Kita tak akan pernah satu
--"Mantan Terindah,'' Raisa Adriana
SEWAKTU bertemu Presiden Jokowi di Istana Negara,
Jumat (10/3) pekan lalu, SBY sempat melontarkan gagasan agar dibentuk Klub
Mantan Presiden. Presiden keenam itu menganggap klub tersebut penting sebagai
wadah komunikasi dan silaturrahmi antar-mantan presiden, termasuk di dalamnya
para mantan wakil presiden.
Dari segi ide atau gagasan, mungkin menarik. Tapi,
apakah ini realistis? Apakah itu sangat mendesak dan penting?
Coba kita berhitung. Di Indonesia, berapa sih jumlah
mantan presiden? Cuma ada enam orang: Sukarno, Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati,
dan SBY. Boleh juga tujuh orang, kalau Syarifuddin Prawiranegara dan Mr Assaat
mau diakui sebagai (mantan) presiden resmi. Kita tahu, kedua orang itu tak
pernah di-declair sebagai presiden yang pernah resmi berkuasa. Jadi, jumlah
mantan presiden Indonesia ya tetap enam orang untuk saat ini. Dari keenam orang
itu, sudah tiga orang meninggal, sehingga sekarang hanya ada tiga orang. Apa
perlu dibuatkan klub atau organisasi?
Memang, dalam usulan itu, juga melibatkan para mantan
wakil presiden. Tetapi coba juga hitung, jumlahnya tetap kecil. Lebih banyak
yang sudah wafat. Kini hanya tersisa tiga orang yakni: Try Sutrisno, Hamzah Haz,
dan Boediono. Kalau mereka digabungkan dengan para mantan presiden, jumlahnya
pun tetap kecil: 3 + 3 = 6 orang. Apakah jumlah enam orang itu juga masih perlu
dibuatkan klub? Nanti akan merembet ke
pertanyaan lain: siapa yang akan jadi ketuanya, anggota, dan pengurus Klub
Mantan Presiden itu? Di mana pula sekretariat atau markasnya? Dan seterusnya.
Kalau memang klub itu dimaksudkan untuk wadah silaturrahmi
dan komunikasi antar para mantan presiden dan wapresnya, agaknya terlalu mewah.
Buat apa? Kalau mereka ingin bertemu dan saling silaturrahmi, sebetulnya sudah tersedia
banyak forum atau kesempatan, formal maupun informal.
Misalnya, saat Pidato Kenegaraan tentang RAPBN tiap 16
Agustus di gedung MPR/DPR, peringatan HUT Proklamasi RI tiap 17 Agustus di
Istana Negara, dan saat pelantikan sejumlah pejabat tinggi di istana. Banyak
lagi forum-forum kenegaraan yang pasti selalu mengundang mereka, termasuk pula pernikahan anak pejabat negara. Kalau saja
mereka mau meluangkan waktu untuk menghadiri acara-acara semacam itu, pastilah
mereka akan bertemu. Tetapi, faktanya, para
mantan presiden jarang sekali mau menghadirinya.
Sewaktu SBY menjadi Presiden, misalnya, Megawati tidak
pernah mau datang ke istana saat peringatan HUT RI. Kelihatan sekali permusuhannya. Begitupun ketika Jokowi
jadi Presiden, SBY juga enggan datang di acara penting itu. Contoh sederhana ini
saja membuktikan betapa mereka amat
sulit dipersatukan dalam sebuah klub. Mereka lebih mengedepankan politik ’buang
muka’, balas dendam, dan lebih baik tidak bertemu.
Dari sisi ketatatnegaraan, pun tidak ada kewajiban
untuk melibatkan kembali para mantan presiden dan wakil presiden itu. Mereka
telah berada di luar struktur dan sistem. Kalaupun mereka mau sumbang pikiran,
ya silakan dan sah-sah saja, namun tidak perlu ada wadah berupa klub, atau
apalah namanya.
Saya justru khawatir, bila para mantan presiden dan wakil
presiden itu dibuatkan klub, nantinya bisa dianggap sebagai sebuah lembaga
negara, padahal bukan. Biasalah, orang Indonesia, suka menjaga perasaan kepada
para seniornya, sehingga merasa sungkan dan menganggap pendapat pendahulunya
itu sebagai rujukan dalam membuat keputusan pemerintah.
Kalau hal itu sampai terjadi, bisa mengacaukan sistem.
Lagi pula dalam struktur pemerintah sudah ada wadah yang disebut Dewan
Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang kerap memberikan pertimbangan untuk
suatu keputusan. Tidak perlulah lagi meminta advis dari para mantan presiden yang notabene sudah berada di luar sistem.
Kalaupun klub itu mau dianggap sebagai wadah
rekonsiliasi, alasan yang berlebihan. Toh soal rekonsiliasi nasional dari
semenjak dulu cuma wacana, tak pernah terwujud secara konkret. Ingatlah
tokoh-tokoh reformasi yang dipimpin Amien Rais pernah menggagas rekonsiliasi
politik nasional. Nyatanya, justru Amien Rais yang membuat perseteruan baru dengan
tokoh segenerasinya termasuk melengserkan Gus Dur. Rekonsiliasi? Ah, omong
kosong!
Sudahlah…. Biarkan saja para mantan presiden dan wakil
presiden itu menikmati hidupnya di hari senja. Biarkan mereka menikmati masa tua berkumpul bersama
keluarga sembari menjadi MC (momong cucu). Tak perlu lagi diseret-seret ke
ajang politik praktis. Masa pengabdian mereka sudah berakhir. Sekarang giliran
yang muda-muda – yang masih bertenaga dan punya cita-cita besar – yang mengendalikan
republik ini, roda pemerintahan ini.
Para mantan presiden dan wakil presiden sebaiknya
menjadi tokoh bangsa atau negarawan saja. Pendapatnya baik untuk didengar, tapi
tak harus diikuti bila tidak relevan lagi. Dalam hal ini kita patut salut pada
BJ Habibie, sang mantan presiden yang tidak pernah mencampuri presiden yang
tengah berkuasa. Namun, sepak terjang Habibie bisa mendamaikan konflik di
antara para pejabat atau politisi yang berselisih. Itu jauh lebih berguna
daripada ikut rembuk tapi malah mengeruhkan
suasana.
Jadi, gagasan pembentukan Klub Mantan Presiden, tidak perlu direalisasikan.Cuma buang energi dan waktu. Masih banyak hal lain yang
lebih urgen untuk dipikirkan dan diwujudkan. Kalau gagasan tersebut terus
dipaksakan, saya kira hanyalah siasat dari segelintir orang yang telah kehilangan
panggung kekuasaan dan berupaya mencari-cari lagi panggung kekuasaan dalam bentuk lain. ***
Batavia, 11 Maret 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar