baru terasa
bahwa kehadirannya
sungguh berharga
---"Kehilangan'' Rhoma Irama
BILA seorang ulama meninggal dunia, belum tentu 10 atau 20
tahun mendatang ada penggantinya. Bahkan 50 tahun pun mungkin belum ada yang sama dengannya. Ibarat kematian obor, suasana menjadi gelap. Karena itu, kita akan
merasa sangat kehilangan bila ada ulama wafat. Begitulah yang terasa ketika KH
Masyim Muzadi berpulang ke ramatullah pada Kamis 16 Maret 2017. Indonesia telah
kehilangan salah seorang putra terbaiknya.
Harus diakui, almarhum bukanlah ulama biasa, dalam artian
ia memiliki kadar keilmuan yang tinggi dan ketokohan yang teruji. Sifat
toleransinya bukan hanya terhadap sesama umat dan tokoh Islam yang berbeda
mazhab, tapi juga terhadap para pemuka dan penganut agama lainnya. Tak heran
bila beliau mendapat julukan misalnya ’’Bapak Kebhinekaan’’ dan ’’Bapak
Toleransi Indonesia.’’
Tak bisa dibantah, semasa hidupnya KH Hasyim Muzadi
memang dikenal sebagai tokoh lintas agama. Beliau yang pernah memimpin
organisasi Islam terbesar di Indonesia, PBNU (Pengurus Besar Nahdatul Ulama),
punya pergaulan yang luas dengan tokoh agama Kristen, Budha, Konghuchu, dan
Hindu. Berbagai forum internasional mengenai kerukunan antarumat beragama
pernah dihadirinya.
Semasa memimpin NU, beliau tetap menjalin komunikasi
dengan PP Muhammadiyah yang kala itu dipimpin Dien Syamsuddin. Padahal kita
tahu, NU dan Muhammadiyah cenderung berbeda dan selalu ’tegang’ dalam urusan khilafiyah
misalnya tentang penetapan awal Ramadhan atau masalah tahlilan dan doa qunut
dalam sholat subuh. Kiayi Khasyim bisa meredakan ketegangan itu. Taka da keributan
di kalangan umat Islam.
Banyak orang juga mungkin masih ingat, tatkala beliau
pernah menyebarkan ceramah atau pidatonya mengenai toleransi antarpemeluk agama
di negeri ini. Sebagian orang mengeluh tidak ada tolerasi di Indonesia. Namun,
beliau membantah dengan membeberkan fakta-fakta. Kata beliau, dibanding dengan
negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah, kehidupan beragama di Indonesia justru
lebih baik. Di sini memang kadang terjadi konflik agama, tapi tak separah
misalnya di Irak, Afghanistan, Turkey, bahkan di Arab Saudi.
Menyikapi beberapa perbedaan paham di kalangan umat
Islam Indonesia, KH Hasyim Muzadi dikenal sangat toleran. Beliau bukanlah tipe
ulama yang gampang memvonis orang lain dengan tuduhan kafir atau salah. Beliau
amat bijak dan demokrat. Konon beliau pernah mengritik wali murid yang ’’mengkofar-kafirkan’’
orang lain yang tak sepaham. ’’Baru jadi wali murid saja sudah berani bilang
orang lain kafir. Wali Songo, yang wali sungguhan, tidak pernah menuding orang
lain seperti itu,’’ kata almarhum semasa hidupnya.
Tentu saja, kita memang butuh ulama-ulama seperti
beliau, yang lebih mengutamakan persatuan bangsa bila terjadi perbedaan di
antara umat. Ceramah-ceramah beliau sejuk dan merangkul. Tak pernah ada sinisme
atau kebencian. Tak ada pula provokasi atau penghasutan. Sungguh jauh dari
sifat-sifat buruk semacam itu. Yang ada hanyalah ketenangan dan kedamaian.
Semasa hidupnya, KH Hasyim Muzadi juga dikenal sebagai
ulama yang menjaga keseimbangan dengan pemerintah. Beliau tunjukkan bahwa ulama dan umara bisa seiring sejalan dalam membangun bangsa. Karenanya,
beliau pernah diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres)
dan sebelumnya juga pernah menjadi calon wapres mendampingi Capres Megawati
Soekarnoputri pada Pilpres 2004.
Pilihan dan sikap politik almarhum tidak mengubah
konsistensinya dalam kehidupan keagamaan. Ia memang bisa mewakili sosok ulama
yang memperlihatkan betapa Islam bisa menjadi agama yang rahmatan lil alamin bukan hanya di Indonesia, tapi juga di dunia internasional.
Langka kita menemukan ulama seperti itu, apalagi dalam konteks sekarang ini,
lebih banyak muncul ulama yang cenderung suka menimbulkan kegaduhan.
Kita merindukan ulama setaraf dan sekualitas KH Hasyim
Muzadi. Ilmunya mendalam, pergaulannya luas, menghargai perbedaan, dan sangat
tahu maqom-nya sebagai ulama. Meski
pernah jadi cawapres, tapi beliau tak pernah mencapuradukkan agama dan politik,
atau mempolitisasi agama. Tak heran bila
beliau semasa hidupnya menjadi panutan bagi banyak orang termasuk para tokoh
agama. Ucapan dan nasihatnya didengar, perilaku santunnya diikuti, dan
keberadaannya dihormati.
Tidak diragukan lagi, tokoh besar seperti KH Hasyim
Muzadi pasti disukai dan dicintai banyak orang, bukan hanya santrinya dari kalangan nahdiyin. Publik amat setia dan seakan tidak rela kehilangan beliau. Buktinya, ribuan orang menyemut menghadiri
pemakaman sang kiai santun itu. Dengan doa-doa dan juga linangan airmata,
ribuan umat mengantarkan sang kiai ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Selamat jalan KH Hasyim Muzadi.***
Batavia, 17 Maret 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar