Minggu, 26 Maret 2017

Menimbang Ridwan Kamil (1)

Politikus berpikir tentang pemilihan berikutnya,
negarawan berpikir tentang generasi mendatang
---JAMES F CLARKE, Pendeta Jerman, 1810-1888


SEANDAINYA Pilkada Jawa Barat digelar hari ini, maka Ridwan Kamil-lah pemenangnya. Ia layak dan pantas menjadi Gubernur, mengalahkan kandidat-kandidat lain yakni Deddy Mizwar, Dede Yusuf, dan Dedi Mulyadi.

Begitulah hasil exit-poll yang dilakukan beberapa lembaga survei, salah satunya Indo Barometer. Ridwan Kamil (RK) unggul telak dibanding tiga kandidat lainnya.

Sayang, Pilkada Jabar baru akan berlangsung pada tahun depan, 2018. Sehingga, segala kemungkinan masih akan terjadi. Peta politik di tanah Sunda itu masih bakal berubah-ubah dan bisa jadi sangat dinamis.

Ya, nama RK sejak lama memang popular dan dianggap yang paling punya elektabilitas tinggi untuk jadi orang nomor satu di Jabar. Karena itu, Partai Nasdem pimpinan Surya Paloh langsung bergerak cepat, mendeklarasikan RK sebagai bakal Cagubnya, pekan lalu. RK pun setuju atas dukungan itu.

Memang unik. Nasdem cuma punya 5 kursi tapi sudah berani mengusung RK. Tentu saja partai ini nanti harus berkoalisi dengan partai-partai lain. Nasdem sepertinya ingin membangun imej sebagai parpol yang leading membidik tokoh hebat sebagai calon kepala daerah, seperti halnya di DKI Jakarta ia yang pertama mendukung Ahok.

Sementara, Partai Gerindra yang sebelumnya mendukung RK sebagai Walikota Bandung, kemungkinan tidak akan menjagokannya lagi. Sepertinya parpol pimpinan Prabowo ini kecewa dan tak mau berkoalasi dengan Nasdem, yang notabene pendukung berat Presiden Jokowi.

Demikian pula PKS, yang pada Pilkada 2013 bersama Gerindra mendukung RK sebagai Walikota Bandung, tak akan lagi mendukung RK. PKS berencana mencalonkan Netty Prasetiyani, istri Gubernur Ahmad Heryawan (Aher)

Akankah RK berhasil meraih jabatan Gubernur Jabar pada 2018? Mari kita menimbang-nimbang.

Dari segi skill, kemampuan RK tak perlu diragukan lagi. Ia boleh dibilang sukses membangun kota Bandung. Banyak perubahan fisik maupun mentalitas masyarakat yang dilakukan sang arsitek ini. Penataan birokrasi di kota kembang itu juga terbilang bagus di bawah kepemimpinan RK. Sayang, kalau kinerjanya hanya diabdikan untuk satu kota, lebih baik untuk Provinsi Jabar.

Bahkan hampir saja RK ikut Pilkada DKI Jakarta 2017, yang berarti harus bersaing dengan Ahok. Namun, niatan itu berhasil dicegah Jokowi, dengan alasan para pemimpin hebat jangan numpuk di Jakarta. Lebih baik tersebar di banyak daerah, dalam hal ini RK lebih bermanfaat di Bandung saja, atau memimpin Jawa Barat saja.

Karier politik RK memang masih amat panjang. Kini ia baru berusia 46 tahun. Tapi, dalam usia mudanya, ia telah menunjukkan sebagai pemimpin yang cemerlang dan punya masa depan yang cerah. Terutama dari kinerja dan prestasi yang diukirnya.   

RK sudah punya modal yang sangat kuat dari segi prestasi. Lantas, bagaimana dengan dukungan politik dari partai-partai? Menyusul Nasdem, kemungkinan besar PDIP juga akan mendukungnya. Bahkan partai-partai yang berkolasi di pemerintahan Jokowi diprediksi bakal ikut mendukung pula, seperti: PKB, Hanura, dan PPP. Kecuali Golkar, karena punya calon yakni Dedy Mulyadi.

Karena itulah, sepertinya RK akan melenggang bebas meraih kursi Jabar 1. Meski mungkin ada pertarungan dengan beberapa kandidat lain, kans RK tetaplah yang terbesar. Asalkan, selama menjelang dan mendekati Pilkada 2018, ia bisa menjaga kualitas dirinya: prestasinya dan reputasinya.

Jangan lupa, goncangan politik dari kubu lawan begitu mudah muncul dan ada pula yang mengipas-ngipasinya. Contohnya saja, sehari setelah RK menerima dukungan dari Partai Nasdem, ia sudah mendapat serangan – entah dari mana asal-muasalnya – dengan tuduhan Syiah. Suka atau tidak, tuduhan ini bersifat negatif.

Terdengar pula suara nyinyir bahwa RK nafsu kekuasaan dengan mengincar kursi gubernur Jabar, sehingga rela menerima dukungan Nasdem, padahal Pilkada masih setahun lagi. Nasdem sendiri beralasan, pemimpin Jabar 1 harus jauh-jauh hari disiapkan, agar pada saatnya tiba tidak ’gelagapan’ alias asal pilih.

Dibanding kandidat lain, reputasi RK pun tetap unggul. Dengan Deddy Mizwar, misalnya. Meski Sang Nagabonar kini menjadi Wagub, tak terlihat prestasinya. Orang malah sering mengejek bahwa sang Wagub terlalu sibuk ’jualan sosis’ alias menjadi bintang iklan produk makanan tersebut.

Kemudian dibanding dengan Dedy Mulyadi, RK juga lebih diterima oleh masyarakat Jawa Barat. Dedy agak kontroversial lantaran kerap melakukan aksi budaya yang justru dianggap melanggar kearifan lokal.

Lantas, bagaimana dibanding Dede Yusuf?  Dede memang popular, tapi bukankah ia pernah kalah dalam Pilkada Jabar 2013? Walaupun Dede juga pernah punya pengalaman sebagai Wagub-nya Aher, namun kinerjanya juga tidak tampak. RK justru lebih prospektif, karenanya Dede pun bukan lawannya yang berat. Alhasil, sepertinya kursi Gubernur Jabar 2018 jatuh ke tangan RK.

Bila RK sudah menjadi Gubernur Jabar, akankah ia juga tergiur dengan kursi Wapres atau bahkan Presiden 2019? Bagaimana peluangnya? (Bersambung)  

Batavia, 26 Maret 2017.


Kamis, 23 Maret 2017

Menanti Sepeda Jokowi

Sebuah hari tanpa tertawa
adalah hari yang tidak berguna
---CHARLIE CHAPLIN, komedian Inggris, 1889-1977


MENGAMATI kegiatan Presiden Jokowi dari waktu ke waktu, selalu saja ada yang menarik. Salah satunya ini: kuis berhadiah sepeda. Bahkan kuis ini seakan menjadi style-nya Jokowi.

Ya, belakangan ini, entah usulan dari siapa atau idenya sendiri, Jokowi selalu menggelar kuis ketika menjalani tugas-tugasnya di Istana Negara maupun saat kunjungan kerjanya ke berbagai tempat di Tanah Air. Ketika berdialog dengan audiens, tak lupa Jokowi menggelar kuis.

Peserta kuis itu datang dari berbagai kelangan, tergantung orang-orang yang berkumpul dan bertemu dengannya. Bisa kalangan santri, pelajar, ibu-ibu, nelayan, maupun artis. Di sela atau sesudah pidatonya, Jokowi kerap membuat kuis dengan beberapa orang peserta yang secara bergiliran diminta maju ke depan. Jokowi mengajukan pertanyaan, siapa yang semua jawabannya benar langsung mendapat hadiah sepeda.

Nah, yang menarik, bahkan mengundang tawa terpingkal-pingkal, adalah jawaban peserta sekaligus tingkah lakunya. Jawabannya ngawur, tingkahnya pun lucu di depan Presiden itu.

Misalnya, saat Jokowi menghadiri ultah pondok pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, 2016. Jokowi bertanya kepada seorang santri: ’’Coba sebutkan tiga nama menteri.’’

Si santri dengan pede-nya menjawab: Ibu Mega, Ahok, dan Prabowo. Kontan saja para hadirin tertawa ngakak lantaran jawaban itu ngawur. Walau jawabannya salah, si santri tetap mendapatkan sepeda. Ia tampak senang dan bangga.

Di tempat lain, Jokowi juga bertemu dan berdialog dengan para nelayan. Di situ Jokowi pun menggelar kuis. Kepada salah seorang peserta, Jokowi minta disebutkan sepuluh nama ikan. Nelayan itu menyebut sejumlah nama ikan salah satunya ikan Kerapu.

Yang bikin ketawa, ia pun menyebut nama ikan Indosiar. Lho, memangnya ada ikan tersebut? Barangkali ia sering melihat tayangan sebuah stasiun TV yang berlogo ikan terbang…hehehe. Si nelayan juga menyebut nama ikan Kakatua. Orang-orang pun langsung ngakak, karena itu bukanlah nama ikan, melainkan nama burung. Meski begitu, ia tetap mendapat sepeda.

Yang paling dan teramat lucu, adalah ketika Jokowi menggelar kuis di sebuah panti asuhan di Kemayoran, Jakarta Pusat. Salah seorang peserta murid sekolah dasar. Si murid diminta menyebutkan lima nama ikan. Si murid kemudian menyebut ikan lele, ikan teri…. dan ikan Ko***ol (seharusnya ikan Tongkol).

Spontan orang-orang tertawa ngakak dan terpingkal-pingkal. Jokowi pun tersipu malu mendengarnya. Rupanya si murid SD itu sangat grogi di depan Presiden sehingga sampai dua kali salah menyebut nama ikan itu seperti menyebut alat kelamin laki-laki...hahaha. Video kuis ini menjadi viral di media sosial.

Saat bertemu para artis penyanyi dan pemusik di Istana, menyambut Hari Musik Nasional, Jokowi pun menggelar kuis berhadiah sepeda. Beberapa artis yang mendapatkan sepeda di antaranya: Ita Purnamasari, Andre Hehanusa, Raisa Adriana, dan personel Bimbo. Seperti halnya anak-anak, mereka pun tampak senang dan bangga mendapatkan hadiah berupa sepeda.

Entah dari mana biaya untuk menyediakan sepeda itu. Dari dana pemerintah ataukah uang pribadi Jokowi? Menurut Sekneg, itu sudah dianggarkan artinya dari APBN. Untuk acara yang dihadiri 500 orang, biasanya disediakan 10-15 unit sepeda. Sedangkan yang dihadiri kurang dari 500 orang, hanya disediakan 5 unit sepeda.

Harus diakui, kuis-kuis yang digelar Jokowi itu merupakan bentuk  komunikasi terbaru dan segar antara Presiden dengan rakyatnya. Cukup kreatif sebagai daya tarik peserta. Agar mereka tidak tegang, bosan dan ngantuk, sebagaimana terjadi selama ini. Jokowi membuat terobosan agar kegiatan dan kunjungan-kunjungan kerja Presiden menarik perhatian rakyat.

Kuis Jokowi itu memang bukan sekadar permainan belaka. Biasanya Jokowi juga menyelipkan pesan-pesan kebangsaan misalnya tentang perlunya menjaga kesatuan NKRI, menyadari betapa kayanya bumi Indonesia, dan pentingnya bersikap optimis dalam menghadapi masa depan.

Lewat kuis itu, Jokowi juga kian memperlihatkan sebagai pemimpin yang merakyat. Ia pun hendak mengingatkan, meski kehidupan bangsa dan negara sedang sulit, namun rakyat jangan sampai kehilangan rasa gembira dan bahagia. Salah satunya dengan cara bermain kuis itu.

Sepeda sebagai hadiahnya, juga bukanlah barang mewah. Hampir semua orang mampu membelinya. Dan, sepeda yang dihadiahkan itu juga bukanlah sepeda yang mahal. Sepeda biasa. Tapi terasa menjadi luar biasa, bahkan menjadi kebanggaan bagi yang dapat, karena ada tulisan khusus: ’Hadiah dari Presiden Jokowi.’

Dengarlah kata penyanyi cantik Raisa Adriana yang mendapat sepeda itu.  ’’Guys…Aku baru aja selesai ketemu Bapak Presiden Joko Widodo untuk Hari Musik Nasional. Dan guess what? Aku dapat sepeda hadiah dari Presiden Jokowi,’’ tulis Raisa di akun twitter-nya.

Raisa saja bahagia dan bangga mendapat hadiah sepeda dari orang nomor satu di negeri ini. Apalagi anak-anak di daerah, pasti amat menantikan sepeda dari Jokowi. Siapa mau? Bersiaplah ikut kuis-kuis Jokowi berikutnya.*


Batavia, 20 Maret 2017

Sabtu, 18 Maret 2017

Ulama Langka, KH Hasyim Muzadi

Kalau sudah tiada
baru terasa
bahwa kehadirannya
sungguh berharga
---"Kehilangan'' Rhoma Irama



BILA seorang ulama meninggal dunia, belum tentu 10 atau 20 tahun mendatang ada penggantinya. Bahkan 50 tahun pun mungkin belum ada  yang sama dengannya. Ibarat kematian obor, suasana menjadi gelap. Karena itu, kita akan merasa sangat kehilangan bila ada ulama wafat. Begitulah yang terasa ketika KH Masyim Muzadi berpulang ke ramatullah pada Kamis 16 Maret 2017. Indonesia telah kehilangan salah seorang putra terbaiknya.

Harus diakui, almarhum bukanlah ulama biasa, dalam artian ia memiliki kadar keilmuan yang tinggi dan ketokohan yang teruji. Sifat toleransinya bukan hanya terhadap sesama umat dan tokoh Islam yang berbeda mazhab, tapi juga terhadap para pemuka dan penganut agama lainnya. Tak heran bila beliau mendapat julukan misalnya ’’Bapak Kebhinekaan’’ dan ’’Bapak Toleransi Indonesia.’’

Tak bisa dibantah, semasa hidupnya KH Hasyim Muzadi memang dikenal sebagai tokoh lintas agama. Beliau yang pernah memimpin organisasi Islam terbesar di Indonesia, PBNU (Pengurus Besar Nahdatul Ulama), punya pergaulan yang luas dengan tokoh agama Kristen, Budha, Konghuchu, dan Hindu. Berbagai forum internasional mengenai kerukunan antarumat beragama pernah dihadirinya.

Semasa memimpin NU, beliau tetap menjalin komunikasi dengan PP Muhammadiyah yang kala itu dipimpin Dien Syamsuddin. Padahal kita tahu, NU dan Muhammadiyah cenderung berbeda dan selalu ’tegang’ dalam urusan khilafiyah misalnya tentang penetapan awal Ramadhan atau masalah tahlilan dan doa qunut dalam sholat subuh. Kiayi Khasyim bisa meredakan ketegangan itu. Taka da keributan di kalangan umat Islam.

Banyak orang juga mungkin masih ingat, tatkala beliau pernah menyebarkan ceramah atau pidatonya mengenai toleransi antarpemeluk agama di negeri ini. Sebagian orang mengeluh tidak ada tolerasi di Indonesia. Namun, beliau membantah dengan membeberkan fakta-fakta. Kata beliau, dibanding dengan negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah, kehidupan beragama di Indonesia justru lebih baik. Di sini memang kadang terjadi konflik agama, tapi tak separah misalnya di Irak, Afghanistan, Turkey, bahkan di Arab Saudi.

Menyikapi beberapa perbedaan paham di kalangan umat Islam Indonesia, KH Hasyim Muzadi dikenal sangat toleran. Beliau bukanlah tipe ulama yang gampang memvonis orang lain dengan tuduhan kafir atau salah. Beliau amat bijak dan demokrat. Konon beliau pernah mengritik wali murid yang ’’mengkofar-kafirkan’’ orang lain yang tak sepaham. ’’Baru jadi wali murid saja sudah berani bilang orang lain kafir. Wali Songo, yang wali sungguhan, tidak pernah menuding orang lain seperti itu,’’ kata almarhum semasa hidupnya.

Tentu saja, kita memang butuh ulama-ulama seperti beliau, yang lebih mengutamakan persatuan bangsa bila terjadi perbedaan di antara umat. Ceramah-ceramah beliau sejuk dan merangkul. Tak pernah ada sinisme atau kebencian. Tak ada pula provokasi atau penghasutan. Sungguh jauh dari sifat-sifat buruk semacam itu. Yang ada hanyalah ketenangan dan kedamaian.

Semasa hidupnya, KH Hasyim Muzadi juga dikenal sebagai ulama yang menjaga keseimbangan dengan pemerintah. Beliau tunjukkan bahwa ulama dan umara bisa seiring sejalan dalam membangun bangsa. Karenanya, beliau pernah diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan sebelumnya juga pernah menjadi calon wapres mendampingi Capres Megawati Soekarnoputri pada Pilpres 2004.

Pilihan dan sikap politik almarhum tidak mengubah konsistensinya dalam kehidupan keagamaan. Ia memang bisa mewakili sosok ulama yang memperlihatkan betapa Islam bisa menjadi agama yang rahmatan lil alamin bukan hanya di Indonesia, tapi juga di dunia internasional. Langka kita menemukan ulama seperti itu, apalagi dalam konteks sekarang ini, lebih banyak muncul ulama yang cenderung suka menimbulkan kegaduhan.

Kita merindukan ulama setaraf dan sekualitas KH Hasyim Muzadi. Ilmunya mendalam, pergaulannya luas, menghargai perbedaan, dan sangat tahu maqom-nya sebagai ulama. Meski pernah jadi cawapres, tapi beliau tak pernah mencapuradukkan agama dan politik, atau mempolitisasi agama.  Tak heran bila beliau semasa hidupnya menjadi panutan bagi banyak orang termasuk para tokoh agama. Ucapan dan nasihatnya didengar, perilaku santunnya diikuti, dan keberadaannya dihormati.

Tidak diragukan lagi, tokoh besar seperti KH Hasyim Muzadi pasti disukai dan dicintai banyak orang, bukan hanya santrinya dari kalangan nahdiyin. Publik amat setia dan seakan tidak rela kehilangan beliau. Buktinya, ribuan orang menyemut menghadiri pemakaman sang kiai santun itu. Dengan doa-doa dan juga linangan airmata, ribuan umat mengantarkan sang kiai ke tempat peristirahatan terakhirnya. Selamat jalan KH Hasyim Muzadi.***

Batavia, 17 Maret 2017

       

Rabu, 15 Maret 2017

Sampeyan Kangen Orba?

Dalam politik, kebencian bersama
hampir selalu menjadi dasar persahabatan
---ALEXE DE TOCQUEVILLE, Politisi Prancis


PIYE KABARE? PENAK ZAMANKU TOH? Banyak orang mungkin sudah sering membaca bahkan hafal dengan kalimat tersebut. Ya, tak salah lagi, itu adalah kata-kata yang tertulis pada meme Soeharto. Kata-kata itu seolah diucapkan Soeharto. Kurang lebih artinya: ’’Apa kabarmu? Enakan hidup di zamanku toh?’’ Meme tersebut beredar luas di media sosial, dan sejak lama muncul di belakang badan mobil truk serta tembok-tembok pinggiran jalan.

Siapa yang membuat? Tak jelas benar. Mungkin anak- anak muda yang iseng, mungkin pula politisi yang hendak bikin sensasi. Yang pasti, meme tersebut ditafsirkan sebagai ungkapan bahwa banyak orang (rakyat?) kini merindukan hidup seperti zaman Orde Baru dulu, tatkala Soeharto menjadi Presiden selama hampir 32 tahun lamanya.  Konon mereka kini merasakan hidup lebih sulit dibanding zaman Orba dulu.  Sekarang dikatakan apa-apa serba susah: pekerjaan susah, cari duit susah, keamanan susah, dan sebagainya.

Benarkah hidup di zaman Orba lebih enak daripada zaman sekarang? 

Eit, siapa bilang?

Barangkali, itu cuma dialami oleh para pejabat yang pernah dekat dan sehaluan politik dengan Soeharto. Mereka mengatakan begitu, hanya ingin bernostalgia tentang kedigdayaan Dinasti Cendana. Bila perlu, mereka ingin membangkitkan lagi pola-pola perpolitikan sekaligus kehidupan ala Rezim Soeharto. Tak heran bila mereka mendapat serangan politik dari lawan-lawannya, dan dinilai sebagai upaya menghidupkan kembali roh politik Orba.

Realitasnya, memang masih banyak politisi pro Soeharto yang kini juga ’bermain’ di tingkat elit maupun grasroot. Mereka ada di partai politik dan berbagai lapisan sosial. Kapan saja, bila ada kesempatan, mereka memunculkan diri dan mengibarkan bendera Orba. Tegasnya, Orba belum sepenuhnya mati, walau Soeharto sudah lama tiada dan telah direduksi oleh gerakan reformasi. Anasir Orba masih ada di mana-mana, menyusup ke mana-mana, ibarat musuh dalam selimut.

Apalagi salah seorang dari Dinasti Soeharto, kini kembali aktif di ranah politik. Meski tidak lewat partai politik  secara resmi, tampilnya Tommy Soeharto di berbagai kesempatan belakangan ini mengindikasikan bakal come back-nya Orde Baru. Seakan sang pangeran Cendana itu hendak mengobati kekangenan banyak orang yang ingin hidup seperti zaman Orde Baru.

Bagi kalangan muda, yang tak pernah mengalami kehidupan di masa Orba, mungkin saja tergiur oleh godaan itu. Atau, bagi para politisi oportunistik, akan menyambutnya dengan senyum dan gembira. Padahal, faktanya, kehidupan sosial-politik di zaman Orba tidak lebih baik daripada sekarang. Dalam banyak hal, mungkin sekali jauh lebih buruk ketimbang masa kini.
Kalau Anda merasa kangen terhadap kehidupan zaman Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto, berarti Anda sedang menginginkan kembalinya suatu masa di mana:
·       Seorang Presiden berkuasa dengan sangat otoriter
·       Tak ada demokrasi karena partai politik dibatasi hanya tiga saja
·       Mereka yang kritis terhadap pemerintah akan dibungkam
·       Mahasiswa yang kritis akan ditangkapi dan diadili
·       Aktivis pro demokrasi yang berani akan diculik dan tak ketahuan lagi rimbanya
·       Ulama-ulama yang kritis pun akan diincar dan terancam ditangkapi
·       Keadilan hukum hanya milik pejabat tinggi dan orang-orang berduit
·       Pejabat yang korupsi dibiarkan selama itu memberi keuntungan bagi penguasa
·       Tanah rakyat direbut penguasa tanpa ganti rugi yang kayak
·       Pejabat hidup mewah, rakyat kelaparan dan terpaksa makan bangkai kucingnya
·       Dan banyak lagi kenyataan pahit lainnya yang tak muat bila ditampilkan di sini

Apakah Anda mau kembali hidup di zaman seperti itu? Hidup dalam ketidakbebasan, meski negara sudah lama merdeka.  Hidup dalam ketakutan, walau aparat keamanan siaga di mana-mana. Hidup saling curiga, karena tidak ada keterbukaan dalam banyak hal. Itulah hidup di zaman Orba!

Karena itu, bila ada orang mengatakan hidup di zaman Orde Baru lebih baik dan lebih enak daripada zaman sekarang, berarti dia tidak pernah mengalami hidup di era Orde Baru. Ia benar-benar buta dan mendustakan diri sendiri.  Kalau ia tetap ngotot memuji era Orba, mungkin sekali ia sedang mencari posisi, atau sesuap nasi….***  


Batavia, 15 Maret 2017

Selasa, 14 Maret 2017

Dua "Pertemuan Langka" dengan Ibu Herawati Diah

Bagian terbaik dari hidup seseorang adalah
perbuatan-perbuatan baik dan kasihnya yang
tidak diketahui orang lain
---WILLIAM WORDSWORTH, Penyair Inggris (1770-1850)


SAYA mengenal Ibu Herawati Diah, namun belum tentu beliau mengenal saya. Apalagi mengenal dekat atau secara pribadi, rasanya ’’jauh panggang dari api.’’ Saya hanyalah ’anak bawang’ di dalam keluarga besar harian Merdeka. Namun begitu, saya punya pengalaman khusus dengan beliau, lewat dua kali pertemuan yang cukup mengesankan dan  tak mungkin bisa saya lupakan.

Saya termasuk generasi terakhir wartawan harian Merdeka, sebelum koran miliknya itu ditangani manajemen Jawa Pos Group hingga kemudian akhirnya dijual ke pihak lain. Pada masa saya bekerja di Merdeka, Ibu Diah sudah tidak lagi ’ngantor’ sehingga hampir tak pernah lagi bertatap muka dengan karyawan, termasuk saya. Jadi, sangat mungkin beliau tidak mengenal saya secara dekat/pribadi.  

Sewaktu mengawali karier sebagai wartawan Merdeka, 1993, koran bersejarah ini masih sepenuhnya dikelola oleh perusahaan milik keluarga BM Diah. Kala itu bidang liputan saya adalah Kesra, dengan pos utama di Departemen Agama. Kantor redaksi dan percetakannya di Jalan AM Sangaji 11, Petojo, Jakarta Pusat. Sebuah bangunan tua namun hawanya cukup sejuk, dan terletak di pusat kota yang strategis.

Selain Merdeka, pada waktu itu ada pula koran lain milik BM Diah yang masih terbit. Yakni koran berbahasa Inggris, Indonesian Observer. Sedangkan majalah Topik dan majalah Keluarga, sudah lama mati, dan tentunya saya tidak pernah mengalaminya.  

Sayangnya, kala itu oplah Merdeka sudah merosot drastis, hanya sekitar 3.000 eksemplar per hari, sehingga tidak menonjol di pasar koran. Omzet iklannya pun relatif sangat kecil. Meski dalam kondisi seperti itu, kami masih merasa bangga menjadi wartawan koran bersejarah ini, sehingga tetap memiliki semangat bekerja.        

Kejayaan Merdeka sebagai koran perjuangan yang legendaris, memang tinggal kenangan. Konon, konflik manajemenlah – yang kerap terjadi – yang membuat koran Merdeka seakan ’’hidup enggan mati tak mau.’’ Bahkan pada sekitar pertengahan 1995, koran ini nyaris colaps dan hampir tak mampu membayar gaji wartawan serta karyawannya.

Singkat cerita, pada sekitar 1995, BM Diah sebagai pemilik Merdeka memutuskan untuk menjalin kerjasama dengan Dahlan Iskan sebagai pemilik Jawa Pos di Surabaya. Pak Diah yakin Dahlan mampu membangkitkan kembali koran yang hampir sekarat itu.  Setelah negosiasi, akhirnya disepakati koran Merdeka dikelola oleh manajemen Jawa Pos Group.

Hampir seluruh wartawan dan karyawan lama Merdeka tetap bekerja seperti biasa, kecuali di level direksi dan manajemen, ada beberapa orang Jawa Pos Group yang masuk. Kantor redaksi dan percetakannya pun pindah ke kawasan Rawabokor, Tangerang, atau dekat Bandara Soekarno-Hatta.

Harus diakui, di bawah manajemen Jawa Pos Group, yang dipimpin Pak Margiono, harian Merdeka membaik dan mulai bangkit. Oplahnya yang semula hanya 3.000, kemudian melonjak menjadi 15.000, lantas jadi 25.000. Koran ini pun mendapat momentum besar (1997-1998) menjelang dan saat jatuhnya Presiden Soeharto atau Rezim Orde Baru. Oplahnya melompat tajam hingga 80.000 bahkan 100.000 per hari.

Apa resepnya?  

Tentu saja karena pada saat itu koran Merdeka tampil beda: sangat berani. Berita-beritanya, terutama HL-nya di halaman depan, sangat menonjol saat dijajakan di simpang jalan. Pilihan kata-katanya pun tajam, sangat provokatif, tak jarang membuat marah pejabat pemerintah. Hanya Merdeka yang berani begitu, sedangkan koran-koran lain masih tampil konvensional.

Saya merasa bangga, karena termasuk orang yang mengalami dan ikut terlibat dalam proses tersebut. Mulanya saya menjadi Redaktur Hiburan, kemudian Redaktur Metropolitan, dan akhirnya diangkat sebagai Redaktur Halaman Polkam alias Halaman 1. Termasuk saat Pak Tribuana Said (sebagai Pemimpin Redaksi) diperiksa polisi terkait kasus berita utama berjudul ’’Ini Dia Dalang Kerusuhan 27 Juli.’’ Hampir saja saya turut diperiksa polisi. Syukurlah, akhirnya semua persoalan ditanggung oleh Pak Tri sebagai Pemred.

Nah, suatu siang, saya dan sejumlah karyawan diundang makan siang oleh jajaran Direksi. Hari dan tanggalnya saya sudah lupa. Tempatnya di sebuah restoran di kawasan SCBD Jalan Soedirman. Tidak ada pemberitahuan, acara apa yang bakal digelar di situ. Yang saya tahu, kami hanya diminta datang. Dengan menumpang mobil teman, akhirnya kami berangkat ke tempat itu.

Saat tiba di tempat tersebut, sudah ada Pak Dahlan Iskan, Pak Lukman Setiawan, Ibu Herawati Diah, dan Pak Margiono.  Beliau-beliau adalah para pemegang saham perusahaan yang menerbitkan harian Merdeka. Usai makan bersama, kami kumpul dalam sebuah ruangan yang tak terlalu besar.   

Pak Dahlan kemudian tampil ke depan menyampaikan sambutannya. Beliau memaparkan tingkat kemajuan  Merdeka di bawah manajemen Jawa Pos Group. Beliau juga mengatakan jajaran Direksi cukup puas dengan kinerja manajemen dan memberikan penghargaan kepada sejumlah karyawan yang dianggap bekerja dengan baik alias memajukan perusahaan. Salah satunya disebut nama saya – mewakili bidang redaksi.

Sejumlah karyawan teladan mendapat tanda penghargaan berupa plakat. Saya menerima langsung dari Ibu Diah. Inilah kali pertama saya menyalami bahkan mencium tangan beliau. Laksana seorang anak mencium tangan ibu kandungnya. Khusyu dan terharu. Sambil tersenyum, beliau menyerahkan plakat itu. Ketika itu Ibu Diah masih tampak gagah.

’’Selamat ya Dik,’’ katanya dengan wajah cerah.

’’Terimakasih, Ibu,’’ balas saya sambil setengah membungkukkan badan.

Plakat tersebut cukup berat, dibungkus dalam kotak kardus tebal berbalut beludru merah menyala. Plakat terbuat dari batu marmer warna krem yang kalimat penghargaannya (dari PT Merdeka Press) dipahat rapi, ada lambang Merdeka, juga tertera tanda tangan Ibu Diah dan Pak Dahlan.

Plakat itu sampai kini masih saya pajang di lemari ruang tamu di rumah saya, sebagai kenangan dan kebanggaan. Bahkan saya juga masih menyimpan foto kenangan saat saya menjabat tangan Ibu Diah.      

Rupanya, kerjasama Ibu Diah dengan Dahlan Iskan tidak langgeng alias kandas di tengah jalan. Pada April 1999, pengelolaan harian Merdeka tidak lagi di bawah manajemen Jawa Pos Group. Kongsi bisnis media ini pecah. Konon, gara-garanya pihak Ibu Diah ingin mengubah komposisi kepemilikan saham dan mengembalikan manajemen ke pihaknya. Pihak Jawa Pos menolak, dan karena tidak ada kesepakatan, akhirnya mereka melepas Merdeka dan kemudian menerbitkan koran baru bernama Rakyat Merdeka.

Padahal ketika itu koran Merdeka sedang maju pesat. Di era reformasi itu, oplahnya tembus sekitar 180.000 per hari. Ini merupakan yang terbesar untuk koran di Jakarta.  Hanya dengan jualan koran (belum termasuk omzet iklan), koran ini sudah meraup untung besar. Dengan tingkat kemajuan seperti itu, sebetulnya Ibu Diah tinggal ’’duduk manis’’ saja sudah aman. Tidak perlu lagi mengubah komposisi saham, apalagi berniat mengambil alih manajemen. Bukankah tidak gampang mengelola surat kabar? Dari mana pula mendapatkan SDM yang andal?

Yah, barangkali karena kemajuan pesat itulah yang membuat keluarga Ibu Diah tergiur ingin kembali menguasai dan mengelola Merdeka.

Bisnis boleh pecah, namun silaturrahmi tidak boleh putus. Karena itu, siang hari 22 April 1999, kami beramai-ramai berkunjung ke rumah Ibu Diah di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Para pimpinan dan sebagian besar karyawan Merdeka datang untuk pamitan.  Saya pun tak mau ketinggalan, sebab inilah kesempatan terakhir untuk bertemu Ibu Diah. Kami diterima di ruang tamunya yang besar. Satu per satu pimpinan dan karyawan menemui Ibu Diah.

Tibalah giliran saya. Saya menyalami dan mencium tangan Ibu Diah. Ini kali kedua saya bertemu langsung dan mencium tangan beliau. Ada perasaan sedih, seolah saya akan pamitan untuk pergi jauh dan tak kembali lagi. Karena itu saya mencium tangan beliau agak lama. Tanpa sadar airmata saya menetes. Tiba-tiba Ibu Diah membisikkan sesuatu ke telinga saya, ’’Kamu masih muda. Perjalanan masih panjang. Teruslah bekerja, di mana pun medianya, sewaktu-waktu kita masih bisa jumpa.’’

’’Baik, Ibu. Terimakasih,’’ kata saya pelan, mendapat nasihat bijak dari seorang ibu yang sudah makan asam garam dalam dunia pers Indonesia.

Itulah perjumpaan terakhir saya dengan Ibu Diah. Kata-kata yang beliau bisikkan menguatkan mental saya, agar terus bekerja dengan baik, jangan terlalu terpengaruh dengan faktor eksternal misalnya konflik manajemen yang kerap terjadi dalam industri pers di Indonesia.  

Meski hanya dua kali bertemu langsung dan mencium tangan Ibu Diah, saya masih bisa mengenal beliau dengan ’’cara lain.’’ Di rumah, saya memiliki sebuah perpustakaan pribadi dengan koleksi ribuan buku. Di antara koleksi itu, ada banyak buku jurnalistik, salah satunya adalah buku yang berjudul Kembara Tiada Berakhir (Penerbit Yayasan Keluarga, 1993). Ini adalah  buku memoar Ibu Diah, yang tentu saja berisi tentang sepak terjang dan pengalaman beliau menjadi wartawan.

Buku inilah yang saya baca, untuk lebih mengenal sosok Ibu Diah. Banyak hal menarik dan pelajaran jurnalistik dari buku yang disunting oleh Debra H Yatim ini. Meski Ibu Diah adalah wartawan perempuan (wartawati), namun pengalaman jurnalistiknya dari zaman ke zaman bersifat umum yang juga bisa saya pelajari.

Saya ingin mengutip pandangan Ibu Diah mengenai jurnalistik atau profesi wartawan  yang dipaparkan dalam memoarnya itu. Pandangannya itu, menurut saya, juga menjadi visi-misinya sebagai wartawati sejati Indonesia, yang kaya dengan pengalaman, dari zaman ke zaman.

Menurut beliau, wartawan – apa pun bidang liputannya – harus bekerja dengan hati nuraninya.

’’Jurnalisme menuntut kecintaan pada pekerjaan, tetapi juga adalah tugas yang membutuhkan pengindahan terhadap hati nurani. Bagaimana kita dapat informasikan perkembangan di dalam masyarakat, jika tidak mengindahkan hati nurani? Inilah yang berulangkali saya sadari ketika melakukan sekian lawatan keliling Nusantara dalam rombongan bersama Presiden Sukarno. Keterbelakangan sekian daerah di Indonesia mengharuskan kita membuat reportase menggunakan hati nurani,’’ katanya.(hlm 124)

Selanjutnya beliau mengatakan, ’’Hati nurani adalah penyuluh dari pekerjaan dan sukses wartawan, justru karena inti dari profesi ini adalah pengabdian kepada kepentingan umum.’’ Ibu Diah mengakui, sebagai perempuan, dirinya lebih banyak bertindak dengan hati nurani. Karenanya, profesi wartawan sangat cocok dan menjadi pilihan hidupnya.

Ibu Diah tentu sangat beruntung. Secara kebetulan suaminya, BM Diah, adalah seorang wartawan kawakan yang terkenal dan juga diplomat andal. Juga sebagai owner beberapa surat kabar dan majalah. Sehingga, karier beliau sebagai wartawati terbentang sangat lebar atau terwadahi dengan bagus. Tak heran bila karier jurnalistiknya mencapai puncak tertinggi, bahkan merupakan jalan hidupnya yang dicintainya hingga saat ini.    

’’Saya mengawali karier kewartawanan saya ketika masih sedikit perempuan di dalam pers. Hal itu tidak pernah jadi kendala, malah jadi tantangan. Saya belajar teliti melakukan observasi, dan bagaimana mematuhi deadline. Sebagai imbalan, saya pun diperlakukan dengan hormat oleh rekan-rekan pria sesama wartawan. Ini membanggakan.’’ (hlmn 127).

Ya, Indonesia juga patut berbangga memiliki tokoh pers dari kalangan perempuan sekaliber Ibu Herawati Diah. Beliau pernah melakukan pengabdian yang panjang lewat dunia jurnalistik, dan hingga hari tuanya masih mempunyai kepedulian yang sama. ’’Kelak saya terjun dalam bidang lain. Namun, dasar-dasar dari profesionalisme yang saya serap dalam karier saya sebagai wartawanlah yang ternyata masih berguna dalam kehidupan saya sampai sekarang,’’ ungkap Ibu Diah dalam memoarnya itu.

Terimakasih Ibu Diah, telah memberi pelajaran berharga dan kesempatan saya belajar jurnalistik di harian Merdeka.  Selamat ulang tahun ke-99. Semoga panjang umur. Semoga Allah SWT senantiasa melindungi Ibu di dunia dan akhirat. Amin.***

*Tulisan ini telah dimuat dalam buku ’’99 Tahun Herawati Diah Pejuang Pers Indonesia’’ (Para Syndicat, 2016)


Sabtu, 11 Maret 2017

Klub Mantan Presiden, Perlukah?

Mau dikatakan apa lagi
Kita tak akan pernah satu
--"Mantan Terindah,'' Raisa Adriana


SEWAKTU bertemu Presiden Jokowi di Istana Negara, Jumat (10/3) pekan lalu, SBY sempat melontarkan gagasan agar dibentuk Klub Mantan Presiden. Presiden keenam itu menganggap klub tersebut penting sebagai wadah komunikasi dan silaturrahmi antar-mantan presiden, termasuk di dalamnya para mantan wakil presiden.
Dari segi ide atau gagasan, mungkin menarik. Tapi, apakah ini realistis? Apakah itu sangat mendesak dan penting?
Coba kita berhitung. Di Indonesia, berapa sih jumlah mantan presiden? Cuma ada enam orang: Sukarno, Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY. Boleh juga tujuh orang, kalau Syarifuddin Prawiranegara dan Mr Assaat mau diakui sebagai (mantan) presiden resmi. Kita tahu, kedua orang itu tak pernah di-declair sebagai presiden yang pernah resmi berkuasa. Jadi, jumlah mantan presiden Indonesia ya tetap enam orang untuk saat ini. Dari keenam orang itu, sudah tiga orang meninggal, sehingga sekarang hanya ada tiga orang. Apa perlu dibuatkan klub atau organisasi?
Memang, dalam usulan itu, juga melibatkan para mantan wakil presiden. Tetapi coba juga hitung, jumlahnya tetap kecil. Lebih banyak yang sudah wafat. Kini hanya tersisa tiga orang yakni: Try Sutrisno, Hamzah Haz, dan Boediono. Kalau mereka digabungkan dengan para mantan presiden, jumlahnya pun tetap kecil: 3 + 3 = 6 orang. Apakah jumlah enam orang itu juga masih perlu dibuatkan klub?  Nanti akan merembet ke pertanyaan lain: siapa yang akan jadi ketuanya, anggota, dan pengurus Klub Mantan Presiden itu? Di mana pula sekretariat atau markasnya? Dan seterusnya.
Kalau memang klub itu dimaksudkan untuk wadah silaturrahmi dan komunikasi antar para mantan presiden dan wapresnya, agaknya terlalu mewah. Buat apa? Kalau mereka ingin bertemu dan saling silaturrahmi, sebetulnya sudah tersedia banyak forum atau kesempatan, formal maupun informal.
Misalnya, saat Pidato Kenegaraan tentang RAPBN tiap 16 Agustus di gedung MPR/DPR, peringatan HUT Proklamasi RI tiap 17 Agustus di Istana Negara, dan saat pelantikan sejumlah pejabat tinggi di istana. Banyak lagi forum-forum kenegaraan yang pasti selalu mengundang mereka, termasuk pula pernikahan anak pejabat negara. Kalau saja mereka mau meluangkan waktu untuk menghadiri acara-acara semacam itu, pastilah mereka akan bertemu.  Tetapi, faktanya, para mantan presiden jarang sekali mau menghadirinya.
Sewaktu SBY menjadi Presiden, misalnya, Megawati tidak pernah mau datang ke istana saat peringatan HUT RI. Kelihatan sekali permusuhannya. Begitupun ketika Jokowi jadi Presiden, SBY juga enggan datang di acara penting itu. Contoh sederhana ini saja membuktikan betapa mereka  amat sulit dipersatukan dalam sebuah klub. Mereka lebih mengedepankan politik ’buang muka’, balas dendam, dan lebih baik tidak bertemu.
Dari sisi ketatatnegaraan, pun tidak ada kewajiban untuk melibatkan kembali para mantan presiden dan wakil presiden itu. Mereka telah berada di luar struktur dan sistem. Kalaupun mereka mau sumbang pikiran, ya silakan dan sah-sah saja, namun tidak perlu ada wadah berupa klub, atau apalah namanya.
Saya justru khawatir, bila para mantan presiden dan wakil presiden itu dibuatkan klub, nantinya bisa dianggap sebagai sebuah lembaga negara, padahal bukan. Biasalah, orang Indonesia, suka menjaga perasaan kepada para seniornya, sehingga merasa sungkan dan menganggap pendapat pendahulunya itu sebagai rujukan dalam membuat keputusan pemerintah.
Kalau hal itu sampai terjadi, bisa mengacaukan sistem. Lagi pula dalam struktur pemerintah sudah ada wadah yang disebut Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang kerap memberikan pertimbangan untuk suatu keputusan. Tidak perlulah lagi meminta advis dari para mantan presiden yang notabene sudah berada di luar sistem.  
Kalaupun klub itu mau dianggap sebagai wadah rekonsiliasi, alasan yang berlebihan. Toh soal rekonsiliasi nasional dari semenjak dulu cuma wacana, tak pernah terwujud secara konkret. Ingatlah tokoh-tokoh reformasi yang dipimpin Amien Rais pernah menggagas rekonsiliasi politik nasional. Nyatanya, justru Amien Rais yang membuat perseteruan baru dengan tokoh segenerasinya termasuk melengserkan Gus Dur. Rekonsiliasi? Ah, omong kosong!
Sudahlah…. Biarkan saja para mantan presiden dan wakil presiden itu menikmati hidupnya di hari senja. Biarkan mereka menikmati masa tua berkumpul bersama keluarga sembari menjadi MC (momong cucu). Tak perlu lagi diseret-seret ke ajang politik praktis. Masa pengabdian mereka sudah berakhir. Sekarang giliran yang muda-muda – yang masih bertenaga dan punya cita-cita besar – yang mengendalikan republik ini, roda pemerintahan ini.
Para mantan presiden dan wakil presiden sebaiknya menjadi tokoh bangsa atau negarawan saja. Pendapatnya baik untuk didengar, tapi tak harus diikuti bila tidak relevan lagi. Dalam hal ini kita patut salut pada BJ Habibie, sang mantan presiden yang tidak pernah mencampuri presiden yang tengah berkuasa. Namun, sepak terjang Habibie bisa mendamaikan konflik di antara para pejabat atau politisi yang berselisih. Itu jauh lebih berguna daripada ikut rembuk  tapi malah mengeruhkan suasana.
Jadi, gagasan pembentukan Klub Mantan Presiden, tidak perlu direalisasikan.Cuma buang energi dan waktu. Masih banyak hal lain yang lebih urgen untuk dipikirkan dan diwujudkan. Kalau gagasan tersebut terus dipaksakan, saya kira hanyalah siasat dari segelintir orang yang telah kehilangan panggung kekuasaan dan berupaya mencari-cari lagi panggung kekuasaan dalam bentuk lain. ***


Batavia, 11 Maret 2017 

Minggu, 05 Maret 2017

Pohon Ulin & Pohon Sukarno


            Alam semesta membalas kita 
            sebanyak pemberian kita pada orang lain
             ---YITTA HALBERSTAM


ADA begitu banyak kenangan yang ditinggalkan dari kunjungan Raja Salman bin Abdulaziz al Saud (Raja Saudi Arabia) di Jakarta, 1-3 Maret 2017. Salah satu yang ringan, tapi penting: penanaman pohon Ulin. Pohon khas Kalimantan ini, setinggi hampir satu meter, ditanam di halaman Istana Merdeka-Istana Negara pada Kamis menjelang sore. Prosesi penanaman itu dilakukan sang Raja didampingi Presiden Jokowi, disaksikan sejumlah menteri dan rombongan tamu dari Saudi.

Mengapa pohon Ulin? Mengapa bukan pohon lain, bukankah di Indonesia banyak sekali jenis pohon yang dapat digunakan untuk penghijauan lingkungan? Tentu ada alasannya. Kata Jokowi, ’’Ini pohon kayu besi. Kayunya sangat kuat sekali. Kita harapkan hubungan Indonesia dengan negara Arab Saudi ya sekualitas dan sekuat pohon Ulin ini,’’ sambil menuangkan empat gayung air menyiram pohon tersebut.

Di Kalimantan sendiri, pohon Ulin banyak ditanam di perkebunan. Selain untuk penghijauan, kayunya juga diproduksi untuk berbagai pembuatan barang, dari perkakas rumahtangga hingga kerangka dan tiang bangunan, jembatan, tiang listrik dan perkapalan. Kayu Ulin juga tahan terhadap perubahan suhu, kelembaban, dan pengaruh air laut sehingga sifat kayunya sangat berat dan keras.

Ulin termasuk jenis pohon besar yang tingginya dapat mencapai 50 meter dengan diameter sampai 120 cm. Pohon ini tumbuh pada dataran rendah sampai ketinggian 400 meter. Ulin umumnya tumbuh pada ketinggian 5– 400 meter di atas permukaan laut dengan medan datar sampai miring, tumbuh terpencar atau mengelompok dalam hutan campuran namun sangat jarang dijumpai di habitat rawa-rawa.

Rata-rata pohon kayu ini berumur puluhan tahun baru bisa dipanen kayunya. Bahkan di Kalimantan Timur ada pohon Ulin yang sampai berusia 1.000 tahun, tingginya mencapai 20 meter, lingkaran batang bawah pohon bisa diukur dengan pelukan 10-15 orang secara bersambungan.

Penanaman pohon Ulin oleh Raja Salman itu adalah satu bentuk diplomasi politik. Indonesia selaku tuan rumah, sengaja menyediakan pohon itu dan mempersilakan sang tamu negara (Raja Salman) menanamnya. Kita tahu, pohon adalah makhluk hidup yang dinamis atau bisa membesar, bahkan bisa hidup untuk jangka waktu yang lama. Begitulah juga yang diharapkan: hubungan silaturrahmi Indonesia-Arab Saudi bisa mencapai puluhan atau ratusan tahun yang akan datang.   
       
Sangat mungkin terjadi, mengingat Indonesia dan Arab Saudi memiliki kesamaan, salah satunya adalah penduduk Indonesia mayoritas muslim. Arab dikenal sebagai negara Islam terbesar di Timur Tengah. Dan, jutaan umat Islam Indonesia saban tahun melaksanakan ibadah haji ke dua kota suci: Mekkah dan Madinah, yang berada di Arab Saudi. Jalinan ukhuwwah Islami ini hampir tidak bisa dipisahkan hingga akhir zaman.
        
Kalau kita menengok kembali sejarah hubungan kedua negara, diplomasi lewat tanam pohon sebetulnya sudah dilakukan oleh Presiden Sukarno. Ketika Bung Karno menunaikan ibadah haji ke tanah suci, pada 1960-an, beliau menggagas penanaman pohon di Padang Arafah, agar saat wukuf jamaah tidak terlalu kepanasan. Kala itu Sukarno menyumbangkan beberapa pohon untuk ditanam di Padang Arafah.
       
Raja Arab ketika itu, Raja Fahd, sangat setuju dan berterimakasih. Maka, ditanamlah beberapa pohon di tanah seluas 5,5 x 3,5 kilometer yang berpasir, berbatu, dan berbukit itu. Akhirnya pohon itu tumbuh subur dan kemudian berkembang biak. Maka, bagi jamaah haji Indonesia yang kini datang ke Padang Arafah, akan melihat langsung pohon-pohon sumbangan Presiden Sukarno itu. Padang Arafah yang semula gersang sekarang sudah mulai teduh dan ijo royo-royo.
       
Pohon apakah yang ditanam Sukarno di Padang Arafah itu? Ada yang menyebut pohon Mimba. Pohon ini memang kuat dan tahan hidup di daerah tandus bahkan yang udaranya sangat panas. Daun pohon ini konon sangat berkhasiat untuk mengobati penyakit diare. Ada pula yang menyebutnya pohon Mindi. Pohon Mimba dan Mindi memang berasal dari rumpun yang sejenis, dan mudah didapat di Indonesia.
       
Lantaran pohon yang ditanam di Padang Arafah itu cukup bagus untuk penghijauan, maka pemerintah Arab Saudi kemudian juga menanam pohon itu di kota suci Makkah, sekitaran kompleks Masjidil Haram dan Ka’bah. Hingga kemudian pohon itu dikenal – terutama di kalangan jamaah haji -- dengan sebutan ’’Pohon Sukarno.’’ Pohon itulah yang sejak lama ikut mempererat hubungan Indonesia dengan Arab Saudi.

Entah, apakah pohon Ulin di halaman Istana Merdeka itu nantinya akan disebut ’’Pohon Raja Salman’’ atau tetap pohon Ulin. Kemungkinan, jika pohon Ulin itu kelak membesar, maka pohon itu pun bakal menjadi saksi sekaligus perekat hubungan kedua negara.

Rupanya, diplomasi politik penanaman pohon punya makna penting, dan tak boleh dianggap remeh. Setidaknya untuk Indonesia dan Arab Saudi. Atau, dengan negara-negara lain di kemudian hari.

Bahkan, kalau mau dirunut lebih jauh lagi, penanaman pohon juga menjadi misi politik yang tidak terhindarkan yang dilakukan kaum penjajah di negeri ini. Misalnya saat Inggris menduduki Indonesia pada abad 18. Kala itu Thomas Stanford Rafless -- yang diangkat menjadi Letnan Gubernur di Jawa -- menanam dan mengembangbiakkan sejumlah jenis tanaman di taman Buitenzorg, yang kini dikenal sebagai Kebon Raya Bogor (KBR). Berkat jasa Rafless, kini ada KBR dan beberapa jenis tanaman langka di Indonesia.

Menanam pohon, meski tampak sepele, ternyata tidak kalah pentingnya dengan investasi di bidang ekonomi khususnya pertambangan seperti kerjasama PT Aramco dan PT Pertamina. Pohon Ulin juga bisa menjadi bahan investasi  dalam bentuk dan makna yang lain. Bahkan mungkin tak bisa diukur dengan Dolar atau Riyal.***

ZHM, Batavia, 4 Maret 2017