Sabtu, 11 Maret 2017

Klub Mantan Presiden, Perlukah?

Mau dikatakan apa lagi
Kita tak akan pernah satu
--"Mantan Terindah,'' Raisa Adriana


SEWAKTU bertemu Presiden Jokowi di Istana Negara, Jumat (10/3) pekan lalu, SBY sempat melontarkan gagasan agar dibentuk Klub Mantan Presiden. Presiden keenam itu menganggap klub tersebut penting sebagai wadah komunikasi dan silaturrahmi antar-mantan presiden, termasuk di dalamnya para mantan wakil presiden.
Dari segi ide atau gagasan, mungkin menarik. Tapi, apakah ini realistis? Apakah itu sangat mendesak dan penting?
Coba kita berhitung. Di Indonesia, berapa sih jumlah mantan presiden? Cuma ada enam orang: Sukarno, Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY. Boleh juga tujuh orang, kalau Syarifuddin Prawiranegara dan Mr Assaat mau diakui sebagai (mantan) presiden resmi. Kita tahu, kedua orang itu tak pernah di-declair sebagai presiden yang pernah resmi berkuasa. Jadi, jumlah mantan presiden Indonesia ya tetap enam orang untuk saat ini. Dari keenam orang itu, sudah tiga orang meninggal, sehingga sekarang hanya ada tiga orang. Apa perlu dibuatkan klub atau organisasi?
Memang, dalam usulan itu, juga melibatkan para mantan wakil presiden. Tetapi coba juga hitung, jumlahnya tetap kecil. Lebih banyak yang sudah wafat. Kini hanya tersisa tiga orang yakni: Try Sutrisno, Hamzah Haz, dan Boediono. Kalau mereka digabungkan dengan para mantan presiden, jumlahnya pun tetap kecil: 3 + 3 = 6 orang. Apakah jumlah enam orang itu juga masih perlu dibuatkan klub?  Nanti akan merembet ke pertanyaan lain: siapa yang akan jadi ketuanya, anggota, dan pengurus Klub Mantan Presiden itu? Di mana pula sekretariat atau markasnya? Dan seterusnya.
Kalau memang klub itu dimaksudkan untuk wadah silaturrahmi dan komunikasi antar para mantan presiden dan wapresnya, agaknya terlalu mewah. Buat apa? Kalau mereka ingin bertemu dan saling silaturrahmi, sebetulnya sudah tersedia banyak forum atau kesempatan, formal maupun informal.
Misalnya, saat Pidato Kenegaraan tentang RAPBN tiap 16 Agustus di gedung MPR/DPR, peringatan HUT Proklamasi RI tiap 17 Agustus di Istana Negara, dan saat pelantikan sejumlah pejabat tinggi di istana. Banyak lagi forum-forum kenegaraan yang pasti selalu mengundang mereka, termasuk pula pernikahan anak pejabat negara. Kalau saja mereka mau meluangkan waktu untuk menghadiri acara-acara semacam itu, pastilah mereka akan bertemu.  Tetapi, faktanya, para mantan presiden jarang sekali mau menghadirinya.
Sewaktu SBY menjadi Presiden, misalnya, Megawati tidak pernah mau datang ke istana saat peringatan HUT RI. Kelihatan sekali permusuhannya. Begitupun ketika Jokowi jadi Presiden, SBY juga enggan datang di acara penting itu. Contoh sederhana ini saja membuktikan betapa mereka  amat sulit dipersatukan dalam sebuah klub. Mereka lebih mengedepankan politik ’buang muka’, balas dendam, dan lebih baik tidak bertemu.
Dari sisi ketatatnegaraan, pun tidak ada kewajiban untuk melibatkan kembali para mantan presiden dan wakil presiden itu. Mereka telah berada di luar struktur dan sistem. Kalaupun mereka mau sumbang pikiran, ya silakan dan sah-sah saja, namun tidak perlu ada wadah berupa klub, atau apalah namanya.
Saya justru khawatir, bila para mantan presiden dan wakil presiden itu dibuatkan klub, nantinya bisa dianggap sebagai sebuah lembaga negara, padahal bukan. Biasalah, orang Indonesia, suka menjaga perasaan kepada para seniornya, sehingga merasa sungkan dan menganggap pendapat pendahulunya itu sebagai rujukan dalam membuat keputusan pemerintah.
Kalau hal itu sampai terjadi, bisa mengacaukan sistem. Lagi pula dalam struktur pemerintah sudah ada wadah yang disebut Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang kerap memberikan pertimbangan untuk suatu keputusan. Tidak perlulah lagi meminta advis dari para mantan presiden yang notabene sudah berada di luar sistem.  
Kalaupun klub itu mau dianggap sebagai wadah rekonsiliasi, alasan yang berlebihan. Toh soal rekonsiliasi nasional dari semenjak dulu cuma wacana, tak pernah terwujud secara konkret. Ingatlah tokoh-tokoh reformasi yang dipimpin Amien Rais pernah menggagas rekonsiliasi politik nasional. Nyatanya, justru Amien Rais yang membuat perseteruan baru dengan tokoh segenerasinya termasuk melengserkan Gus Dur. Rekonsiliasi? Ah, omong kosong!
Sudahlah…. Biarkan saja para mantan presiden dan wakil presiden itu menikmati hidupnya di hari senja. Biarkan mereka menikmati masa tua berkumpul bersama keluarga sembari menjadi MC (momong cucu). Tak perlu lagi diseret-seret ke ajang politik praktis. Masa pengabdian mereka sudah berakhir. Sekarang giliran yang muda-muda – yang masih bertenaga dan punya cita-cita besar – yang mengendalikan republik ini, roda pemerintahan ini.
Para mantan presiden dan wakil presiden sebaiknya menjadi tokoh bangsa atau negarawan saja. Pendapatnya baik untuk didengar, tapi tak harus diikuti bila tidak relevan lagi. Dalam hal ini kita patut salut pada BJ Habibie, sang mantan presiden yang tidak pernah mencampuri presiden yang tengah berkuasa. Namun, sepak terjang Habibie bisa mendamaikan konflik di antara para pejabat atau politisi yang berselisih. Itu jauh lebih berguna daripada ikut rembuk  tapi malah mengeruhkan suasana.
Jadi, gagasan pembentukan Klub Mantan Presiden, tidak perlu direalisasikan.Cuma buang energi dan waktu. Masih banyak hal lain yang lebih urgen untuk dipikirkan dan diwujudkan. Kalau gagasan tersebut terus dipaksakan, saya kira hanyalah siasat dari segelintir orang yang telah kehilangan panggung kekuasaan dan berupaya mencari-cari lagi panggung kekuasaan dalam bentuk lain. ***


Batavia, 11 Maret 2017 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar