaruddin, Angelina Sondakh, atau Hartati Murdaya, misalnya, adalah contoh sederhana dan paling nyata di depan kita.

Mereka -- ketiganya adalah kader Partai Demokrat -- sempat berada di lingkungan dan lingkaran istana, menjadi anggota partai penguasa, dan menikmati kekuasaannya. Tapi semua yang ada di genggaman itu lenyap dalam sekejap. Harta, pengaruh, dan harga diri, kini nyaris tiada lagi. Politik telah melambungkan taraf kehidupan mereka tetapi juga menjatuhkannya ke jurang terendah. Zero to Hero to Zero, begitulah kira-kira grafik kehidupan para politisi yang terjerat kasus korupsi.

Banyak orang mungkin heran: mengapa mereka sampai bernasib demikian? Ya, begitulah politik. Bagi mereka yang tidak pandai dan lihai memainkannya, begitu mudah tergelincir. Mereka hanya akan jadi bulan-bulanan dan akhirnya menjadi korban permainan kekuasaan. Thomas Jefferson, Presiden ketiga Amerika Serikat (1743-1826) pernah mengingatkan, ''Politik adalah suatu siksaan, yang saya sarankan semua orang tidak bergaul dengannya.'' Kurang lebih sama dengan yang dikatakan sastrawan Inggris, George Orwell, bahwa: semua persoalan adalah persoalan politik, dan politik itu merupakan kumpulan dusta, penyingkiran, kebodohan, kebencian dan skyzofrenia.

Penyanyi Iwan Fals juga dalam lirik sebuah lagunya mempertanyakan: apakah selamanya politik itu kejam?/Apakah selamanya dia datang tuk menghantam? Politik terasa kejam bagi mereka yang bukan hanya tidak lihai memainkannya, tapi juga memang tidak tepat berada di dalamnya. Bukan maqom-nya, bukan dunianya, bukan bidangnya, bukan basic-nya, bukan profesinya. Mereka pasti akan menderita. Masih untung kalau tersingkir dengan cara baik-baik, tapi amat celaka jika dengan cara yang keji terutama akibat terlibat kasus korupsi. 

Itulah sebabnya, tokoh pers dan konglomerat media Dahlan Iskan (kini Menteri BUMN) seringkali mengingatkan kaum profesional muda agar tidak mudah tergoda politik alias terjun ke politik praktis. ''Jauhi politik, jauhi politik, lebih baik kerja, kerja dan kerja. Hanya itu kalau bangsa ini mau maju,'' katanya. Kecuali bagi mereka yang sedari dini memilih karier sebagai politisi, terjun ke politik merupakan keharusan. Tetapi bagi orang-orang yang tidak memiliki basic atau tak bernasib baik dalam  politik, sangat mudah mengalami kegalauan dan kerapkali berakhir sia-sia.

Contoh kasus. Amien Rais misalnya, dulu dikenal sebagai akademisi UGM atau pakar ilmu politik yang cerdas dan kritis. Kemudian dia terjun ke politik praktis lewat Partai Amanat Nasional (PAN). Sempat terpilih sebagai Ketua MPR. Bahkan dia juga ikut nyapres di Pilpres 2009 namun kalah. Pemikiran dan pandangan-pandangan Amien kini menjadi bias (karena dinilai selalu punya tendensi politis), bahkan nyaris kehilangan otoritas alias tidak lagi dipercaya atau malah 'tak lagi didengarkan.'

Demikian juga Gus Dur. Di masa orde baru, Gus Dur dikenal sebagai tokoh demokrasi yang vokal dan kritis terhadap rezim Soeharto. Pandangan-pandangannya meski agak nyeleneh tapi didengar oleh publik. Namun tatkala jadi Presiden, dia seperti kehilangan basic dan perannya. Banyak kalangan menilai, peran Gus Dur jauh lebih baik dan bermanfaat di luar kekuasaan ketimbang harus jadi penguasa.  Lebih tepat dan lebih baik beliau jadi pemikir demokrasi alias Bapak Bangsa.

Hal yang sama sebetulnya juga 'menimpa' BJ Habibie. Sejatinya dia seorang ilmuwan yang punya kepandaian membuat pesawat terbang. Bukan politisi ulung yang pandai memainkan intrik-intrik politik. Dia sempat menjadi Menristek di zaman orde baru dan memproduksi pesawat lewat PT Nurtanio (kemudian berganti nama PT Dirgantara Indonesia). Lantaran situasi politik, memaksa Habibie jadi Wapres dan akhirnya menjadi Presiden, menggantikan Soeharto.

Tapi, dengan statusnya sebagai Presiden mengakibatkan ilmunya terbengkalai. Banyak kalangan menilai, peran dan kontribusi Habibie lebih penting sebagai ilmuwan yang ahli pesawat terbang ketimbang duduk di kursi istana. Kalau saja Habibie konsisten bertekun mengembangkan ilmunya, mungkin bangsa kita sekarang sudah menciptakan banyak jenis pesawat terbang.

Begitulah politik. Tepat bagi para pemain politik, tapi belum tentu cocok bagi orang baik-baik. Mereka bisa kehilangan basic-nya - kehilangan peran dan kontribusinya.

Pos Pengumben, 21 Desember 2012
ZHM

Selasa, 18 Desember 2012

Film "Habibie & Ainun" Minus Politik

Tak ada cinta yang harus disembunyikan. Jika kamu harus melakukan
itu hanya untuk bahagia, cintamu tak pantas dipertahankan
--Anonim

BETAPA indahnya republik ini jika para mantan presiden masih bisa mengabdi dan berbagi. Tak ada angkara murka, tak ada balas dendam, walau mereka pernah dilengserkan. Setidaknya begitulah yang diperlihatkan oleh seorang Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie. Mantan presiden kita yang satu ini tetap bergiat diri kendati sudah berada di luar istana. Rakyat pun masih hormat padanya serta mengapresiasi kiprahnya.

Habibie masih berada di tengah-tengah kita. Bahkan baru saja filmnya dirilis dan kini sedang tayang di bioskop-bioskop Indonesia. Habibie main film? Tidak. Film berjudul Habibie & Ainun adalah film biografi tentang kisah cinta Habibie dan istri tercintanya, Hasri Ainun, yang telah tiada. Sebuah persembahan istimewa dari sutradara Hanung Bramantyo bagi sang mantan presiden itu. Lebih istimewa lagi, saat penayangan perdananya, dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wapres Boediono, dan sejumlah menteri. Tentu saja Habibie hadir, selain mantan Wapres Try Soetrisno.

Film Habibie & Ainun dibuat berdasarkan buku berjudul sama yang diterbitkan pada 2010, yang kurang lebih berisi perjalanan cinta pertama dan terakhir Presiden ketiga RI dan almarhumah istrinya. Kisah cinta pasangan itu berawal dari pertemuan kembali teman masa SMA, Rudy Habibie (BJ Habibie) dengan Hasri Ainun di kediaman ayah Ainun di Bandung pada 1962, sepulangnya Habibie menyelesaikan pendidikannya di Jerman.

Selang tiga bulan kemudian, tepatnya pada 12 Mei 1962, pasangan itu menikah dan babak baru kehidupan Ainun di perantauan sebagai istri seorang calon doktor muda di Jerman dimulai. Sebagaimana bukunya, film itu menuturkan perjuangan pasangan muda itu mewujudkan mimpinya di Jerman, hingga kembali ke Indonesia. Mereka lalu menjelma menjadi pasangan nomor satu di negeri ini, hingga kemudian maut memisahkan mereka, saat Ibu Ainun Habibie harus menyerah pada penyakit kanker.

Untuk memerankan sosok Habibie, Hanung menunjuk aktor Reza Rahardian, sementara penyanyi Bunga Citra Lestari didapuk sebagai Hasri Ainun. Selain Reza dan BCL, sejumlah bintang film papan atas Indonesia juga turut ambil bagian dalam film yang mulai menghiasi bioskop Indonesia pada 20 Desember 2012 ini, antara lain Lukman Sardi dan Agus Kuncoro. 

Habibie patut bersyukur. Sebab, tak ada mantan presiden Indonesia yang kisah cintanya difilmkan. Beberapa film perjuangan sebelumnya juga menyinggung tentang Soekarno dan Soeharto, tetapi tidak secara spesifik berkisah perihal asmara kedua bekas orang nomor satu di Indonesia itu. Baru Habibie-lah yang riwayat cinta kasihnya diangkat ke layar lebar dan menjadi konsumsi publik atau menjadi tontonan rakyat Indonesia.

Harus diakui, Habibie-Ainun merupakan pasangan pejabat tinggi Indonesia paling mesra dan harmonis. Kesetiaan sang istri begitu kuat, baik dalam rumah tangga maupun ketika mendampingi Habibie sebagai kepala negara. Ibu Ainun adalah ibu negara yang anggun dan santun.  Keharmonisan dan kemesraan mereka bisa menjadi teladan bagi para pejabat publik, juga keluarga muda masa kini. Karena itu tak salah sutradara Hanung memfilmkannya. Banyak pelajaran hidup yang bisa dipetik dari jejak langkah Pak Habibie dan almarhumah Ibu Ainun.

Film Habibie dan Ainun tampaknya akan mudah diterima dan diapresiasi publik. Sebab film ini tak punya pretensi politik. Kendati Habibie mantan presiden dan pernah amat dekat dengan Soeharto, tapi dia orang tak berpartai. Ia orang netral. Bahkan sosoknya lebih dikenal sebagai ilmuwan dengan spesialisasi ahli bikin pesawat terbang. Habibie jarang sekali bicara politik. Dia justru bersemangat kalau diskusi tentang ekonomi dan ilmu pengetahuan. Begitulah karakternya yang tampak hingga sekarang. 

Kalau kisah cinta BJ Habibie difilmkan, apakah hal yang sama juga harus dilakukan untuk kisah cinta Bung Karno, Soeharto, Gus Dur, Megawati dan SBY? Tentu saja tidak harus begitu. Sebab tidak semua tokoh bisa menjadi contoh atau memberi inspirasi bagi orang lain....

Pos Pengumben, 19 Desember 2012
ZHM

Senin, 17 Desember 2012

Hukum Rimba Menimpa Si Lembah

Mencuri setangkai bunga kita anggap kejam,
Merampok ladang kita anggap terhormat
--Kahlil Gibran, penyair Libanon (1883-1931)

RASA keadilan masyarakat kembali terusik. Dari Magelang tersiar kabar: dua orang warga Tegalrejo -- Muhammad Misbachul Munir dan Budi Hermawan -- diadili gara-gara dituduh mencuri dua batang bambu. Mereka pun ditahan di Rutan Magelang sejak 5 November 2012. Padahal, mereka memangkas bambu tersebut justru mencegah agar tidak menimpa rumah. ''Saya kasihan sama Munir dan keluarganya. Karena membahayakan nyawa jika ambruk, bambu itu saya potong. Sekalian juga sebatang bambu yang melengkung dan menghalangi jalan di depan rumahnya,'' tutur Budi di ruang tahanan Pengadilan Negeri Mugkid, Magelang, Jawa Tengah. 

Kasus yang menimpa kedua warga Tegalrejo itu mengingatkan kita pada beberapa kasus serupa sebelumnya. Anda tentu belum lupa? AAL, seorang siswa SMK di kota Palu, diadili gara-gara dituduh mencuri sandal jepit butut milik polisi. Ia ditahan dan dalam persidangan ia diancam hukuman lima tahun. Peristiwa yang sempat mengundang aksi masyarakat mengumpulkan ribuan sandal jepit ini ini terjadi pada  Desember 2011.

Kemudian, seorang nenek berumur 55 tahun juga diadili gara-gara dituduh mencuri tiga buah kakao (buah bahan coklat) di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antam, Banyumas, Jawa Tengah. Nenek Minah tertunduk lemas di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Purwokerto dalam persidangan tanpa pembela yang digelar bulan November 2009. Si Nenek berterus terang bahwa ia mengambil kakao tersebut dengan maksud untuk dijadikan bibit.

Hal yang sama juga menimpa pasangan suami istri di Bojonegoro, Jawa Timur. Pasutri bernama Supriyono dan Sulastri itu mendekam tiga bulan di tahanan gara-gara mengambil setandan pisang di kebun orang. Oleh Pengadilan Negeri Bojonegoro, kedua terdakwa yang kehidupannya amat miskin itu diancam hukuman pidana penjara tujuh tahun. Perkara ini terjadi pada Oktober 2009. 

Itulah sederet kisah, betapa orang-orang kecil di negeri ini sangat tidak berdaya di hadapan hukum. Perkara mereka begitu cepat diproses bahkan seringkali tanpa pembelaan. Mereka meratap atau menjerit pun, hampir tak ada pejabat hukum yang mau peduli atau setidaknya memberikan keringanan hukuman dengan menimbang rasa keadilan publik. 

Ketika masyarakat melakukan aksi peduli terhadap nasib mereka, misalnya yang pernah dilakukan dengan menggelar ''aksi sejuta sandal jepit'', barulah aparat penegak hukum meringankan hukuman bagi para korban. Kalau tak ada pembelaan dari publik, mungkin orang-orang kecil itu tetap menjadi sasaran empuk aparat hukum. Mereka diinjak-injak dan tak berdaya.

Sementara, orang-orang besar yang nyata-nyata melanggar hukum malah penanganan perkaranya kerap ditunda-tunda. Seringkali terjadi tawar-menawar; hukum diperjual belikan, siapa yang berani bayar besar berpeluang besar dibebaskan. Atau minimal hukumannya diperingan. Ini banyak terjadi dalam kasus-kasus politik, khususnya kasus korupsi. Tak sedikit kasus korupsi yang terbengkalai atau tak sesegera mungkin diproses dan diadili. Tapi kasus Nenek Minah Cs malah secepat kilat masuk meja hijau. 

Maka jangan heran jika muncul perumpamaan bahwa hukum di Indonesia seperti pisau: tajam ke bawah tapi tumpul keatas. Kejam bagi rakyat kecil tapi tidak bagi pejabat. Sadis bagi orang-orang miskin tapi nyaman bagi orang-orang berduit. Celaka bagi orang-orang kere tetapi aman bagi orang-orang kaya.

Di mata hukum semua orang sama ternyata cuma teori belaka. Itu cuma teks-teks bisu dalam buku pelajaran sekolah atau diktat-diktat mata kuliah hukum di kampus-kampus. Nyatanya, hukum tidak ditegakkan sebagaimana mestinya. Hukum hanya jadi alat permainan pejabat dan konglomerat. Keadilan hanya milik mereka yang berkuasa dan berkantong tebal.

Kalau rakyat kecil dipenjara hanya gara-gara mencuri setandan pisang tetapi pejabat atau menteri yang menggarong uang negara miliaran rupiah dibebaskan, itu ''hukum rimba'' namanya. Seperti di hutan belantara, binatang buas berkuasa atas binatang yang lemah. Dan, rakyat selalu dalam posisi sebagai hewan yang lemah, tak berdaya dalam praktik hukum rimba!

Pos Pengumben, 18 Desember 2012
ZHM 

Minggu, 16 Desember 2012

"Nasionalisme" Guns N' Roses

RIGHT OR WRONG IS MY COUNTRY; If Right, 
To Be Kept Wright; and If Wrong, To Be Set Right
--Carl Schurz, Reformis Amerika (1872--)


SAYA bukan penggemar fanatik Guns N' Roses (GNR). Tapi, merasa salut dan bangga mendengar kabar band rock asal Amerika itu memainkan melodi lagu Indonesia Raya saat manggung di Ancol, Minggu (16/12) kemarin. Konon para penonton pun terkaget-kaget. Mereka tak menyangka, di tengah pertunjukan itu salah seorang personel GNR tiba-tiba memetik gitar. Terdengarlah nada-nada lagu kebangsaan kita. Spontan para penonton serentak menyanyikan lagu itu. Suasana pun jadi haru....

Itu peristiwa langka, malah hampir tak ada grup musik luar yang pernah konser di sini menyanyikan lagu kebangsaan kita. Bahkan grup-grup musik dalam negeri pun jarang sekali melakukan hal serupa, kecuali saat pentas di peringatan HUT kemerdekaan RI. Setidaknya, GNR telah mencatatkan sejarah baru dalam industri musik dan seni pertunjukan di sini: mereka menghormati bangsa dan negara Indonesia.

Lantas, bagaimana dengan kita? Jujur saja, kita justru kurang menghargai dan menghormati lagu kebangsaan sendiri. Bisa dihitung berapa kali kita menyanyikannya dalam setahun. Bisa dihitung pula berapa orang dewasa, pelajar dan mahasiswa, atau anak-anak muda masa kini yang hafal lirik Indonesia Raya. Barangkali jauh lebih banyak yang fasih dengan lirik lagu Begadang-nya Rhoma Irama, atau Separuh Aku-nya Ariel NOAH, atau lagu-lagu bertema cinta platonik lainnya.

Sejak lama, generasi terbaru Indonesia memang mengalami krisis nasionalisme termasuk dalam hal mengenal lagu-lagu kebangsaan kita khususnya Indonesia Raya. Kalau misalnya diminta menyanyikan lagu itu, kita pasti diam atau gagap karena tidak hafal. Banyak orang hanya 'berani' menyanyikannya bersama-sama karena bila salah ucap lirik tidak akan ketahuan. Coba saja buktikan, di acara keramaian yang mengharuskan lagu kebangsaan ini dilantunkan, orang-orang tidak akan keberatan karena menyanyikannya secara keroyokan. Itu pun seringkali sekadarnya saja alias tidak bersungguh-sungguh sehingga tampak kurang khidmat.

Nasionalisme memang tidak bisa diukur hanya lewat hafalan lagu-lagu kebangsaan. Tentu banyak hal bisa dilakukan. Tetapi, bangsa yang kurang menghargai dan menghormati lagu kebangsaannya, patut juga diragukan kadar nasionalismenya. GNR setidaknya telah mengingatkan sekaligus menyadarkan kita: dalam ingar-bingar musik rock pun ada nasionalisme. Dalam hura-hura hiburan -- yang urakan sekalipun -- tetap ada rasa kebangsaan. Jangan ditinggalkan atau dilupakan. 

Kita memang perlu berkaca pada sikap orang-orang bule. Sebebas-bebasnya gaya hidup mereka, hampir tak pernah merendahkan lagu kebangsaannya. Mereka senantiasa hormat dan khidmat saat menyanyikannya. Contoh nyata dan paling sering kita lihat di lapangan sepakbola. Tim-tim sepakbola dunia saat mengikuti ajang besar seperti Piala Eropa atau Piala Dunia, selalu dengan serius menyanyikan lagu kebangsaannya sebelum berlaga. Tak ada yang sambil cengengesan atau pura-pura menyanyikannya. Mereka khusyu dan khidmat. Lagu kebangsaan membakar semangat juang mereka. Sebaliknya, timnas sepakbola kita kerap ogah-ogahan menyanyikan lagu kebangsaan sendiri.

Kurang cintanya orang Indonesia terhadap lagu Indonesia Raya pasti bukan lantaran liriknya terlalu panjang. Pasti bukan. Sebab banyak lagu yang liriknya jauh lebih panjang justru mereka hafal dan menyukainya hampir sepanjang hidupnya. Lantas, karena apa? 

Bisa jadi karena sistem pendidikan Indonesia -- dari SD hingga perguruan tinggi -- kini kurang memberikan pelajaran nasionalisme. Dulu, kita diajarkan lagu-lagu perjuangan seperti Maju Tak Gentar, Halo-halo Bandung, Berkibarlah Benderaku, Rayuan Pulau Kelapa, dan sebagainya. Kita akan dimarahi guru jika tidak bisa menyanyikannya.  Sekarang murid yang tidak hafal lagu perjuangan bangsa, mungkin dibiarkan saja. Murid yang hafal lagu Iwak Peyek atau lagu senam disco Gangnam Style malah diapresiasi.

Apalagi televisi dan radio kini nyaris tak pernah lagi menyiarkan lagu-lagu kebangsaan. Sehingga, ABG zaman sekarang tidak familiar bahkan merasa asing dengan lagu perjuangan bangsa sendiri termasuk lagu Indonesia Raya. Tak ada RBT (Ring Back Tone) untuknya kecuali lagu pop, dangdut, rock  dan jazz, atau lagu masa kini yang sekadar 'asal enak didengar'.

Mungkin pula karena sistem politik kita sudah kering bahkan jauh dari nilai-nilai nasionalisme. Yang berkembang sekarang adalah paham materialisme dan hedonisme. Tak ada pejabat negara yang benar-benar mau berjuang atau mengabdi untuk kepentingan publik. Mereka berlomba dan mengejar kursi kekuasaan semata. Segalanya diukur dengan uang dan serba kebendaan. Bila kekuasaan telah diraih, maka berlomba-lomba pula memperkaya diri serta menikmatinya sepuasnya -- tidak peduli dan persetan dengan nasib rakyat yang hidup melarat. Dalam politik yang demikian apakah masih mungkin orang hafal lagu Indonesia Raya dan menyanyikannya dengan syahdu, khusyu dan khidmat?

Maka, boleh jadi Gun N' Roses lebih fasih menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya daripada kita sendiri !

Pos Pengumben, 17 Desember 2012
ZHM

Jumat, 14 Desember 2012

''Kiamat'' di Partai Demokrat?

Semua partai politik pada akhirnya mati karena 
menelan kebohongannya sendiri
--Arbuthon, pemikir dan aktivis politik Inggris

RAMALAN Suku Maya bahwa tahun 2012 ini bakal terjadi kiamat benar ''terbukti.'' Setidaknya itu menimpa Partai Demokrat di Indonesia. Bukankah parpol yang dikomandani SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) itu tengah berada di titik nadir? Pamornya terus merosot, citranya memburuk, bahkan banyak kalangan memprediksi Partai Demokrat bakal ambruk di Pemilu 2014. Padahal partai ini menang Pemilu 2009 serta dua periode pula menjadi partai berkuasa.

Tentu banyak faktor penyebabnya. Terutama karena sejumlah kadernya terjerat kasus korupsi. Dari Muhammad Nazaruddin, Angelina ''Angie'' Sondakh, Hartati Murdaya, dan terakhir Andi Alfian Mallarangeng. Bahkan sang Ketua Umum, Anas Urbaningrum, disebut-sebut dan ditengarai bakal bernasib sama, menyusul mereka. Nazar sudah divonis penjara. Angie dan Hartati kini ditahan KPK dan perkaranya masih dalam persidangan. Sedangkan Andi sudah ditetapkan sebagai tersangka, tinggal menunggu panggilan pemeriksaan dan hampir bisa dipastikan juga akan masuk tahanan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). 

Ironis sekali. Semula mereka berteriak lantang bahkan menjadi ikon atau bintang iklan antikorupsi. ''Katakan tidak pada korupsi! Katakan tidak pada korupsi!''  Begitulah akting mereka dalam tayangan televisi dan cetakan di koran-koran. Nyatanya dan akhirnya justru satu per satu di antara mereka masuk bui karena korupsi.

Mereka itu bukanlah kader-kader biasa. Mereka adalah fungsionaris dan punya kedudukan penting atau strategis di Partai Demokrat. Tapi, lantaran kesandung kasus korupsi, jabatan mereka sudah dipreteli alias dicopot. Sedangkan posisi Anas yang juga ''rawan'' seakan menyandera partai tersebut, sehingga sulit sekali menaikkan rating atau elektabilitas partainya menjelang Pemilu Legislatif (Pileg) yang akan berlangsung kurang dari dua tahun lagi.

Bukan cuma itu. Ulah beberapa kadernya yang lain juga menjadi blunder dan merugikan partai. Terutama mereka yang vokal tetapi kadang ngawur, hantam kanan-kiri dan menimbulkan antipati publik. Misalnya pernyataan Sutan Bhatoegana tempo hari bahwa Gus Dur lengser karena kasus korupsi. Meski pernyataan ini dicabutnya dan dia sudah minta maaf ke keluarga besar Gus Dur, tidak lantas menaikkan derajat partai. Justru menambah beban. Pernyataan Ruhut Sitompul juga kerap tidak produktif, sehingga menambah beban berat partai. Ruhut sendiri baru saja dicopot dari jabatannya di partai, namun tak berpengaruh pada perbaikan partai. Alhasil, Partai Demokrat kian surut dan malah bisa ditinggal pergi konstituennya sendiri...

Dalam beberapa jajak pendapat atau polling yang dilakukan lembaga-lembaga survei, ranking Partai Demokrat tak lagi berada di puncak. Masa keemasan 2009 nyaris hilang. Sudah kalah dibanding Partai Golkar dan PDI Perjuangan. Kedua parpol ini cenderung bertahan dalam posisi pertama dan kedua serta berebutan menjadi yang teratas. 

Sebagai partai penguasa dan pemenang pemilu lima tahun lalu, mestinya Partai Demokrat bisa lebih percaya diri. Nyatanya malah jadi galau dan tidak berkembang. Benar kata pepatah ''merebut kemenangan jauh lebih mudah daripada mempertahankannya.'' Kegalauan Partai Demokrat selain karena perilaku sejumlah kadernya juga lantaran sikap dan kinerja pemerintahan SBY. Terutama kabinetnya yang terbentuk dari koalisi beberapa partai besar, justru membelenggu dan tidak membuat SBY jadi kreatif. 

Begitu banyak tarik-menarik kepentingan sehingga SBY kerap ragu dan lamban mengambil keputusan dalam kebijakan pembangunan. Inilah risiko dari rangkap jabatan. SBY adalah Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, dan beberapa menterinya adalah ketua umum atau pengurus dari beberapa partai politik yang berkoalisi. Dalam banyak hal terjadilah conflic of interest  dan sulit dibedakan: mana kepentingan negara dan rakyat, mana pula kepentingan partai politik,  yang mereka perjuangkan. Yang kerap terjadi adalah campur-aduk dua kepentingan tersebut. 

Bukan berarti Partai Demokrat adalah partai yang paling buruk. Bukan. Partai-partai lain, bisa jadi sama tidak bagusnya. Beberapa kader partai lain juga terlibat kasus korupsi. Bermutunya sebuah partai politik bisa diukur: seberapa besar manfaatnya bagi rakyat banyak, khususnya bagi konstituennya. Seberapa besar partai tersebut membawa aspirasi serta memperjuangkan nasib rakyat -- entah selagi berada di pemerintahan, di dalam maupun luar parlemen. Kalau cuma mengumbar janji, tanpa bukti, itu partai omong kosong namanya. Apalagi sampai korupsi, itu pengkhianat namanya. Cepat atau lambat akan ditinggal dan dilupakan rakyat.

Pos Pengumben, 15 Desember 2012
ZHM

Kamis, 13 Desember 2012

Plesiran DPR Berkedok Studi Banding

Jangan pernah mempercayai apapun dalam politik sampai hal itu resmi diingkari
--Otto Von Bismarck, negarawan Jerman (1815-1898)

BERBICARA dengan anggota DPR Senayan laksana berbicara dengan tembok bangunan. Memprotes dan mengeritik anggota DPR juga bagaikan berteriak kepada awan di langit. Percuma. Sia-sia. Buang waktu. Buang tenaga. Tidak ada gunanya! 

Lihat saja buktinya: kritik masyarakat terhadap berbagai studi banding yang dilakukan para wakil rakyat itu tak pernah mereka gubris. Mereka malah terus melakukan studi banding ke luar negeri. Yang lebih konyol, itu dilakukan dalam kaitan penyusunan RUU yang tidak begitu penting bagi rakyat. Juga tidak terlalu urgen dengan kondisi masyarakat. Misalnya RUU keinsinyuran dan yang terbaru RUU keantariksaan.

Untuk mematangkan RUU tersebut, lagi-lagi mereka melakukan studi banding. Padahal sudah sering diingatkan oleh berbagai kalangan agar semua itu dihentikan. Sebab kegiatan tersebut hanya jadi modus pelesiran anggota DPR. Sementara hasil studi bandingnya hampir tidak ada kontribusi atau manfaatnya bagi pembahasan bakal bahan undang-undang tersebut. Tegasnya, studi banding itu hanyalah pemborosan anggaran alias buang-buang duit rakyat.

Kalau dihitung, sudah cukup banyak negara yang jadi tujuan studi banding anggota DPR. Di antaranya: Jerman, Inggris, Denmark, Turki, Amerika Serikat, Afrika Selatan, Paris, dan terakhir Brazil. Kalau dihitung lagi, banyak dan besar pula dana yang dikeluarkan. Rata-rata berkisar Rp 600-900 juta bahkan mungkin miliaran rupiah. Jangan anggap uang ini kecil. Cukup besar dan lebih bermanfaat jika misalnya untuk membiayai perbaikan gedung-gedung sekolah yang sudah reyot atau membantu orang-orang miskin.

Dana yang dipakai untuk studi banding itu tentu tidak turun dari langit, tapi dari anggaran atau kas DPR yang notabene juga uang rakyat. Semua perongkosan itu pasti tidak seratus persen dipakai untuk studi banding. Bisa saja masuk ke kocek pribadi; dipakai untuk membeli oleh-oleh atau membiayai jika ada kerabat dan anggota keluarganya yang ikut serta. Maka lengkaplah kemubaziran itu: studi bandingnya belum tentu ada hasilnya, tapi anggota DPR sudah menikmati perjalanan ke luar negeri. Dengan dalih bekerja, sebetulnya mereka berfoya-foya.

Sebetulnya tidak semua pembahasan RUU memerlukan studi banding. Para anggota dewan bisa menggunakan cara-cara yang lebih efisien dan efektif untuk mematangkan pembahasan materinya. Di DPR dan setiap anggota dewan punya staf ahli. Berdayakan saja mereka untuk melakukan riset atau investigasi terkait RUU yang bakal dibahas. Mereka misalnya bisa melakukan riset pustaka atau browsing lewat internet untuk mencari semua data terkait UU yang akan digolkan.

Cara lain juga bisa ditempuh: DPR mendatangkan pakar dari luar negeri untuk berbicara tentang hal-hal atau topik yang terkait dengan RUU. Biaya mendatangkan mereka ke sini pasti jauh lebih murah ketimbang harus rame-rame ke luar negeri. Dari segi waktu juga bisa lebih cepat. Sehari dua hari bisa kelar. Sedangkan studi banding ke luar negeri butuh waktu sedikitnya satu atau dua minggu. Lebih baik menemui langsung konstituen atau masyarakat di dalam negeri sembari mencari tahu hal-hal penting apa saja yang bisa dimasukkan dalam RUU sehingga nantinya terakomodir dalam UU.

Jadi, kalau saja para anggota DPR mau sedikit kreatif, sesungguhnya banyak cara cerdas dan efektif yang dapat digunakan. Tidak mesti studi banding terus-terusan. Kini publik tidak bisa lagi dibohongi. Mereka sudah pandai membaca bahwa itu hanyalah kedok atau akal-akalan anggota DPR supaya bisa pelesiran ke luar negeri. Katanya sih studi banding, nyatanya cuma jalan-jalan...

Terbukti studi banding anggota DPR ke Jerman tempo hari cuma rekreasi belaka. PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) di sana menemukan fakta-fakta bahwa sejumlah wakil rakyat yang melakukan studi banding itu malah jalan-jalan mengelilingi sungai dan tertangkap kamera pula mereka sibuk berbelanja di mal setempat. Saat bertemu anggota parlemen di sana, para anggota DPR juga tampak tidak menguasai topik yang dibahas dalam RUU. Ketahuan pula bahwa bahasa Inggris mereka tidak fasih.

Lantas, mengapa para anggota DPR itu masih saja membandel? Masyarakat sudah ''menggonggong'' keras, mereka tetap saja ''berlalu....'' Padahal beberapa pimpinan DPR juga sudah berjanji akan menghentikan sementara kegiatan studi banding. Wakil Ketua DPR Pramono Anung, misalnya, pada 30 Mei 2011 sudah menegaskan bahwa DPR menghentikan sementara studi banding ke luar negeri untuk merespons kritik publik. Kata Pramono, kunjungan ke luar negeri hanya untuk agenda yang berkaitan dengan Badan Kerjasama Antar-Parlemen, kunjungan muhibah, dan Grup Kerjasama Parlemen. Nyatanya, studi banding terus berlanjut!

Kalau berbagai kritik dan protes publik sudah tidak didengar lagi oleh para anggota DPR itu, sebetulnya mudah saja bagi rakyat untuk menyikapinya: jangan pilih lagi mereka di Pemilu Legislatif 2014.

Pos Pengumben, 14 Desember 2012
ZHM

Selasa, 11 Desember 2012

Malaysia, ''Adik'' yang Jahat?

Setiap bangsa menertawan bangsa-bangsa lain,
dan semua menganggap benar
--Arthur Schopenhauer, Filsuf Jerman (1788-1860)


SEWAKTU kuliah dulu saya punya empat adik kelas dari Malaysia. Tiga perempuan, satu laki-laki. Mereka memang merantau ke Jakarta untuk meraih gelar sarjana. Sekali waktu, saya ajak mereka ngobrol sembari menikmati hidangan di kantin kampus. Kami bicara panjang lebar dari soal perkuliahan, demo, politik, cita-cita, dan.....cinta. 

Nah, ada satu hal yang saya tanyakan dan menurut saya ini penting. Pertanyaannya begini: sebagai warga Malaysia, apa yang kalian lihat dan ingin katakan tentang Indonesia? Jawaban mereka ternyata sama. Mereka menganggap Indonesia sebagai abang, sebagai kakak, sebagai senior, dalam segala hal. ''Dari segi budaya dan politik, kami-kami ini masih di bawah Indonesia. Kami sangat hormat dan mesti belajar dari orang-orang Indonesia. Kami menganggap sebagai saudara tua. Hampir semua orang Malaysia menganggap orang Indonesia sebagai saudara tua,'' tutur Siti Alica, salah satu mahasiswi junior itu, sekitar 20 tahun lalu.

Faktanya, pengakuan mereka sangat kontras dengan keadaan sekarang. Warga atau bangsa Malaysia tidak lagi menganggap orang-orang Indonesia sebagai senior atau saudara tua mereka. Buktinya, mereka sudah tidak hormat lagi dan kerap melakukan berbagai pelecehan terhadap masyarakat dan bangsa Indonesia. Itu dilakukan bukan hanya oleh warga sipil, tapi juga sejumlah pejabat Malaysia. Dari pencurian atau klaim karya seni budaya Indonesia sebagai milik mereka hingga penguasaan daerah perbatasan serta pulau-pulau kecil yang terpencil. Tegasnya, orang-orang Malaysia selalu bikin kesal hati orang Indonesia.

Kasus terbaru, mantan Presiden BJ Habibie juga jadi korban. Habibie dibilang pengkhianat bangsa Indonesia. Habibie disamakan dengan tokoh oposisi Malaysia, Anwar Ibrahim, yang dikatakan menjadi antek-antek imperialisme. Yang memberikan stigma negatif itu adalah bekas Menteri Penerangan Malaysia, Zainudin Maidin, dalam sebuah artikelnya di media setempat, Utusan Malaysia. Ini memang mengejutkan. Tidak ada angin, tidak ada hujan, mengapa tiba-tiba Habibie diserangnya. 

Pak Habibie ternyata tidak marah. Beliau justru menyikapinya secara santai sambil mengatakan, ''Anggap saja ini pujian.'' Tapi kalangan DPR menyesalkan pernyataan Zainudin itu dan akan mengirimkan surat protes resmi kepada pemerintah Malaysia. DPR menilai opini mantan Menpen Malaysia itu sudah keterlaluan, menghina mantan Presiden Indonesia. Sejumlah kalangan juga merasa terusik dan mendesak agar pemerintah dalam hal ini Presiden SBY mengambil sikap tegas terhadap perilaku pejabat di negeri jiran itu. 

Tingkah orang-orang atau warga Malaysia terhadap Indonesia yang sering melecehkan itu, tidak lepas dari sikap bangsa kita terhadap mereka. Dalam banyak kasus yang menimbulkan ketegangan antara kedua belah pihak, kita cenderung tidak tegas, Kita membiarkan orang-orang Malaysia itu melakukan klaim serta penghinaan terhadap sejumlah elemen bangsa dan budaya kita secara leluasa. Mereka berani berulah karena merasa kita tidak menggubris (atau takut?) terhadap mereka. 

Masih segar dalam ingatan kita ketika beberapa pekan lalu digelar pertandingan sepakbola Timnas Indonesia versus Timnas Malaysia di ajang Piala AFF 2012. Suporter Malaysia mengejek secara kasar suporter Indonesia. Bahkan ada beberapa suporter kita yang dianiaya, ditendang dan dipukuli ketika hendak menuju stadion Bukit Jalil. Fotonya beredar dan sempat dimuat beberapa media di Indonesia. Namun kita membiarkannya saja, tidak melakukan perlawanan ataupun sekadar protes ke pihak Malaysia.

Lantaran sikap kita yang pasif atau diam itulah, barangkali, yang membuat orang-orang Malaysia merasa berani bertingkah. Apalagi dalam beberapa hal mereka lebih maju sehingga lebih percaya diri untuk unjuk gigi. Dalam sepakbola misalnya, Malaysia memang lebih unggul sehingga cenderung menganggap remeh sepakbola kita. Dalam politik, Malaysia bisa jadi lebih demokratis daripada kita. Tak ayal jika ada pejabat Malaysia pun berani melecehkan seorang BJ Habibie, yang oleh rakyat Indonesia justru masih amat dihormati.

Kalau begitu, pengakuan empat mahasiswa asal Malaysia bahwa bangsa Indonesia adalah abangnya, kakaknya atau saudara tuanya dan tempat mereka belajar,  sudah tidak relevan. Tidak sesuai dengan kenyataan sekarang. Atau, Malaysia adalah ''adik'' yang jahat?

Jakarta, 12.12.12 (12 Desember 2012)
ZHM

NB: Kabar terbaru menyebutkan, link artikel yang menghina Habibie sudah dihapus dari website "Utusan Malaysia"

Senin, 10 Desember 2012

12.12.12 & Klenik Politik Indonesia

Keberuntungan adalah perpaduan antara naluri untuk
melihat setiap kesempatan dan kemampuan meraihnya
--Zig Ziglar, Pembicara Motivasi (1926-2012)


ZAMAN sudah modern. Teknologi juga canggih. Bahkan gaya hidup pun serba mewah. Tapi, anehnya, orang-orang masa kini masih saja percaya pada hal-hal yang berbau klenik. Buktinya: banyak orang menganggap angka triple 12 (12.12.12) adalah angka cantik, mistik, dan punya nilai ''keramat.'' Makanya banyak pasangan muda-mudi yang memilih angka tersebut untuk menikah. Kaum ibu yang sedang hamil tua pun tak mau ketinggalan; mereka memaksa diri melakukan operasi caesar demi kelahiran sang bayi, meski usia kandungan mungkin masih beberapa hari lagi.

Benarkah 12 Desember 2012 besok adalah hari istimewa dan membawa hoki? Wallahualam. Yang pasti, menyukai tanggal-bulan-tahun berangka kembar tiga bukanlah hal baru. Sudah lama menjadi fenomena masyarakat dunia. Sebelumnya, orang-orang juga berebut nikah dan melahirkan di angka: 10.11.12 (10 November 2012), 11.11.11 (11 November 2011),  9.10.11 (9 Oktober 2011), 10.10.10 (10 Oktober 2010), 9.9.9 (9 September 2009), dan seterusnya. Ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara-negara maju di benua Eropa, Amerika dan Timur Tengah.

Jika dicermati, angka-angka tersebut memang unik. Orang sering menyebutnya angka cantik. Ada yang berurutan seperti 9.10.11 atau kembar tiga seperti 10.10.10. Terjadinya pun jarang, bisa sekali saja dalam setahun. Makanya banyak orang memanfaatkan kesempatan yang langka itu. Kalau saja Annemarie Schimmel masih hidup, mungkin dia akan tertarik dan mengkajinya. Schimel adalah seorang pakar kajian agama dan peradaban dunia kelahiran Jerman (1922-2003). Dia menulis banyak buku, salah satunya The Mysteri of Numbers (Misteri Angka-angka) yang membedah perihal angka dalam berbagai peradaban kuno serta tradisi agama Islam, Yahudi dan Kristen. 

Apakah angka-angka unik tersebut membawa hoki? Soal ini kiranya perlu penelitian dan pengkajian mendalam. Belum ada bukti misalnya mereka yang menikah di tanggal-bulan-tahun tersebut lantas rumahtangganya langgeng sampai mati, hidupnya jadi kaya raya atau sebaliknya melarat. Juga belum ada fakta bahwa mereka yang melahirkan di angka tersebut anaknya pintar, cerdas, dan kelak jadi orang terkenal. 

Patut diduga bahwa ini hanyalah sensasi belaka yang mengait pada life style alias gaya hidup orang-orang di masa kini. Oleh kaum pebisnis, fenomena ini dimanfaatkan dan sengaja digembar-gemborkan. Kaum muda berlomba-lomba menikah di angka tersebut, para ibu pun berebut melahirkan bayinya. Kebanyakan dari mereka adalah kaum berduit alias orang-orang kaya. Maka yang panen adalah para pengusaha atau event organizer (EO) pesta pernikahan, para penghulu, dan rumah-rumah sakit khususnya dokter spesialis bedah caesar. Apakah sang pengantin dan para ibu bakal mendapatkan keberuntungan, kita tidak tahu.... Mungkin mereka merasa senang dan bangga bisa menikmati sensasi itu, walau harus membayar sangat mahal. Bukankah memang ada kelompok orang yang hidupnya demikian?

Fenomena tersebut sebetulnya tidak jauh beda dengan dunia politik kita. Banyak politisi yang percaya pada angka-angka tertentu dan mengaitkannya dengan hajatan atau kegiatan politiknya. Mereka yakin itu akan membawa hoki atau keberuntungan. Presiden SBY, misalnya, konon amat percaya pada angka-angka keramat. Angka keramatnya adalah 9. Angka 9 sesuai dengan tanggal kelahirannya yakni 9 September 1949. Waktu Pilpres 2004 digelar tanggal 9, sehingga SBY menang. Angka 9 pula yang membuat SBY kembali berkuasa yakni tahun 2009. Banyak kalangan menilainya itu sebagai klenik politik. Padahal mungkin sekali angka 9 itu cuma kebetulan saja, dan kemenangan SBY lebih dikarenakan strategi politik.

Bung Karno pun percaya kalau angka-angka tertentu punya nilai keramat. Beliau memproklamasikan Indonesia pada tanggal 17 tahun 1945. Nah, angka 17 dan 45 itu dipakai sebagai jumlah fondasi, tiang-tiang serta panjang-lebar atau luas bangunan Monuman Nasional (Monas). Tugu ini selain sebagai lambang kota Jakarta, juga jadi simbol kemerdekaan bangsa Indonesia. Mungkin Bung Karno yakin angka-angka tersebut punya nilai keramat hingga Monas pun menjadi bangunan paling strategis dan penting sampai saat ini.

Apakah Anda percaya atau tidak percaya angka-angka unik tersebut membawa hoki? Terserah. Yang penting, kesukaan atau kekaguman kita terhadap tanggal, bulan dan tahun tersebut, jangan sampai mengalahkan keyakinan kita kepada kekuasaan yang menciptakan dan memberikannya. Yakni: Allah, Tuhan Robbul Izzati.

Pos Pengumben, 11 Desember 2012
ZHM

Minggu, 09 Desember 2012

Spanduk Raksasa "Berani Jujur Hebat!"

Orang yang meraih jabatan dengan cara membeli
akan meminta uangnya kembali saat menjabat
--Mario Teguh, motivator 

DI Indonesia, boleh jadi orang jujur kini mulai langka. Kejujuran pun menjadi mahal harganya. Saking langka dan mahalnya, maka orang-orang yang berani jujur bakal dikategorikan sebagai orang hebat. Itulah message utama dari spanduk besar bertuliskan: BERANI JUJUR HEBAT! 

Apakah Anda sudah melihatnya? 

Spanduk raksasa tersebut sudah sejak sebulan lalu membungkus sebagian gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Lantas, sepekan yang lalu juga sudah terpasang di sisi gedung Markas Besar (Mabes) Polri. Dan kemarin (9/12), saat peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, juga dipasang di dinding Gedung Balaikota DKI Jakarta. Gubernur Jokowi menyaksikan langsung pemasangan spanduk berukuran jumbo itu. 

Bayangkan, seandainya semua gedung institusi pemerintah -- khususnya di Jakarta -- seperti: gedung MPR/DPR, gedung Kejaksaan Agung, gedung Mahkamah Agung, gedung Pengadilan, gedung Kementerian, Istana Negara, gedung BPK, serta gedung-gedung milik swasta memasang spanduk tersebut, maka wajah Ibukota bakal penuh dengan spanduk raksasa itu. Orang-orang di Jakarta pun dengan mudah membaca dan sekaligus diingatkan bahwa: Berani Jujur Hebat!

Ini memang cuma gerakan moral. Tapi terasa cukup menghentak. Kenapa? Selain spanduknya berukuran tidak biasa alias besar, tagline-nya juga menantang. Terkesan bahwa semua orang tidak berani berbuat jujur. Semua orang cenderung berlaku curang. Dan itu dianggap tidak hebat. Makanya, barangsiapa yang berani jujur, dia orang hebat! Sebuah slogan yang cukup persuasif mempengaruhi publik. Sebuah kampanye yang cukup baik dalam upaya mencegah dan memerangi korupsi di Indonesia.

Harus diakui, maraknya kasus korupsi di negeri ini berpangkal pada ketidakjujuran. Para pelaku tindak pidana korupsi pasti bukanlah orang yang jujur. Mereka mengambil uang yang bukan haknya dengan cara suap, sogok, pungli, mark-up dana pembangunan, menilep uang kas negara, mengambil uang dan mengemplang pajak, memanipulasi dana APBN dan APBD, money politics, atau menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan. Seandainya mereka jujur, takkan terjadi korupsi. Uang dan anggaran aman, pembangunan juga bisa terlaksana sesuai rencana. Itulah yang mendorong para aktivis antikorupsi melakukan gerakan back to fair alias kembali pada sifat dan sikap jujur. 

Berbuat jujur memang butuh perjuangan mental. Lebih gampang mengucapkannya daripada melakukannya. Apalagi di zaman yang serba koruptif sekarang ini, godaannya begitu kuat. Orang jujur mungkin terasa asing, aneh, dan minoritas. ''Hari gene masih mau jujur?'' begitu ada yang meledeknya. Bahkan ada pula yang menyebarkan ungkapan misalnya: ''Orang yang jujur tidak dapat tempat'', ''Orang jujur pasti hancur'', atau ''Mencari yang haram saja susah, apalagi yang halal.'' Pernyatan-pernyataan ini seolah bijak, padahal sesat.

Nah, dengan pemasangan spanduk besar bertuliskan "Berani Jujur Hebat!'' itu diharapkan dapat mempengaruhi psikologis para pejabat negara agar tidak curang dalam melaksanakan tugas-tugasnya. ''Sengaja spanduk itu kami pasang di Markas Polisi. Ini komitmen kami dalam memberantas korupsi. Kami berharap aparat kepolisian tergugah, bahkan tersentuh; mereka merasa malu jika sampai melakukan ketidakjujuran atau korupsi. Jadi, berbuatlah yang jujur,'' tutur seorang petinggi Polri.   

Bila perlu tidak hanya dalam bentuk spanduk, tapi slogan BERANI JUJUR HEBAT! itu harus masuk ke ruang-ruang kerja para pejabat dan birokrat dari tingkat pusat hingga daerah. Misalnya, bingkailah slogan tersebut lalu pasang di atas meja kerjanya atau di tembok dan bahkan depan pintu kamar kerjanya, sehingga mereka selalu ingat akan pentingnya kejujuran dan selalu ingin berbuat jujur. 

Kita percaya bahwa kata-kata dapat mengubah pikiran, sikap dan tindakan seseorang. Maka, semoga saja spanduk raksasa bertuliskan BERANI JUJUR HEBAT! itu tidak berhenti sebagai spanduk dan slogan belaka, tapi mewujud pada tindakan nyata....

Pos Pengumben, 10 Desember 2012
ZHM

Jumat, 07 Desember 2012

Kasus Andi Mallarangeng, ''Membalikkan Pisau Dapur''

Apabila manusia baik, hukum tidak ada gunanya.
Tetapi jika manusia jahat, hukum dilanggarnya
--Benjamin Disraeli, PM Inggris (1804-1881)

MUNDUR dari jabatan menteri bukanlah tradisi politik Indonesia. Itu hanya ada di Eropa, Amerika, Jepang, Korea dan China. Di Indonesia sekalipun sang menteri atau pejabat diduga kuat terlibat kasus besar seperti korupsi, cenderung tetap bertahan. Kebanyakan mereka malah sibuk membela diri atau mencari alibi dirinya tak terlibat kasus itu. Mereka ngotot mempertahankan jabatannya walau dicaci maki, dihujat, dan didesak publik agar lengser.

Karena itu, sikap Andi Alfian Mallarangeng mengundurkan diri dari jabatan Menpora, Jumat (7/12) kemarin, mendapat apresiasi positif dari sejumlah kalangan. Andi dinilai gentle atau jantan. Padahal dirinya baru ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam kasus dugaan korupsi proyek sportcenter Hambalang. Surat penetapan status itu, termasuk surat pencekalan dirinya, pun belum diterimanya. Tapi Andi langsung bersikap: ia undur diri, setelah sebelumnya melapor dulu kepada Presiden SBY.

Yang juga menarik, dua adik Andi yakni Choel dan Rizal Mallarangeng, langsung menggelar konferensi pers. Choel memanfaatkan kesempatan ini untuk menegaskan dirinya sepeser pun tidak menerima uang haram dari proyek Hambalang. Selama ini memang santer kabar bahwa Choel terlibat, apalagi M Nazaruddin (yang sudah terpidana) dalam persidangan sering menyebut-nyebut nama Choel. Meski begitu Choel mendukung sikap Andi yang mundur dari jabatannya. Bahkan Choel menyatakan siap -- bila perlu secepatnya -- membantu aparat hukum guna menuntaskan kasus ini.

Semoga saja itu dilakukan dengan penuh ketulusan, bukan pencitraan....

Dari dua peristiwa itu dapat disimpulkan bahwa Trio Mallarangeng Bersaudara tidak melakukan perlawanan terhadap institusi hukum (baca: KPK) meskipun Andi sudah dinyatakan sebagai tersangka bahkan dicekal ke luar negeri. Mereka malah berjanji akan bersikap kooperatif dalam menyelesaikan kasusnya itu, agar segera tuntas. Ini sangat berbeda dengan umumnya pejabat di Indonesia yang berstatus tersangka; ada yang melawan, berusaha membela diri, menghindari panggilan KPK dengan alasan tak jelas, mangkir dari pemeriksaan penyidik dengan dalih sedang sakit, atau langsung buron ke luar negeri. 

Sikap kooperatif Trio Mallarangeng itu layak dipuji. Ini akan jadi preseden baik di kemudian hari, bahwa pejabat atau menteri yang berstatus tersangka kasus korupsi dimungkinkan mengundurkan diri dari jabatannya. Juga tidak melakukan pembangkangan. Andi bersaudara sudah memberikan contoh. Bahwa mereka terlibat atau tidak dalam kasus korupsi proyek Hambalang, lembaga pengadilanlah nanti yang berwenang membuktikannya. 

Padahal, bagi mereka bertiga, bersikap seperti itu tidaklah mudah. Ego dan arogansi bisa lebih mengemuka. Maklum, Trio Mallarangeng dikenal dekat dengan SBY. Merekalah yang menggarap pemenangan Partai Demokrat dan Capres SBY dalam Pemilu/Pilpres 2004 dan 2009. Terutama untuk urusan survei, iklan, dan pencitraan. Nyatanya memang sukses. Dengan modal kedekatan itu,  bisa saja mereka melakukan perlawanan, tetapi mereka justru bersikap kooperatif. ''Kami tidak mau kasus ini membebani pemerintahan SBY,'' kata Andi  maupun Choel.

Bagaimana kelanjutan kisah Trio Mallarangeng ini? Siapa lagi yang bakal ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus korupsi Hambalang? Dan, siapa mengganti Andi untuk mengisi jabatan Menpora? Kita tunggu dan lihat saja nanti...

Yang pasti, ada sejumlah menteri Kabinet SBY periode 1 dan 2 yang terseret kasus (dugaan) korupsi. Entah selagi menjabat ataupun setelah tidak jadi menteri. Beberapa nama boleh disebut misalnya: Paskah Suzeta, Bachtiar Chamzah, Yusril Ihza Mahendra, dan Siti Fadilah Supari. Beberapa pejabat di bawah menteri juga kesandung kasus korupsi. Ada yang sudah dipenjara, ada yang sudah bebas, dan ada pula yang perkaranya masih dalam persidangan. Ini menunjukkan bahwa menteri dan pejabat tidak kebal hukum. Mereka bisa dijerat, asalkan lembaga penegakan hukum khususnya KPK punya bukti-bukti kuat serta mau dan berani menyeret mereka demi keadilan dan penegakan hukum.

Selama ini hukum di Indonesia memang bak pisau dapur: tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, yang artinya keras terhadap rakyat atau orang-orang tak berduit, tetapi mereka yang kaya dan punya jabatan tinggi nyaris tak tersentuh. Akibatnya, penegakan hukum dilakukan dengan cara tebang pilih. Siapa yang akan dijerat dan sebaliknya siapa yang akan dilepas atau dibebaskan. Begitulah penegakan hukum dengan analogi pisau dapur.

Nah, dengan terjeratnya Andi Mallarangeng (menteri aktif yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi), setidaknya KPK berupaya ''membalikkan pisau dapur'' dalam menegakkan hukum di negeri ini. Sehingga hukum pun tajam terhadap para pejabat tinggi atau orang-orang yang sedang di atas kursi kekuasaan.... 

Kebon Jeruk, 8 Desember 2012.
ZHM

Kamis, 06 Desember 2012

Polemik Bangsa yang Tak Produktif

Rakyat tidak menginginkan kata-kata, mereka ingin
suara pertempuran-pertempuran untuk mengubah nasib mereka
--Gamal Abdul Naser, Presiden ke-2 Mesir (1918-1970)


SETELAH ACENG FIKRI, SIAPA LAGI?
Begitu pertanyaan seorang teman yang dikirimnya via BBM (BlackBerry Massanger) pagi tadi. Saya langsung menjawabnya: ''Nggak tahu nih. Memangnya penting?'' Dia pun membalas: ''Betul, lebih baik ngomongin yang ada gunanya saja ya.''

Ya, kasus nikah sirri 4 hari antara Bupati Garut Aceng Fikri dengan wanita bernama Fany Octora memang sempat menjadi pergunjingan nasional hampir dua pekan ini. Bahkan beritanya sampai pula ke Amerika dan menjadi perhatian Presiden Barack Obama (baca harian Nonstop edisi 6 Desember 2012). Aceng Fikri mendunia...

Sebagai berita, sebagai obrolan, sebagai gunjingan, bahkan sebagai polemik, kasus nikah kilat Aceng Fikri-Fany Octora tentu saja amat menarik. Bagi sebagian orang malah mungkin ''mengasyikkan''; jadi kesempatan untuk melampiaskan rasa tidak suka, penolakan, atau kebencian pada kasus perkawinan sirri yang kebetulan kini dilakoni Aceng Fikri. Mereka mencaci-maki dan menghujat sang pejabat. Mereka tumpahkan kemarahan.  Dan lain sebagainya, hingga Bupati Garut itu dimosi tak percara warganya, juga berakhir pada ancaman pelengseran.

Tapi, seberapa pentingkah meributkan kasus Bupati Aceng? Penting kalau dari kasus ini menjadi preseden baik terutama bagi para pejabat publik. Mereka belajar dan tidak mengulangi hal yang sama di kemudian hari. Mereka menjaga martabat dan kepatutan sebagai pejabat, bukan berbuat 'seenak udelnya' mentang-mentang sebagai penguasa. Mereka melindungi warganya, bukan malah memangsa serta menjadikan korban kesewenang-wenangan. Pejabat atau penguasa semacam itu takkan pernah ada yang langgeng. Cepat atau lambat, mereka akan jatuh tersungkur atau menjadi tercela di mata rakyatnya. Aceng salah satu contoh faktual yang pantas jadi pelajaran bagi yang lainnya.

Penting pula kalau pemerintah (dalam kasus ini adalah Mendagri dan Gubernur Jawa Barat) lantas membuat regulasi agar rekrutmen pejabat publik menghasilkan pemimpin yang baik. Atau membuat semacam peraturan bahwa pejabat yang a-moral harus dikenai sanksi. Dari teguran keras hingga pemberhentian dari jabatannya. Walaupun secara hukum positif mungkin bukan pelanggaran, tapi bisa saja perilakunya bertentangan dengan hukum konvensional (agama, etika, dan adat-istiadat). Hanya dengan begitu dimungkinkan lahirnya pejabat yang ideal.

Tapi, polemik kasus Aceng juga bisa menjadi polemik yang tidak produktif.  Kalau akibat polemik ini begitu banyak pikiran, energi, dan waktu yang terbuang percuma. Berhari-hari bahkan berminggu-minggu publik disuguhkan serta dilibatkan pada persoalan tetek bengek itu. Alih-alih menggali dan membicarakan gagasan besar bagi pembangunan bangsa, justru terjebak pada pergunjingan masalah pribadi orang lain. Tegasnya, polemik kasus Aceng menjadi mubazir atau sia-sia kalau kita -- khususnya para pejabat publik -- tidak bisa memetik hikmah atau pelajaran berharga darinya.

Sudah sering bangsa ini terjebak dalam polemik panjang yang tidak produktif. Dari persoalan masyarakat hingga ulah pejabat. Namun polemiknya tidak memberikan pencerahan, tidak menggugah pikiran positif dan akal sehat yang kreatif. Juga tidak menambah wawasan yang memperkuat visi masa depan masyarakat. Ini salah satu dari banyak faktor yang membuat kita cepat tertinggal misalnya dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Filipina bahkan Vietnam yang lebih cepat mencapai kemajuan. Alhasil, Indonesia tak pernah berhasil menjadi ''Macan Asia.''

Percayalah: berkhayal bisa membuat pesawat terbang tanpa mesin jauh lebih baik daripada sibuk bergunjing dan mengurusi aib orang lain...

Pos Pengumben, 7 Desember 2012.
ZHM

Selasa, 04 Desember 2012

Rendra & Kritik Terhadap Penguasa

BANYAK ORANG DIRAMPAS HAKNYA
AKU BERNYANYI MENJADI SAKSI...
--''Kesaksian'', WS Rendra


TIGA tahun sudah WS Rendra tiada. Generasi Indonesia 1980-an tentu amat mengenalnya. Rendra, selain penyair, juga dikenal dan dikenang sebagai budayawan yang konsisten dengan sikapnya: memberikan kesaksian sekaligus memprotes berbagai ketimpangan sosial di negeri ini. Kritiknya pedas, menyengat, dan menohok, terutama ditujukan bagi para pejabat dan birokrasi yang jahat di masa Orde Baru. Rendra selaku pemimpin Bengkel Teater berhasil menjadi pribadi ''oposisi'' sekaligus ''penyambung lidah rakyat'' yang tertindas. 

Protes dan pemberontakan Rendra tercermin dari sajak-sajaknya, yang bahkan kemudian menginspirasi gerakan mahasiswa melawan penguasa Orde Baru. Rezim Soeharto pernah takut terhadap kritik-kritik yang dilontarkannya, sehingga Rendra -- kelahiran Solo 7 November 1935 -- pun dikekang, dicekal, diteror, ditangkap dan dipenjara.

Kini banyak orang atau masyarakat mungkin kangen dengan Rendra. Atau boleh jadi, ketika partai-partai politik tak berfungsi, Indonesia butuh tokoh kritis semacam dia sehingga aspirasi publik bisa disampaikan. Aspirasi itu tersalurkan ke Pemerintah, DPR, Lembaga Peradilan, atau para cukong atau pengusaha jahat yang menipu rakyat dengan jalan kongkalikong dengan penguasa. Nah, di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, 7 Desember 2012 ini digelar acara ''Rindu Rendra.''  Berbagai karya teater, pemikiran dan pernak-pernik Rendra ditampilkan terutama lewat pembacaan sajak-sajaknya yang mewakili perasaan atau hati nurani rakyat.  

Jika Anda, atau generasi yang lahir tahun 90-an/2000-an, kurang mengenal karya-karya Rendra, berikut ini saya tampilkan beberapa (penggalan) sajaknya yang terasa masih relevan dengan situasi politik dan kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Terutama sajak-sajak yang berisi kritik politik, yang ditujukan untuk mengoreksi perilaku pejabat dan penguasa. 

Cuplikan 1--tentang pemerintah yang antikritik

Aku tulis pamflet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan,
menjadi peng - iya -an
........................................
Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan
Tidak mengandung perdebatan
dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan


Cuplikan 2--tentang intel yang merekayasa peristiwa

Di dalam pandangan yang kabur,
semua orang marah-marah
Rakyat marah, pemerintah marah,
semua marah lantaran tidak punya mata.
Semua mata sudah disabotir
Mata yang bebas beredar hanyalah mata-mata.


Cuplikan 3--tentang ketergantungan pada asing

Kita telah dikuasai satu mimpi
untuk menjadi orang lain
Kita telah menjadi asing
di tanah leluhur sendiri
Orang-orang desa blingsatan, mengejar mimpi
dan menghamba ke Jakarta
Orang-orang Jakarta blingsatan, mengejar mimpi
dan menghamba kepada Jepang, 
Eropa atau Amerika


Cuplikan 4--tentang kepincangan sosial dan kezaliman

Jangan kamu bilang negara ini kaya
kerna orang-orang miskin berkembang di kota dan di desa
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya
Lambang negara ini mestinya terompah dan blacu
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda
dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa


Pos Pengumben, 5 Desember 2012
ZHM


Senin, 03 Desember 2012

Bupati Aceng Fikri, Terkenal-Tercemar

Kekuasaan dapat diibaratkan 
sebagai obat perangsang nafsu birahi
--Henry Kissinger, diplomat Amerika (1923--)


SEBULAN lalu, nama Aceng Fikri mungkin hanya dikenal di daerah Garut, salah satu kabupaten di Jawa Barat. Tak lebih luas dari daerah itu. Orang-orang di Jawa Tengah, Jawa Timur, atau DKI Jakarta sekalipun, masih sangat asing dengan namanya. Tentu saja karena Aceng hanyalah Bupati Garut. Tapi, hari-hari terakhir ini dia begitu tenar. Tak cuma se-Jawa Barat, malah mungkin se-Indonesia. Bahkan mengalahkan popularitas artis papan tengah. Aceng langsung ngetop lantaran jadi buah bibir di mana-mana. Dia  menjadi trandingtopic di televisi, koran, tabloid, media jejaring sosial (social media) dan warung-warung kopi. 

Aceng Fikri mendadak terkenal karena kasusnya: menikahi wanita berumur 18 tahun secara sirri, tapi hanya empat hari dan langsung diceraikannya melalui SMS. Alasannya terdengar lucu: sang wanita (Fany Octora) sudah tidak virgin dan mulutnya bau. Aceng merasa dibohongi. Akibat perceraian ini, sang wanita langsung shok dan mengurung diri karena malu. Berbagai kalangan mengecam keras tindakan Bupati tersebut. Bahkan Presiden SBY dan Mendagri Gamawan Fauzi pun ikut bicara. Tak terkecuali LSM Perempuan, mengutuk perilaku Aceng dengan tudingan telah melecehkan wanita serta melakukan kejahatan perkawinan. Fany Octora, sang korban, bersama penasihat hukumnya juga sudah mengadukan Aceng ke polisi/Mabes Polri.

Kasus Aceng memang langka. Mungkin kali pertama terjadi di Indonesia. Kalau saja yang melakukan itu orang biasa, ya barangkali biasa-biasa saja, takkan heboh sebagai berita. Tapi lantaran yang melakukannya adalah seorang Bupati, maka ceritanya menjadi lain dan tidak lazim. Nah, di sinilah akar perkaranya, mengapa kasus Aceng-Fany begitu menghebohkan masyarakat Indonesia.

Dalam hukum tata negara, Aceng tidak salah. Dalam hukum agama pun nikah sirri dimungkinkan. Aceng -- atau siapapun yang mendukung atau bersimpati kepadanya -- boleh saja mengatakan itu masalah pribadi dan mengapa dipersoalkan.  Eit, jangan lupa! Aceng adalah seorang Bupati, pejabat publik, pemimpin masyarakat, maka segala tindak-tanduknya terkait dengan hukum kepatutan. Artinya, apa yang dilakukan Aceng Fikri sungguh tidak patut. Bisa dikatakan melanggar etika sosial dan politik. Sebagai tokoh publik, dia semestinya jadi panutan atau contoh yang baik bagi publik. Bukan malah memberikan contoh a-moral alias buruk.

Nikah sirri dan berlangsung kilat serta cerai dengan alasan sepihak, tentu bisa dicap perbuatan jahat. Kaum perempuan pasti akan membela sang korban. Tidak salah pula bila mereka memberikan penilaian dalam perspektif gender. Mereka menilai Aceng telah berlaku zalim dan mempermainkan wanita. ''Apakah dia tidak merasa bahwa dirinya lahir dari rahim wanita, dan kemudian diasuh serta dibesarkan oleh wanita? Dia melecehkan wanita (Fany Octora) sama saja dengan melecehkan ibunya,'' kata seorang aktivis feminisme yang enggan disebut identitasnya. 

Jangankan wanita, para lelaki pun tidak berarti membela Aceng Fikri. Kaum Adam juga mencibir dan mengecam tindakan Aceng. Terutama mengaitkannya dengan jabatannya sebagai Bupati, yang tidak patut atau tidak pantas melakukan perbuatan semacam itu. Jabatannya sebagai Bupati memang tidak untuk menyakiti warganya, termasuk Fany Octora, tapi justru untuk melindungi atau mengayomi warganya khususnya warga Garut. Akibat perbuatannya itu, warga Garut kini membencinya dan mendesaknya untuk bertobat dengan cara melepaskan jabatannya itu. Wajarlah kalau Dicky Chandra yang pernah menjadi wakilnya, terpaksa mengundurkan diri karena mungkin tak tahan dengan kelakuan Aceng.  

Kini Aceng memang terkenal, tapi nama dan perilakunya pun tercemar. Sejarah akan mencatatnya sebagai ''Bupati kawin kilat''. Ada pula yang mengolok-oloknya begini: ''Ah, dasar Bupati--buka paha tinggi-tinggi.'' Banyak lagi yang mengejeknya namun umumnya berbau pornografi sehingga tak elok untuk ditulis.

Kalau protes warga Garut terus berlanjut serta Gubernur Jawa Barat dan Mendagri memproses kasusnya itu, maka bisa jadi dalam waktu dekat Aceng Fikri akan terjungkal dari jabatan Bupati. Meskipun masa kekuasaannya baru akan berakhir tahun 2013, tapi bisa saja hari ini, besok, lusa atau bulan depan sudah dilengserkan. 

Aceng Fikri adalah satu dari banyak penguasa di dunia yang (bisa) tergelincir akibat tidak tahan godaan 3TA (harta, tahta, wanita). Terutama TA yang terakhir yang menghancurkan karier serta menamatkan riwayat politiknya.

Pos Pengumben, 4 Desember 2012
ZHM

Minggu, 02 Desember 2012

Lawan Malaysia, Ingatlah Ucapan Bung Karno

Jangan menutup kandang setelah kuda hilang
--Pepatah Melayu Lama


PENGGEMAR sepakbola di tanah air mungkin masih dongkol. Rasa kesal dan kecewa belum juga sirna. Maklum, Timnas Garuda kalah 0-2 atas Malaysia dalam laga penyisihan grup Piala AFF 2012, Sabtu (1/12) kemarin. Kekalahan ini membuat Timnas Indonesia gagal melaju ke babak berikutnya. Tidak seperti dua tahun lalu kita menjadi finalis, yang berhadapan pula dengan tim Malaysia. 

Yang menyesakkan dada, kekalahan kali ini bukan hanya di pertandingan, tapi juga di luar pertandingan. Sebagaimana ramai diberitakan, suporter Malaysia melakukan perbuatan yang tak etis: menghina, mengejek, bahkan menganiaya suporter Timnas kita yang hendak menonton di stadion Bukit Jalil. Malah beberapa hari sebelum duel kedua tim di lapangan hijau, perang urat syaraf (psywar) sudah berlangsung panas.

Kekalahan Timnas Indonesia atas Malaysia sesungguhnya bukan hanya kekalahan dalam sepakbola. Tapi kekalahan dalam banyak bidang. Dalam banyak hal. Ya budaya, ya sosial, ya ekonomi, bahkan politik. Bangsa kita sudah lama kalah dari negeri jiran itu. Malaysia memang negara kecil, tapi sudah lebih besar (baca: berprestasi)  daripada kita. Indonesia memang negara besar, tapi bisa jadi kecil saat berhadapan dengan Malaysia.

Bukti paling nyata adalah dalam bidang budaya. Betapa banyak karya seni-budaya Indonesia yang berhasil ''dicuri'' dan diklaim sebagai milik Malaysia. Lagu Terang Boelan, Tari Pendet, Reog Ponorogo, Rendang, adalah beberapa di antaranya. Banyak karya seni-budaya kita yang mereka akui sebagai miliknya dan dijual dalam pariwisata. Dari situ mereka mendapatkan hasil devisa. Sedangkan Indonesia cenderung mengabaikannya sehingga tidak mendapatkan apa-apa. Setelah adanya klaim mereka, barulah kita sadar dan cepat-cepat memproteksinya.

Di lain sisi, beberapa karya seni Malaysia justru mewabah di Indonesia. Film Upin & Ipin dan Boboboy misalnya, sangat digandrungi anak-anak di Indonesia. Anak-anak kita cuma jadi penontonnya. Sedangkan film anak-anak produksi Indonesia, selain memang tidak ada, juga tak mampu menembus pasar Malaysia. Soal ini kita sudah ditinggal Malaysia.

Demikian juga tenaga kerja Indonesia (TKI), begitu banyak yang bekerja di Malaysia. TKI adalah contoh nyata orang Indonesia bekerja dan membangun untuk negeri Malaysia, bukan untuk negaranya sendiri. Mereka memang dibayar dan pemerintah Indonesia pun dapat uang. Tetapi sebetulnya sumber daya manusia Indonesia telah dimanfaatkan untuk membangun Malaysia. Celakanya, tidak sedikit TKI yang diperlakukan tidak manusiawi, lebih rendah daripada budak. Tenaga para TKI diperas, dan jika salah langsung disiksa majikan, dipukuli, distrika, malah ada yang dihukum mati. Indonesia selalu telat mencegah atau mengantisipasi penghukuman terhadap TKI. Mereka nyaris tak terlindungi.

Belum lagi soal politik. Beberapa wilayah atau daerah perbatasan misalnya, seringkali jadi bahan keributan karena Malaysia dengan seenaknya mematok serta mengakui wilayah Indonesia sebagai wilayah Malaysia. Beberapa pulau kecil dekat Pulau Kalimantan juga ada yang diakui sebagai miliknya. Ada yang karena klaim sendiri, ada pula yang dibelinya dari oknum pengusaha. Dalam kasus ini, pemerintah Indonesia seringkali tidak tegas dan bersikap dingin sehingga Malaysia mudah bertingkah. 

Singkat kata, dalam banyak hal bangsa kita memang tertinggal bahkan kalah dibanding Malaysia. Padahal, sebagai negeri serumpun, Malaysia sebetulnya lebih junior atau ''adik''-nya Indonesia. Tapi lantaran mereka lebih maju dan lebih hebat, ya akhirnya berani ''ngelunjak''. Buktinya dengan mudahnya mereka mengejek dan melecehkan kita, terutama dalam bidang sepakbola. Maka, wajar saja jika ada yang mengaitkan kekalahan sepakbola kita adalah gambaran kegagalan pemerintah Indonesia (SBY). Yang tak becus mengatasi kemelut PSSI, yang tak mampu membina sepakbola nasional, yang tak beres melindungi karya seni-budaya bangsa, yang tak tegas mengatasi masalah perbatasan, dan sebagainya. 

Dulu Bung Karno dengan nyali besar dan gagah perkasa berani mengajak bangsa Indonesia: Ayo, Kita Ganyang Malaysia! Rupanya kala itu beliau sudah membaca tanda-tanda zaman bahwa kelak Malaysia akan hebat dan dengan seenaknya melecehkan Indonesia. Sekarang sudah terbukti, harga diri bangsa kita diinjak-injak Malaysia. 

Apakah selamanya kita akan diam saja? Tergantung presidennya!

Kebon Jeruk, 3 Desember 2012
ZHM