Selasa, 14 Maret 2017

Dua "Pertemuan Langka" dengan Ibu Herawati Diah

Bagian terbaik dari hidup seseorang adalah
perbuatan-perbuatan baik dan kasihnya yang
tidak diketahui orang lain
---WILLIAM WORDSWORTH, Penyair Inggris (1770-1850)


SAYA mengenal Ibu Herawati Diah, namun belum tentu beliau mengenal saya. Apalagi mengenal dekat atau secara pribadi, rasanya ’’jauh panggang dari api.’’ Saya hanyalah ’anak bawang’ di dalam keluarga besar harian Merdeka. Namun begitu, saya punya pengalaman khusus dengan beliau, lewat dua kali pertemuan yang cukup mengesankan dan  tak mungkin bisa saya lupakan.

Saya termasuk generasi terakhir wartawan harian Merdeka, sebelum koran miliknya itu ditangani manajemen Jawa Pos Group hingga kemudian akhirnya dijual ke pihak lain. Pada masa saya bekerja di Merdeka, Ibu Diah sudah tidak lagi ’ngantor’ sehingga hampir tak pernah lagi bertatap muka dengan karyawan, termasuk saya. Jadi, sangat mungkin beliau tidak mengenal saya secara dekat/pribadi.  

Sewaktu mengawali karier sebagai wartawan Merdeka, 1993, koran bersejarah ini masih sepenuhnya dikelola oleh perusahaan milik keluarga BM Diah. Kala itu bidang liputan saya adalah Kesra, dengan pos utama di Departemen Agama. Kantor redaksi dan percetakannya di Jalan AM Sangaji 11, Petojo, Jakarta Pusat. Sebuah bangunan tua namun hawanya cukup sejuk, dan terletak di pusat kota yang strategis.

Selain Merdeka, pada waktu itu ada pula koran lain milik BM Diah yang masih terbit. Yakni koran berbahasa Inggris, Indonesian Observer. Sedangkan majalah Topik dan majalah Keluarga, sudah lama mati, dan tentunya saya tidak pernah mengalaminya.  

Sayangnya, kala itu oplah Merdeka sudah merosot drastis, hanya sekitar 3.000 eksemplar per hari, sehingga tidak menonjol di pasar koran. Omzet iklannya pun relatif sangat kecil. Meski dalam kondisi seperti itu, kami masih merasa bangga menjadi wartawan koran bersejarah ini, sehingga tetap memiliki semangat bekerja.        

Kejayaan Merdeka sebagai koran perjuangan yang legendaris, memang tinggal kenangan. Konon, konflik manajemenlah – yang kerap terjadi – yang membuat koran Merdeka seakan ’’hidup enggan mati tak mau.’’ Bahkan pada sekitar pertengahan 1995, koran ini nyaris colaps dan hampir tak mampu membayar gaji wartawan serta karyawannya.

Singkat cerita, pada sekitar 1995, BM Diah sebagai pemilik Merdeka memutuskan untuk menjalin kerjasama dengan Dahlan Iskan sebagai pemilik Jawa Pos di Surabaya. Pak Diah yakin Dahlan mampu membangkitkan kembali koran yang hampir sekarat itu.  Setelah negosiasi, akhirnya disepakati koran Merdeka dikelola oleh manajemen Jawa Pos Group.

Hampir seluruh wartawan dan karyawan lama Merdeka tetap bekerja seperti biasa, kecuali di level direksi dan manajemen, ada beberapa orang Jawa Pos Group yang masuk. Kantor redaksi dan percetakannya pun pindah ke kawasan Rawabokor, Tangerang, atau dekat Bandara Soekarno-Hatta.

Harus diakui, di bawah manajemen Jawa Pos Group, yang dipimpin Pak Margiono, harian Merdeka membaik dan mulai bangkit. Oplahnya yang semula hanya 3.000, kemudian melonjak menjadi 15.000, lantas jadi 25.000. Koran ini pun mendapat momentum besar (1997-1998) menjelang dan saat jatuhnya Presiden Soeharto atau Rezim Orde Baru. Oplahnya melompat tajam hingga 80.000 bahkan 100.000 per hari.

Apa resepnya?  

Tentu saja karena pada saat itu koran Merdeka tampil beda: sangat berani. Berita-beritanya, terutama HL-nya di halaman depan, sangat menonjol saat dijajakan di simpang jalan. Pilihan kata-katanya pun tajam, sangat provokatif, tak jarang membuat marah pejabat pemerintah. Hanya Merdeka yang berani begitu, sedangkan koran-koran lain masih tampil konvensional.

Saya merasa bangga, karena termasuk orang yang mengalami dan ikut terlibat dalam proses tersebut. Mulanya saya menjadi Redaktur Hiburan, kemudian Redaktur Metropolitan, dan akhirnya diangkat sebagai Redaktur Halaman Polkam alias Halaman 1. Termasuk saat Pak Tribuana Said (sebagai Pemimpin Redaksi) diperiksa polisi terkait kasus berita utama berjudul ’’Ini Dia Dalang Kerusuhan 27 Juli.’’ Hampir saja saya turut diperiksa polisi. Syukurlah, akhirnya semua persoalan ditanggung oleh Pak Tri sebagai Pemred.

Nah, suatu siang, saya dan sejumlah karyawan diundang makan siang oleh jajaran Direksi. Hari dan tanggalnya saya sudah lupa. Tempatnya di sebuah restoran di kawasan SCBD Jalan Soedirman. Tidak ada pemberitahuan, acara apa yang bakal digelar di situ. Yang saya tahu, kami hanya diminta datang. Dengan menumpang mobil teman, akhirnya kami berangkat ke tempat itu.

Saat tiba di tempat tersebut, sudah ada Pak Dahlan Iskan, Pak Lukman Setiawan, Ibu Herawati Diah, dan Pak Margiono.  Beliau-beliau adalah para pemegang saham perusahaan yang menerbitkan harian Merdeka. Usai makan bersama, kami kumpul dalam sebuah ruangan yang tak terlalu besar.   

Pak Dahlan kemudian tampil ke depan menyampaikan sambutannya. Beliau memaparkan tingkat kemajuan  Merdeka di bawah manajemen Jawa Pos Group. Beliau juga mengatakan jajaran Direksi cukup puas dengan kinerja manajemen dan memberikan penghargaan kepada sejumlah karyawan yang dianggap bekerja dengan baik alias memajukan perusahaan. Salah satunya disebut nama saya – mewakili bidang redaksi.

Sejumlah karyawan teladan mendapat tanda penghargaan berupa plakat. Saya menerima langsung dari Ibu Diah. Inilah kali pertama saya menyalami bahkan mencium tangan beliau. Laksana seorang anak mencium tangan ibu kandungnya. Khusyu dan terharu. Sambil tersenyum, beliau menyerahkan plakat itu. Ketika itu Ibu Diah masih tampak gagah.

’’Selamat ya Dik,’’ katanya dengan wajah cerah.

’’Terimakasih, Ibu,’’ balas saya sambil setengah membungkukkan badan.

Plakat tersebut cukup berat, dibungkus dalam kotak kardus tebal berbalut beludru merah menyala. Plakat terbuat dari batu marmer warna krem yang kalimat penghargaannya (dari PT Merdeka Press) dipahat rapi, ada lambang Merdeka, juga tertera tanda tangan Ibu Diah dan Pak Dahlan.

Plakat itu sampai kini masih saya pajang di lemari ruang tamu di rumah saya, sebagai kenangan dan kebanggaan. Bahkan saya juga masih menyimpan foto kenangan saat saya menjabat tangan Ibu Diah.      

Rupanya, kerjasama Ibu Diah dengan Dahlan Iskan tidak langgeng alias kandas di tengah jalan. Pada April 1999, pengelolaan harian Merdeka tidak lagi di bawah manajemen Jawa Pos Group. Kongsi bisnis media ini pecah. Konon, gara-garanya pihak Ibu Diah ingin mengubah komposisi kepemilikan saham dan mengembalikan manajemen ke pihaknya. Pihak Jawa Pos menolak, dan karena tidak ada kesepakatan, akhirnya mereka melepas Merdeka dan kemudian menerbitkan koran baru bernama Rakyat Merdeka.

Padahal ketika itu koran Merdeka sedang maju pesat. Di era reformasi itu, oplahnya tembus sekitar 180.000 per hari. Ini merupakan yang terbesar untuk koran di Jakarta.  Hanya dengan jualan koran (belum termasuk omzet iklan), koran ini sudah meraup untung besar. Dengan tingkat kemajuan seperti itu, sebetulnya Ibu Diah tinggal ’’duduk manis’’ saja sudah aman. Tidak perlu lagi mengubah komposisi saham, apalagi berniat mengambil alih manajemen. Bukankah tidak gampang mengelola surat kabar? Dari mana pula mendapatkan SDM yang andal?

Yah, barangkali karena kemajuan pesat itulah yang membuat keluarga Ibu Diah tergiur ingin kembali menguasai dan mengelola Merdeka.

Bisnis boleh pecah, namun silaturrahmi tidak boleh putus. Karena itu, siang hari 22 April 1999, kami beramai-ramai berkunjung ke rumah Ibu Diah di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Para pimpinan dan sebagian besar karyawan Merdeka datang untuk pamitan.  Saya pun tak mau ketinggalan, sebab inilah kesempatan terakhir untuk bertemu Ibu Diah. Kami diterima di ruang tamunya yang besar. Satu per satu pimpinan dan karyawan menemui Ibu Diah.

Tibalah giliran saya. Saya menyalami dan mencium tangan Ibu Diah. Ini kali kedua saya bertemu langsung dan mencium tangan beliau. Ada perasaan sedih, seolah saya akan pamitan untuk pergi jauh dan tak kembali lagi. Karena itu saya mencium tangan beliau agak lama. Tanpa sadar airmata saya menetes. Tiba-tiba Ibu Diah membisikkan sesuatu ke telinga saya, ’’Kamu masih muda. Perjalanan masih panjang. Teruslah bekerja, di mana pun medianya, sewaktu-waktu kita masih bisa jumpa.’’

’’Baik, Ibu. Terimakasih,’’ kata saya pelan, mendapat nasihat bijak dari seorang ibu yang sudah makan asam garam dalam dunia pers Indonesia.

Itulah perjumpaan terakhir saya dengan Ibu Diah. Kata-kata yang beliau bisikkan menguatkan mental saya, agar terus bekerja dengan baik, jangan terlalu terpengaruh dengan faktor eksternal misalnya konflik manajemen yang kerap terjadi dalam industri pers di Indonesia.  

Meski hanya dua kali bertemu langsung dan mencium tangan Ibu Diah, saya masih bisa mengenal beliau dengan ’’cara lain.’’ Di rumah, saya memiliki sebuah perpustakaan pribadi dengan koleksi ribuan buku. Di antara koleksi itu, ada banyak buku jurnalistik, salah satunya adalah buku yang berjudul Kembara Tiada Berakhir (Penerbit Yayasan Keluarga, 1993). Ini adalah  buku memoar Ibu Diah, yang tentu saja berisi tentang sepak terjang dan pengalaman beliau menjadi wartawan.

Buku inilah yang saya baca, untuk lebih mengenal sosok Ibu Diah. Banyak hal menarik dan pelajaran jurnalistik dari buku yang disunting oleh Debra H Yatim ini. Meski Ibu Diah adalah wartawan perempuan (wartawati), namun pengalaman jurnalistiknya dari zaman ke zaman bersifat umum yang juga bisa saya pelajari.

Saya ingin mengutip pandangan Ibu Diah mengenai jurnalistik atau profesi wartawan  yang dipaparkan dalam memoarnya itu. Pandangannya itu, menurut saya, juga menjadi visi-misinya sebagai wartawati sejati Indonesia, yang kaya dengan pengalaman, dari zaman ke zaman.

Menurut beliau, wartawan – apa pun bidang liputannya – harus bekerja dengan hati nuraninya.

’’Jurnalisme menuntut kecintaan pada pekerjaan, tetapi juga adalah tugas yang membutuhkan pengindahan terhadap hati nurani. Bagaimana kita dapat informasikan perkembangan di dalam masyarakat, jika tidak mengindahkan hati nurani? Inilah yang berulangkali saya sadari ketika melakukan sekian lawatan keliling Nusantara dalam rombongan bersama Presiden Sukarno. Keterbelakangan sekian daerah di Indonesia mengharuskan kita membuat reportase menggunakan hati nurani,’’ katanya.(hlm 124)

Selanjutnya beliau mengatakan, ’’Hati nurani adalah penyuluh dari pekerjaan dan sukses wartawan, justru karena inti dari profesi ini adalah pengabdian kepada kepentingan umum.’’ Ibu Diah mengakui, sebagai perempuan, dirinya lebih banyak bertindak dengan hati nurani. Karenanya, profesi wartawan sangat cocok dan menjadi pilihan hidupnya.

Ibu Diah tentu sangat beruntung. Secara kebetulan suaminya, BM Diah, adalah seorang wartawan kawakan yang terkenal dan juga diplomat andal. Juga sebagai owner beberapa surat kabar dan majalah. Sehingga, karier beliau sebagai wartawati terbentang sangat lebar atau terwadahi dengan bagus. Tak heran bila karier jurnalistiknya mencapai puncak tertinggi, bahkan merupakan jalan hidupnya yang dicintainya hingga saat ini.    

’’Saya mengawali karier kewartawanan saya ketika masih sedikit perempuan di dalam pers. Hal itu tidak pernah jadi kendala, malah jadi tantangan. Saya belajar teliti melakukan observasi, dan bagaimana mematuhi deadline. Sebagai imbalan, saya pun diperlakukan dengan hormat oleh rekan-rekan pria sesama wartawan. Ini membanggakan.’’ (hlmn 127).

Ya, Indonesia juga patut berbangga memiliki tokoh pers dari kalangan perempuan sekaliber Ibu Herawati Diah. Beliau pernah melakukan pengabdian yang panjang lewat dunia jurnalistik, dan hingga hari tuanya masih mempunyai kepedulian yang sama. ’’Kelak saya terjun dalam bidang lain. Namun, dasar-dasar dari profesionalisme yang saya serap dalam karier saya sebagai wartawanlah yang ternyata masih berguna dalam kehidupan saya sampai sekarang,’’ ungkap Ibu Diah dalam memoarnya itu.

Terimakasih Ibu Diah, telah memberi pelajaran berharga dan kesempatan saya belajar jurnalistik di harian Merdeka.  Selamat ulang tahun ke-99. Semoga panjang umur. Semoga Allah SWT senantiasa melindungi Ibu di dunia dan akhirat. Amin.***

*Tulisan ini telah dimuat dalam buku ’’99 Tahun Herawati Diah Pejuang Pers Indonesia’’ (Para Syndicat, 2016)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar