Sabtu, 09 Agustus 2014

Patung Presiden

Menjadi presiden seperti berjalan di atas kuburan;
ada banyak orang di bawahmu, tapi tak ada orang yang mendengarkan
--Bill Clinton, Presiden ke-42 Amerika Serikat


INI kabar baru yang, mungkin sekali, belum semua orang Indonesia tahu. Di kompleks Istana Bogor telah dibangun Balai Kirti, museum penghormatan dan penghargaan bagi presiden RI. Di situ nantinya bakal terpajang enam patung presiden yang pernah berkuasa: Sukarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY.
Patung presiden? Ya, betul. Rasanya cukup menarik untuk diperbincangkan. Bukankah selama ini – dalam ukuran besar – cuma ada patung Presiden Sukarno? Letaknya di Jl Proklamasi, Jakarta Pusat. Patung itu bernama Tugu Proklamasi, yang oleh kaum muda sering disingkat Tupok.
Tupok kini sudah menjadi ikon penting sejarah bangsa dan rakyat Indonesia. Tempat ini kerap dipakai untuk berbagai hajatan politik, dari aksi demonstrasi, orasi, deklarasi, kampanye, hingga perayaan dan pidato kemenangan calon presiden.

Kita tidak tahu, apakah patung-patung presiden di Balai Kirti nanti bakal mendapat perlakuan yang sama dengan Tupok. Kemungkinan besar tidak, sebagaimana perlakuan rakyat Indonesia berbeda-beda terhadap setiap presidennya. Tupok menjadi sangat populer karena ada patung Bung Karno, presiden pertama Indonesia yang sekaligus juga Proklamator RI.

Yang pasti, keenam patung presiden Indonesia itu kini tengah digarap oleh sejumlah seniman di studio milik Yusman, di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Targetnya selesai akhir Agustus 2014, sehingga dapat dipamerkan saat peresmian Balai Kirti, September mendatang.

Dengan dibuatnya patung-patung presiden itu, maka rakyat Indonesia dapat mengenang presidennya tidak hanya lewat foto-foto yang selama ini  termuat dalam buku sejarah maupun terbingkai dan tergantung di dinding-dinding sekolah atau tembok kantor. Hanya saja, keenam patung RI-1 itu cuma terdapat di Balai Kirti.  Tak ada dan tak tersebar di tempat-tempat lain. Kecuali jika kelak dibuat buat lagi, atau minimal duplikatnya.

Keenam patung presiden itu juga merupakan bentuk penghargaan bangsa ini terhadap presidennya. Memang, mereka memiliki sejarah kekuasaan yang berbeda-beda. Ada yang lama, ada pula yang sebentar saja. Ada yang dipuja, ada juga yang dicaci maki. Bahkan ada yang dipaksa lengser dengan kekuatan people power 

Patung-patung presiden itu mengingatkan kita dan generasi mendatang bahwa mereka pernah berkuasa dan memimpin Indonesia. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, mereka pernah mengabdi bagi bangsa dan rakyat ini. Tak sepantasnya untuk dilupakan sama sekali. Sebagaimana diingatkan oleh Bung Karno, ’’Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya,’’ termasuk mengenang presidennya.

Biarlah patung keenam presiden Indonesia itu dibuat dan dipajang di Balai Kirti. Tak perlu menjadi kontroversi yang hanya membuang-buang waktu dan energi. Lagi pula patung-patung presiden itu tidak merugikan bangsa ini, baik secara material maupun moral. Banyak nilai positifnya daripada negatifnya. Minimal untuk mengingat mereka, sebab Indonesia dikenal sebagai bangsa pelupa.

Untuk mengenang mereka juga tidak apa-apa. Terutama bagi presiden yang telah tiada. Tiap-tiap bangsa punya memori dan kenangan tersendiri terhadap sejarah dan orang-orang yang pernah memimpinnya. Kata penyair Chairil Anwar: kenang, kenanglah kami / yang kini terbaring tinggal tulang tulang diliputi debu....

Batavia, 10 Agustus 2014
ZHM

Selasa, 05 Agustus 2014

Ngerumpiin Menteri

Pemimpin tidak menciptakan pengikut,
mereka menciptakan lebih banyak pemimpin
--Tom Peters, konsultan politik (1942--)
 
MESKI hasil Pilpres 2014 digugat kubu Prabowo-Hatta ke MK, yang sidangnya mulai digelar hari Rabu ini, hampir dipastikan gugatan itu bakal kandas karena materinya lemah. Tuduhan dari kubu Capres nomor 1 bahwa Pilpres berlangsung curang secara terstruktur,  massif dan sistematis, dianggap terlalu mengada-ada. Gambaran sikap tak siap dan tak rela kalah. Maka, banyak kalangan yakin 1000% pasangan Presiden-Wapres terpilih Jokowi-Jusuf Kalla bakal resmi dilantik pada 20 Oktober mendatang.
 
Karena itu, Jokowi-JK tidak perlu membuang waktu dan energi, langsung konsentrasi menyusun kabinetnya. Sejak dua pekan terakhir proses itu sudah dimulai. Jokowi misalnya membentuk markas yang dinamakannya Rumah Transisi, di kawasan Menteng. Di situ ada tim yang diketuai Rini Soewandi. Jokowi juga menerima masukan dari masyarakat lewat medsos Facebook tentang usulan siapa-siapa saja tokoh yang layak jadi menteri. Meskipun, daftar resminya, sepenuhnya merupakan hak prerogatif Jokowi-JK.
 
Sampai detik ini belum ada bocorannya. Di sejumlah media cetak memang sempat beredar sejumlah nama. Tapi, itu cuma utak-atik kalangan jurnalis dengan meminta pendapat pengamat politik. Daftar lengkap kandidat menteri, masih jadi misteri. Pihak Jokowi mengatakan masih terus melakukan penjaringan. Apalagi dengan ada gugatan ke MK, Presiden SBY sempat mengingatkan Jokowi agar sabar; jangan tergesa-gesa, tunggu hasil putusan MK. Setelah itu bolehlah proses seleksi calon menteri dipublikasi.
 
Meski begitu, di masyarakat sudah jadi bahan rerumpian siapa saja yang berpeluang dan kemungkinan diangkat jadi menteri. Di banyak tempat seperti warung kopi, pangkalan ojek, pos ronda, kantin kantor, bahkan cafe-cafe dan lobi hotel, orang mulai ramai merumpikan calon menteri. Dari soal nama, kriteria calon, syarat, hingga nama kabinet pun digunjingkan. Kita coba merekam rerumpian itu.
 
Misalnya ada yang mengatakan -- meski klise -- calon-calon menteri baru harus lebih banyak dari kaum profesional. Kalangan ini dianggap lebih punya skil, mampu bekerja, dan bersih dari kepentingan pribadi atau golongan. Sedangkan dari kalangan parpol sebaiknya sedikit saja, terutama dari parpol yang ikut koalisi dan pengusung utama Jokowi-JK. Menteri dari parpol dianggap rawan korupsi, sebagaimana terjadi selama ini.
 
Kemudian masyarakat juga berharap calon-calon menteri itu harus orang-orang yang siap dan mau bekerja. Mereka ikhlas mengabdi dan melayani rakyat, bukan sebaliknya minta dilayani rakyat. Karakter menteri yang mau bekerja dianggap sebagai kebutuhan utama, mengingat begitu banyak persoalan rakyat dan bangsa yang harus segera dibenahi. Masyarakat berharap Jokowi tidak salah menempatkan menteri; selain mau bekerja, juga ahli pada bidangnya. Dengan begitu diharapkan jabatan dan keberadaan sang menteri benar-benar bermanfaat, tidak sia-sia.
 
Masyarakat menganggap selama ini, misalnya di masa Pemerintahan SBY, ada beberapa menteri yang terasa kurang berfungsi. Jangankan hasil kerjanya, menterinya pun kurang dikenal masyarakat. Cukup banyak masalah yang tak dapat ditanganinya. Pos-pos menteri semacam itu diharapkan tidak ada lagi. Lebih baik mengangkat menteri baru karena kebutuhan, berdasarkan masalah besar yang dihadapi bangsa. Jokowi sepertinya telah memberi sinyal memilih menteri yang hanya dibutuhkan bangsa.
 
Dari rerumpian masyarakat, terdengar pula ada yang mengharapkan Jokowi tidak melakukan proses seleksi menteri seperti pentas "Indonesian Idol." Cara ini pernah dipakai Presiden SBY ketika menyusun Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2. Calon-calon diundang datang ke kediamannya di Cikeas. Proses itu menjadi bahan liputan media terutama ditayangkan di TV-TV. Sayangnya, tidak semua tokoh yang diundang itu akhirnya menjadi menteri. Banyak juga yang gagal atau tak terpilih.
 
Banyak kalangan menyayangkan model rekrutmen kabinet seperti itu. Bagi tokoh-tokoh yang terpilih mungkin tidak masalah, tapi yang gagal tentu merasa kecewa. Mereka telah telanjur diekspose dan pasti merasa senang karena disebut-sebut bakal jadi menteri, ternyata tidak jadi. Makanya, diharapkan, sebaiknya proses seleksi tak perlu dipublikasi. Lebih baik hasil finalnya saja yang diumumkan, karena toh itu hak prerogatif Presiden Jokowi. Selain itu juga untuk menghindari kekecewaan calon-calon yang tak terpilih.
 
Selain nama, kriteria dan prosesnya, ada juga terdengar usulan tentang nama kabinet yang akan dipakai Jokowi-JK nanti. Misalnya ada yang usul namanya Kabinet Revolusi Mental. Nama ini dianggap sebagai wujud jargon yang dipakai Jokowi selama kampanyenya. Nama ini juga diharapkan berimplikasi positif terhadap mental para menteri, terutama agar tidak melakukan korupsi dan berbagai bentuk penyelewengan kekuasaan (abuse of power). Kabinet Revolusi Mental dianggap cocok untuk mengubah mentalitas para pejabat negara (birokrat) yang selama ini dianggap kurang sehat.
 
Ada pula yang mengusulkan namanya Kabinet Kerja. Nama ini dianggap sejalan dan mempersonifikasikan karaktar Jokowo-JK yang lebih suka bekerja daripada hanya berkata-kata atau mengumbar pernyataan. Bahkan Kabinet Kerja dianggap menjadi stimulus bagi para menteri agar selalu bekerja, dan merasa malu jika hanya dengan pidato, iklan, atau pencitraan. Harus diakui, menteri-mentari yang bekerja memang lebih disukai rakyat.
 
Bahkan ada juga yang mengusulkan nama Kabinet Tiga Jari. Nama ini dianggap sebagai simbol persatuan, sebagaimana bunyi sila ketiga Pancasila, atau istilah yang dipakai Jokowi saat pidato kemenangannya  di atas kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa, beberapa jam setelah pengumuman hasil Pilpres oleh KPU pada 22 Juli lalu. Lucunya pula, ada yang mengusulkan beberapa nama seperti: Kabinet Kotak-kotak, Kabinet Satrio Piningit, Kabinet Presiden Ketujuh, dan Kabinet Pasca Reformasi.
 
Begitulah rumpian masyarakat dan rakyat tentang calon-calon menteri bagi kabinet Jokowi-JK. Suka atau tidak, tepat atau tidak, semuanya harus didengar sebagai cerminan sikap yang demokratis. Rakyat berharap Jokowi-JK menerima dan menjaring semua masukan dari masyarakat, kemudian memutuskannya secara tepat.
 
Apa pun itu, serahkanlah sepenuhnya kepada Jokowi-JK. Kita sangat percaya bahwa orang baik akan memilih orang baik. Orang baik memiliki standar,  citarasa dan feeling yang baik pula tentang segala hal yang baik-baik.
 
Batavia, 6 Agustus 2014
ZHM
 
 
 
 



Senin, 04 Agustus 2014

''Newcomer'' DKI

Pipa kosong menghembuskan angin
Kepala kosong menghasilkan kegelapan
--Mathius Claudius, penyair Jerman (1740-1815)


A:  Kenapa ke Jakarta?
B:  Mau cari kerja

A:  Selain itu?

B:  Pengen seperti Jokowi
A:  Maksudnya?

B:  Iya, Jokowi kurang dari dua tahun tinggal di Jakarta, langsung

     jadi Presiden!

A:  ???


DIALOG itu terdengar di antara penumpang kereta api di Stasiun Gambir, Jakarta, saat puncak arus balik mudik Lebaran 2014. Mungkin Anda tersenyum karena ucapan spontan mereka terkesan lugu dan lucu.  Boleh jadi, begitulah gambaran umum kaum pendatang baru (newcomer) ke Ibukota. Dengan harapan tinggi, mereka ingin mengadu nasibnya.
Tahun ini, diperkirakan Jakarta ’kemasukan’ sekitar 70.000 pendatang baru. Jumlah yang cukup besar tentunya. Padahal sudah diingatkan, para pemudik jangan bawa orang baru saat balik. Nyatanya, peringatan itu tak ampuh, dan seperti biasa: mudik 1, balik 10; mudik 2, balik 20; mudik 3, balik 30. Alhasil, setiap habis lebaran, Jakarta penuh kaum urban.

Tak bisa dipungkiri, Jakarta memang masih bak lampu neon yang menarik laron-laron datang dari segala penjuru. Jakarta masih bagaikan gula yang dirubung semut. Karena Jakarta masih menjadi segalanya dibanding kota-kota besar lain di Indonesia. Ibukota ini merupakan sumber uang, ekonomi, politik, budaya, dan gaya hidup.

Siapa yang berhasil menaklukkan Jakarta, berarti dia sukses. Orang nomor satu Indonesia, berkiprah di Jakarta. Orang terkaya Indonesia, juga berbisnis di Jakarta. Artis terkenal Indonesa, pun lebih sering manggung di Jakarta.  Siapa pun orang Indonesia yang ingin berjaya, hampir tak bisa dipisahkan dari Jakarta. Makanya Jakarta pernah bernama ”Jayakarta” yang berarti: kota kemenangan atau kejayaan...

Akan tetapi, urbanisasi telah lama menjadi persoalan besar bagi Jakarta. Di lain sisi, melarang orang-orang dari daerah lain datang ke Jakarta juga rasanya kurang elok. ’’Tidak mungkin kita membuat pagar yang tinggi, lalu menggemboknya, sehingga orang dari desa tidak bisa masuk Jakarta,’’ kata Gubernur Jokowi. Dan, memang, tidak ada undang-undang yang mengatur tentang itu. Kecuali sebatas imbauan.

Selama ini, harus diakui, Pemprov DKI Jakarta telah berjuang mengatasi urbanisasi. Lewat berbagai langkah yang dipandang strategis. Misalnya, merazia para pendatang baru yang tidak memiliki KTP DKI, lalu memulangkan mereka ke daerah asalnya. Namun cara ini tak sebanding mengingat derasnya arus urbanisasi.

Wagub Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) juga melontarkan wacana akan memindahkan kawasan-kawasan pabrik dan industri di beberapa wilayah Jakarta. Soalnya, pabrik-pabrik itu telah menarik kaum pendatang baru dari daerah. Mereka yang rata-rata kaum muda, berpendidikan rendah, mau bekerja walau dengan upah murah.

Yang jadi masalah, mereka tinggal di kawasan-kawasan ilegal di DKI Jakarta. Mereka pun tidak memiliki identitas yang jelas (seperti KTP DKI), juga tidak memenuhi syarat alias melanggar aturan. Mereka menjadi masalah dalam penataan penduduk Jakarta.

’’Kebanyakan mereka tinggal di bantaran kali. Anda tahu kan, bantaran kali adalah daerah terlarang bagi pemukiman dan sudah kita bersihkan. Maka saya akan memangkas akar masalahnya, yaitu memindahkan pabrik-pabrik yang mempekerjakan mereka, ke daerah lain,’’ ungkap Ahok kepada pers.

Sebetulnya, kalau kaum pendatang baru itu memiliki keterampilan dan berani bersaing dalam dunia kerja, tak terlalu masalah. Yang jadi problema besar adalah, kalau mereka itu berpendidikan rendah, tidak memiliki keterampilan kerja, dan juga malas. Mereka pasti akan kalah. Mereka akan gagal menaklukkan Jakarta. Akhirnya, banyak yang jadi gelandangan, pengemis, dan ’sampah masyarakat.’

Dalam konteks itu, Jakarta mungkin SURGA bagi sebagian orang, tetapi menjadi NERAKA bagi para pendatang lainnya. Bukan lagi masalah keadilan atau ketidakadilan yang diberikan oleh pemerintah DKI Jakarta, melainkan soal kemampuan personal warga, khususnya para pendatang baru. Siapa yang mampu akan eksis, yang tidak mampu bakal tersingkir. Ini hukum alam. Di mana pun berlaku.

Kebon Jeruk, 5 Agustus 2014
ZHM

Minggu, 03 Agustus 2014

Meja Kosong PNS

Jika Anda mempunyai pekerjaan yang tidak
disertai hal-hal yang menjengkelkan, berarti
Anda tidak punya pekerjaan
--Malcolm Forbes, pendiri majalah 'Forbes' (1919-1990)


Lebaran sudah. Makan ketupat sudah. Bermaaf-maafan sudah. Pulang kampung sudah. Bahkan rekreasi pun sudah. Jadi, alasan apalagi jika hari ini masih ada pegawai negeri sipil (PNS) yang bolos kerja? Bukankah libur lebaran – dengan dan atas nama ’cuti bersama’ – terbilang cukup panjang? 9 hari lamanya, 26 Juli-3 Agustus 2014.

Namun, seperti sudah jadi tradisi, sidak (inspeksi mendadak) tetap diberlakukan bagi semua PNS tingkat pusat maupun daerah. Menpan, para gubernur, walikota, hingga lurah pun turun ke lapangan memantau bawahannya. Celakanya, selalu ada banyak kursi kosong, ada pegawai yang belum ngantor tanpa alasan yang jelas. Mereka pun dikenai sanksi: dari teguran, surat peringatan, hingga pemecatan.  

Sidak terhadap PNS di hari pertama kerja pasca libur lebaran sebetulnya tidak perlu, jika mereka memiliki kesadaran dan tanggung jawab sebagai pelayan masyarakat. Kita patut mempersoalkannya, terutama kepada PNS-PNS yang mangkir kerja, karena mereka itu digaji dari APBN/D alias uang rakyat. Berbeda dengan para pegawai swasta, digaji bukan dari uang rakyat, jadi punya aturan sendiri dalam bekerja.

Sidak terhadap PNS selama ini juga masih terkesan seremoni belaka. Bukan semacam ’’revolusi mental’’ sehingga mereka menjadi disiplin dan memiliki etos kerja yang baik. Sewaktu ada sidak saja mereka tampak serius bekerja. Setelah sang bos atau atasan pergi dan tak datang lagi, semangat kerja mereka mungkin sudah kendor lagi. Konon ini hampir merata terjadi di lembaga-lembaga birokrasi.

Lebih celaka lagi, tak sedikit PNS di tingkat provinsi yang meski sudah datang ke kantor, tapi di jam-jam kerja mereka malah keluyuran ke mal dan supermarket untuk shoping. Cukup banyak PNS di Pemprov DKI misalnya, yang kena razia Satpol PP, lantaran para pegawai itu sedang belanja di jam-jam kerja. Terhadap mereka itu, patut dipertanyakan: mana tanggung jawab dan pengabdiannya untuk masyarakat?

Jadi, apa gunanya sidak kalau mental-mental para PNS tetap saja ’jalan di tempat’? Sidak hanya akan jadi sandiwara kalau mental para PNS tidak berubah. Kata anak-anak zaman sekarang, tidak ngefek terhadap kinerja para pegawai pemerintah. Sidak hanya jadi kegiatan rutin tahunan tanpa implikasi meningkatkan disiplin serta produktivitas para PNS yang digaji dari uang rakyat.

Dulu, di zaman Orde Baru, guna menjaga disiplin dan tanggung jawab kerja para PNS, dilakukan Waskat alias pengawasan melekat. Para atasan mengawasi langsung bawahannya dalam tugas-tugas kerja sehari-hari. Hasilnya? Hanya sebagian kecil saja PNS yang memiliki kinerja bagus. Lebih banyak yang tetap bersantai-santai, misalnya yang wanita ngerumpi dan yang laki-laki main kartu domino alias gaple. Hingga muncullah istilah sinis bahwa PNS itu adalah ’Pegawai Negeri Santai.’
 
Meski begitu, tidak semua PNS berkinerja rendah dan masih membolos di hari pertama kerja setelah libu lebaran. Sebutlah misalnya polisi, dokter dan juru rawat, mereka sudah lebih awal bekerja. Bahkan tidak sedikit polisi yang bertugas di malam takbiran dan hari lebaran; mereka mengatur lalulintas dan  arus para pemudik. Demikian juga dokter dan perawat, tetap bertugas merawat pasien  di rumah sakit.

Karena itu, hari ini masyarakat berharap sudah mendapat pelayanan terbaik dari para PNS sebagaimana hari-hari biasa, misalnya di kantor kelurahan, kantor pajak, kantor samsat, bank, PLN, dan sebagainya.  Jangan ada lagi PNS di kantor pelayanan publik yang masih ogah-ogahan beraktivitas  atau mejanya kosong melompong....
 
Kebon Jeruk, 4 Agustus 2014
ZHM

Sabtu, 02 Agustus 2014

515 Itu Nyawa!

Hidup yang berharga adalah hidup
yang menghidupkan orang lain
--Albert Einstein, ilmuwan (1879-1955)


515 ORANG MENINGGAL DI PERJALANAN
Begitu judul headline sebuah koran nasional edisi Minggu, 3 Agustus 2014. Mereka yang meninggal itu adalah korban-korban kecelakaan lalulintas selama musim mudik Lebaran tahun ini. Meski bukan mati secara serentak, tapi jumlahnya sangat banyak, bahkan mungkin yang terbesar sepanjang sejarah mudik.

Jika dirinci, ada 2.196 kendaraan yang terlibat tabrakan, meliputi: 2.743 sepeda motor, 435 mobil pribadi, 300 bus, dan 337 mobil angkutan barang. Jumlah korban meninggal di darat 490 orang dan di lautan sebanyak 25 orang. Korban-korban selain meninggal dunia, juga sebanyak 757 orang mengalami luka berat dan sebanyak 2.859 luka ringan.

Mengapa musibah tersebut tidak heboh? Mengapa tidak jadi trending topic di sosmed seperti Twitter atau Facebook? Padahal jika sebuah pesawat jatuh dan menelan korban misalnya 20 orang saja, masyarakat sudah gempar. Begitupun jika misalnya kereta api tabrakan dan menimbulkan korban nyawa 80 penumpang, langsung jadi ’top news’ dan pergunjingan orang se-Indonesia, malah bisa seminggu lamanya.

Boleh jadi, saat ini publik memang sedang disibukkan pada urusan masing-masing. Terutama ya urusan mudik dan Lebaran itu. Meski mereka tetap menyimak berita, tapi tak sefokus hari-hari biasanya. Jumlah korban tewas itu juga merupakan akumulasi dari banyak kejadian terpisah-pisah. Sehingga, tiap-tiap kejadian bukanlah berita besar yang menghebohkan. Alhasil, berita korban mudik kurang menarik perhatian orang.

Bisa jadi pula, masyarakat sedang letih setelah ’’perang komentar’’ selama berlangsungnya Pilpres sebulan penuh. Mereka capek. Mereka ingin istirahat dari perang opini yang nyaris tanpa ujung itu. Mereka lebih memilih diam (sambil tetap memperhatikan lingkungan sekitar) atau bersilaturrahmi dengan keluarga, tetangga, dan teman. Maka boleh jadi mereka kurang memperhatikan para pemudik yang bernasib malang, menjadi korban kecelakaan.

Namun jangan lupa: 515 bukanlah angka belaka, itu nyawa manusia! Jumlah itu juga tidak kecil. Tidak boleh dipandang remeh. Kita harus tetap prihatin, bahkan boleh bersedih, karena ternyata banyak saudara kita yang hendak berlebaran di kampung halaman harus kehilangan nyawa di tengah jalan. Mereka yang sejatinya akan menemui keluarga atau saudara, justru berpisah untuk selama-lamanya, sebelum bertemu muka.  

Hari Raya Idul Fitri yang sejatinya bisa dirayakan dengan penuh sukacita dan kegembiraan, terpaksa harus dialami dengan penuh duka dan linangan air mata. Ada banyak saudara kita yang kehilangan orang-orang yang sangat dicintainya itu, di hari Lebaran. Bayangkan, betapa sedihnya....  Kalau sudah tiada, baru terasa. Bahwa kehadirannya sungguh berharga....  

Karena itu, musim mudik Lebaran tahun ini harus menjadi catatan kritis bagi pemerintah yang memberikan layanan publik. Kualitas layanan yang rendah ditengarai menjadi akar penyebab musibah. Terutama jalanan yang rusak seperti berlubang-lubang dan retak, mengakibatkan banyak kendaraan mengalami kecelakaan. Seperti sudah jadi tradisi tahunan, jalan-jalan terutama di Pulau Jawa baru diperbaiki menjelang Lebaran. Waktunya mepet, sehingga perbaikan belum kelar, arus mudik sudah dimulai.

Proyek perbaikan jalan bagi para pemudik sepertinya tidak terencana dengan matang. Terkesan sebagai proyek dadakan. Dan anehnya, itu terjadi setiap menjelang Lebaran, bahkan sudah berlangsung puluhan tahun lamanya. Makanya, perbaikan jalan jalur mudik itu kerap jadi bahan olok-olokan sebagai ”proyek pembangunan terlama di dunia.”

Namun begitu, tidak fair juga bila musibah itu sepenuhnya ditumpahkan kepada pihak pemerintah. Masyarakat, khususnya para pemudik, juga harus terus-menerus diingatkan tentang kesadaran berlalulintas yang aman dan nyaman, terutama di saat sedang mudik ke kampung. Bertemu orangtua atau saudara di kampung halaman memang penting, tapi menjaga keselamatan nyawa di jalan raya jauh lebih penting. Karena itu, di tahun-tahun mendatang, gerakan ”mudik yang aman dan selamat sampai tujuan” harus digalakkan. Agar korban nyawa bisa dicegah atau diminimalisir.
Sekian. Selamat Lebaran.

Kebon Jeruk, 3 Agustus 2014
ZHM