Sabtu, 18 Maret 2017

Ulama Langka, KH Hasyim Muzadi

Kalau sudah tiada
baru terasa
bahwa kehadirannya
sungguh berharga
---"Kehilangan'' Rhoma Irama



BILA seorang ulama meninggal dunia, belum tentu 10 atau 20 tahun mendatang ada penggantinya. Bahkan 50 tahun pun mungkin belum ada  yang sama dengannya. Ibarat kematian obor, suasana menjadi gelap. Karena itu, kita akan merasa sangat kehilangan bila ada ulama wafat. Begitulah yang terasa ketika KH Masyim Muzadi berpulang ke ramatullah pada Kamis 16 Maret 2017. Indonesia telah kehilangan salah seorang putra terbaiknya.

Harus diakui, almarhum bukanlah ulama biasa, dalam artian ia memiliki kadar keilmuan yang tinggi dan ketokohan yang teruji. Sifat toleransinya bukan hanya terhadap sesama umat dan tokoh Islam yang berbeda mazhab, tapi juga terhadap para pemuka dan penganut agama lainnya. Tak heran bila beliau mendapat julukan misalnya ’’Bapak Kebhinekaan’’ dan ’’Bapak Toleransi Indonesia.’’

Tak bisa dibantah, semasa hidupnya KH Hasyim Muzadi memang dikenal sebagai tokoh lintas agama. Beliau yang pernah memimpin organisasi Islam terbesar di Indonesia, PBNU (Pengurus Besar Nahdatul Ulama), punya pergaulan yang luas dengan tokoh agama Kristen, Budha, Konghuchu, dan Hindu. Berbagai forum internasional mengenai kerukunan antarumat beragama pernah dihadirinya.

Semasa memimpin NU, beliau tetap menjalin komunikasi dengan PP Muhammadiyah yang kala itu dipimpin Dien Syamsuddin. Padahal kita tahu, NU dan Muhammadiyah cenderung berbeda dan selalu ’tegang’ dalam urusan khilafiyah misalnya tentang penetapan awal Ramadhan atau masalah tahlilan dan doa qunut dalam sholat subuh. Kiayi Khasyim bisa meredakan ketegangan itu. Taka da keributan di kalangan umat Islam.

Banyak orang juga mungkin masih ingat, tatkala beliau pernah menyebarkan ceramah atau pidatonya mengenai toleransi antarpemeluk agama di negeri ini. Sebagian orang mengeluh tidak ada tolerasi di Indonesia. Namun, beliau membantah dengan membeberkan fakta-fakta. Kata beliau, dibanding dengan negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah, kehidupan beragama di Indonesia justru lebih baik. Di sini memang kadang terjadi konflik agama, tapi tak separah misalnya di Irak, Afghanistan, Turkey, bahkan di Arab Saudi.

Menyikapi beberapa perbedaan paham di kalangan umat Islam Indonesia, KH Hasyim Muzadi dikenal sangat toleran. Beliau bukanlah tipe ulama yang gampang memvonis orang lain dengan tuduhan kafir atau salah. Beliau amat bijak dan demokrat. Konon beliau pernah mengritik wali murid yang ’’mengkofar-kafirkan’’ orang lain yang tak sepaham. ’’Baru jadi wali murid saja sudah berani bilang orang lain kafir. Wali Songo, yang wali sungguhan, tidak pernah menuding orang lain seperti itu,’’ kata almarhum semasa hidupnya.

Tentu saja, kita memang butuh ulama-ulama seperti beliau, yang lebih mengutamakan persatuan bangsa bila terjadi perbedaan di antara umat. Ceramah-ceramah beliau sejuk dan merangkul. Tak pernah ada sinisme atau kebencian. Tak ada pula provokasi atau penghasutan. Sungguh jauh dari sifat-sifat buruk semacam itu. Yang ada hanyalah ketenangan dan kedamaian.

Semasa hidupnya, KH Hasyim Muzadi juga dikenal sebagai ulama yang menjaga keseimbangan dengan pemerintah. Beliau tunjukkan bahwa ulama dan umara bisa seiring sejalan dalam membangun bangsa. Karenanya, beliau pernah diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan sebelumnya juga pernah menjadi calon wapres mendampingi Capres Megawati Soekarnoputri pada Pilpres 2004.

Pilihan dan sikap politik almarhum tidak mengubah konsistensinya dalam kehidupan keagamaan. Ia memang bisa mewakili sosok ulama yang memperlihatkan betapa Islam bisa menjadi agama yang rahmatan lil alamin bukan hanya di Indonesia, tapi juga di dunia internasional. Langka kita menemukan ulama seperti itu, apalagi dalam konteks sekarang ini, lebih banyak muncul ulama yang cenderung suka menimbulkan kegaduhan.

Kita merindukan ulama setaraf dan sekualitas KH Hasyim Muzadi. Ilmunya mendalam, pergaulannya luas, menghargai perbedaan, dan sangat tahu maqom-nya sebagai ulama. Meski pernah jadi cawapres, tapi beliau tak pernah mencapuradukkan agama dan politik, atau mempolitisasi agama.  Tak heran bila beliau semasa hidupnya menjadi panutan bagi banyak orang termasuk para tokoh agama. Ucapan dan nasihatnya didengar, perilaku santunnya diikuti, dan keberadaannya dihormati.

Tidak diragukan lagi, tokoh besar seperti KH Hasyim Muzadi pasti disukai dan dicintai banyak orang, bukan hanya santrinya dari kalangan nahdiyin. Publik amat setia dan seakan tidak rela kehilangan beliau. Buktinya, ribuan orang menyemut menghadiri pemakaman sang kiai santun itu. Dengan doa-doa dan juga linangan airmata, ribuan umat mengantarkan sang kiai ke tempat peristirahatan terakhirnya. Selamat jalan KH Hasyim Muzadi.***

Batavia, 17 Maret 2017

       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar