Bagian terbaik dari hidup seseorang adalah
perbuatan-perbuatan baik dan kasihnya yang
tidak diketahui orang lain
---WILLIAM WORDSWORTH, Penyair Inggris (1770-1850)
SAYA mengenal Ibu Herawati Diah, namun belum tentu beliau mengenal saya. Apalagi
mengenal dekat atau secara pribadi, rasanya ’’jauh panggang dari api.’’ Saya
hanyalah ’anak bawang’ di dalam keluarga besar harian Merdeka. Namun begitu, saya punya pengalaman khusus dengan beliau,
lewat dua kali pertemuan yang cukup mengesankan dan tak mungkin bisa saya lupakan.
Saya
termasuk generasi terakhir wartawan harian Merdeka,
sebelum koran miliknya itu ditangani manajemen Jawa Pos Group hingga kemudian
akhirnya dijual ke pihak lain. Pada masa saya bekerja di Merdeka, Ibu Diah sudah tidak lagi ’ngantor’ sehingga hampir tak
pernah lagi bertatap muka dengan karyawan, termasuk saya. Jadi, sangat mungkin
beliau tidak mengenal saya secara dekat/pribadi.
Sewaktu
mengawali karier sebagai wartawan Merdeka,
1993, koran bersejarah ini masih sepenuhnya dikelola oleh perusahaan milik keluarga
BM Diah. Kala itu bidang liputan saya adalah Kesra, dengan pos utama di
Departemen Agama. Kantor redaksi dan percetakannya di Jalan AM Sangaji 11,
Petojo, Jakarta Pusat. Sebuah bangunan tua namun hawanya cukup sejuk, dan
terletak di pusat kota yang strategis.
Selain
Merdeka, pada waktu itu ada pula
koran lain milik BM Diah yang masih terbit. Yakni koran berbahasa Inggris, Indonesian Observer. Sedangkan majalah Topik dan majalah Keluarga, sudah lama mati, dan tentunya saya tidak pernah mengalaminya.
Sayangnya,
kala itu oplah Merdeka sudah merosot
drastis, hanya sekitar 3.000 eksemplar per hari, sehingga tidak menonjol di
pasar koran. Omzet iklannya pun relatif sangat kecil. Meski dalam kondisi
seperti itu, kami masih merasa bangga menjadi wartawan koran bersejarah ini,
sehingga tetap memiliki semangat bekerja.
Kejayaan
Merdeka sebagai koran perjuangan yang
legendaris, memang tinggal kenangan. Konon, konflik manajemenlah – yang kerap
terjadi – yang membuat koran Merdeka
seakan ’’hidup enggan mati tak mau.’’ Bahkan pada sekitar pertengahan 1995,
koran ini nyaris colaps dan hampir tak
mampu membayar gaji wartawan serta karyawannya.
Singkat
cerita, pada sekitar 1995, BM Diah sebagai pemilik Merdeka memutuskan untuk menjalin kerjasama dengan Dahlan Iskan
sebagai pemilik Jawa Pos di Surabaya. Pak Diah yakin Dahlan mampu
membangkitkan kembali koran yang hampir sekarat itu. Setelah negosiasi, akhirnya disepakati
koran Merdeka dikelola oleh manajemen
Jawa Pos Group.
Hampir
seluruh wartawan dan karyawan lama Merdeka
tetap bekerja seperti biasa, kecuali di level direksi dan manajemen, ada beberapa
orang Jawa Pos Group yang masuk. Kantor redaksi dan percetakannya pun pindah ke
kawasan Rawabokor, Tangerang, atau dekat Bandara Soekarno-Hatta.
Harus
diakui, di bawah manajemen Jawa Pos Group, yang dipimpin Pak Margiono, harian Merdeka membaik dan mulai bangkit.
Oplahnya yang semula hanya 3.000, kemudian melonjak menjadi 15.000, lantas jadi
25.000. Koran ini pun mendapat momentum besar (1997-1998) menjelang dan saat
jatuhnya Presiden Soeharto atau Rezim Orde Baru. Oplahnya melompat tajam hingga
80.000 bahkan 100.000 per hari.
Apa
resepnya?
Tentu
saja karena pada saat itu koran Merdeka
tampil beda: sangat berani. Berita-beritanya, terutama HL-nya di halaman depan,
sangat menonjol saat dijajakan di simpang jalan. Pilihan kata-katanya pun
tajam, sangat provokatif, tak jarang membuat marah pejabat pemerintah. Hanya Merdeka yang berani begitu, sedangkan
koran-koran lain masih tampil konvensional.
Saya
merasa bangga, karena termasuk orang yang mengalami dan ikut terlibat dalam
proses tersebut. Mulanya saya menjadi Redaktur Hiburan, kemudian Redaktur
Metropolitan, dan akhirnya diangkat sebagai Redaktur Halaman Polkam alias
Halaman 1. Termasuk saat Pak Tribuana Said (sebagai Pemimpin Redaksi) diperiksa
polisi terkait kasus berita utama berjudul ’’Ini Dia Dalang Kerusuhan 27 Juli.’’
Hampir saja saya turut diperiksa polisi. Syukurlah, akhirnya semua persoalan
ditanggung oleh Pak Tri sebagai Pemred.
Nah,
suatu siang, saya dan sejumlah karyawan diundang makan siang oleh jajaran
Direksi. Hari dan tanggalnya saya sudah lupa. Tempatnya di sebuah restoran di
kawasan SCBD Jalan Soedirman. Tidak ada pemberitahuan, acara apa yang bakal
digelar di situ. Yang saya tahu, kami hanya diminta datang. Dengan menumpang
mobil teman, akhirnya kami berangkat ke tempat itu.
Saat
tiba di tempat tersebut, sudah ada Pak Dahlan Iskan, Pak Lukman Setiawan, Ibu
Herawati Diah, dan Pak Margiono. Beliau-beliau adalah para pemegang saham
perusahaan yang menerbitkan harian Merdeka.
Usai makan bersama, kami kumpul dalam sebuah ruangan yang tak terlalu besar.
Pak
Dahlan kemudian tampil ke depan menyampaikan sambutannya. Beliau memaparkan
tingkat kemajuan Merdeka di bawah manajemen Jawa Pos Group. Beliau juga mengatakan jajaran
Direksi cukup puas dengan kinerja manajemen dan memberikan penghargaan kepada
sejumlah karyawan yang dianggap bekerja dengan baik alias memajukan perusahaan.
Salah satunya disebut nama saya – mewakili bidang redaksi.
Sejumlah
karyawan teladan mendapat tanda penghargaan berupa plakat. Saya menerima
langsung dari Ibu Diah. Inilah kali pertama saya menyalami bahkan mencium
tangan beliau. Laksana seorang anak mencium tangan ibu kandungnya. Khusyu dan terharu.
Sambil tersenyum, beliau menyerahkan plakat itu. Ketika itu Ibu Diah masih
tampak gagah.
’’Selamat
ya Dik,’’ katanya dengan wajah cerah.
’’Terimakasih,
Ibu,’’ balas saya sambil setengah membungkukkan badan.
Plakat
tersebut cukup berat, dibungkus dalam kotak kardus tebal berbalut beludru merah
menyala. Plakat terbuat dari batu marmer warna krem yang kalimat penghargaannya
(dari PT Merdeka Press) dipahat rapi, ada lambang Merdeka, juga tertera tanda tangan Ibu Diah dan Pak Dahlan.
Plakat
itu sampai kini masih saya pajang di lemari ruang tamu di rumah saya, sebagai
kenangan dan kebanggaan. Bahkan saya juga masih menyimpan foto kenangan saat
saya menjabat tangan Ibu Diah.
Rupanya,
kerjasama Ibu Diah dengan Dahlan Iskan tidak langgeng alias kandas di tengah
jalan. Pada April 1999, pengelolaan harian Merdeka
tidak lagi di bawah manajemen Jawa Pos Group. Kongsi bisnis media ini pecah.
Konon, gara-garanya pihak Ibu Diah ingin mengubah komposisi kepemilikan saham
dan mengembalikan manajemen ke pihaknya. Pihak Jawa Pos menolak, dan karena
tidak ada kesepakatan, akhirnya mereka melepas Merdeka dan kemudian menerbitkan koran baru bernama Rakyat Merdeka.
Padahal
ketika itu koran Merdeka sedang maju
pesat. Di era reformasi itu, oplahnya tembus sekitar 180.000 per hari. Ini
merupakan yang terbesar untuk koran di Jakarta. Hanya dengan jualan koran (belum termasuk omzet
iklan), koran ini sudah meraup untung besar. Dengan tingkat kemajuan seperti
itu, sebetulnya Ibu Diah tinggal ’’duduk manis’’ saja sudah aman. Tidak perlu
lagi mengubah komposisi saham, apalagi berniat mengambil alih manajemen.
Bukankah tidak gampang mengelola surat kabar? Dari mana pula mendapatkan SDM
yang andal?
Yah,
barangkali karena kemajuan pesat itulah yang membuat keluarga Ibu Diah tergiur
ingin kembali menguasai dan mengelola Merdeka.
Bisnis
boleh pecah, namun silaturrahmi tidak boleh putus. Karena itu, siang hari 22
April 1999, kami beramai-ramai berkunjung ke rumah Ibu Diah di kawasan Kuningan,
Jakarta Selatan. Para pimpinan dan sebagian besar karyawan Merdeka datang untuk pamitan.
Saya pun tak mau ketinggalan, sebab inilah kesempatan terakhir untuk
bertemu Ibu Diah. Kami diterima di ruang tamunya yang besar. Satu per satu
pimpinan dan karyawan menemui Ibu Diah.
Tibalah
giliran saya. Saya menyalami dan mencium tangan Ibu Diah. Ini kali kedua saya bertemu
langsung dan mencium tangan beliau. Ada perasaan sedih, seolah saya akan
pamitan untuk pergi jauh dan tak kembali lagi. Karena itu saya mencium tangan
beliau agak lama. Tanpa sadar airmata saya menetes. Tiba-tiba Ibu Diah
membisikkan sesuatu ke telinga saya, ’’Kamu masih muda. Perjalanan masih
panjang. Teruslah bekerja, di mana pun medianya, sewaktu-waktu kita masih bisa
jumpa.’’
’’Baik,
Ibu. Terimakasih,’’ kata saya pelan, mendapat nasihat bijak dari seorang ibu
yang sudah makan asam garam dalam dunia pers Indonesia.
Itulah
perjumpaan terakhir saya dengan Ibu Diah. Kata-kata yang beliau bisikkan
menguatkan mental saya, agar terus bekerja dengan baik, jangan terlalu terpengaruh
dengan faktor eksternal misalnya konflik manajemen yang kerap terjadi dalam
industri pers di Indonesia.
Meski
hanya dua kali bertemu langsung dan mencium tangan Ibu Diah, saya masih bisa
mengenal beliau dengan ’’cara lain.’’ Di rumah, saya memiliki sebuah
perpustakaan pribadi dengan koleksi ribuan buku. Di antara koleksi itu, ada banyak
buku jurnalistik, salah satunya adalah buku yang berjudul Kembara Tiada Berakhir (Penerbit Yayasan Keluarga, 1993). Ini adalah
buku memoar Ibu Diah, yang tentu saja
berisi tentang sepak terjang dan pengalaman beliau menjadi wartawan.
Buku
inilah yang saya baca, untuk lebih mengenal sosok Ibu Diah. Banyak hal menarik
dan pelajaran jurnalistik dari buku yang disunting oleh Debra H Yatim ini.
Meski Ibu Diah adalah wartawan perempuan (wartawati), namun pengalaman
jurnalistiknya dari zaman ke zaman bersifat umum yang juga bisa saya pelajari.
Saya
ingin mengutip pandangan Ibu Diah mengenai jurnalistik atau profesi wartawan yang dipaparkan dalam memoarnya itu.
Pandangannya itu, menurut saya, juga menjadi visi-misinya sebagai wartawati
sejati Indonesia, yang kaya dengan pengalaman, dari zaman ke zaman.
Menurut
beliau, wartawan – apa pun bidang liputannya – harus bekerja dengan hati
nuraninya.
’’Jurnalisme
menuntut kecintaan pada pekerjaan, tetapi juga adalah tugas yang membutuhkan
pengindahan terhadap hati nurani. Bagaimana kita dapat informasikan
perkembangan di dalam masyarakat, jika tidak mengindahkan hati nurani? Inilah yang
berulangkali saya sadari ketika melakukan sekian lawatan keliling Nusantara
dalam rombongan bersama Presiden Sukarno. Keterbelakangan sekian daerah di
Indonesia mengharuskan kita membuat reportase menggunakan hati nurani,’’
katanya.(hlm 124)
Selanjutnya
beliau mengatakan, ’’Hati nurani adalah penyuluh dari pekerjaan dan sukses
wartawan, justru karena inti dari profesi ini adalah pengabdian kepada
kepentingan umum.’’ Ibu Diah mengakui, sebagai perempuan, dirinya lebih banyak
bertindak dengan hati nurani. Karenanya, profesi wartawan sangat cocok dan
menjadi pilihan hidupnya.
Ibu
Diah tentu sangat beruntung. Secara kebetulan suaminya, BM Diah, adalah seorang
wartawan kawakan yang terkenal dan juga diplomat andal. Juga sebagai owner beberapa surat kabar dan majalah. Sehingga,
karier beliau sebagai wartawati terbentang sangat lebar atau terwadahi dengan bagus.
Tak heran bila karier jurnalistiknya mencapai puncak tertinggi, bahkan
merupakan jalan hidupnya yang dicintainya hingga saat ini.
’’Saya
mengawali karier kewartawanan saya ketika masih sedikit perempuan di dalam
pers. Hal itu tidak pernah jadi kendala, malah jadi tantangan. Saya belajar
teliti melakukan observasi, dan bagaimana mematuhi deadline. Sebagai imbalan, saya pun diperlakukan dengan hormat oleh
rekan-rekan pria sesama wartawan. Ini membanggakan.’’ (hlmn 127).
Ya,
Indonesia juga patut berbangga memiliki tokoh pers dari kalangan perempuan
sekaliber Ibu Herawati Diah. Beliau pernah melakukan pengabdian yang panjang lewat
dunia jurnalistik, dan hingga hari tuanya masih mempunyai kepedulian yang sama.
’’Kelak saya terjun dalam bidang lain. Namun, dasar-dasar dari profesionalisme
yang saya serap dalam karier saya sebagai wartawanlah yang ternyata masih
berguna dalam kehidupan saya sampai sekarang,’’ ungkap Ibu Diah dalam memoarnya
itu.
Terimakasih
Ibu Diah, telah memberi pelajaran berharga dan kesempatan saya belajar
jurnalistik di harian Merdeka. Selamat ulang tahun ke-99. Semoga panjang
umur. Semoga Allah SWT senantiasa melindungi Ibu di dunia dan akhirat.
Amin.***
*Tulisan ini telah dimuat dalam buku ’’99 Tahun
Herawati Diah Pejuang Pers Indonesia’’ (Para Syndicat, 2016)