Rabu, 09 Januari 2013

Setelah RSBI Dibubarkan MK....

Tanda terbesar kesuksesan seorang guru adalah ia bisa mengatakan,
'Anak-anak sekarang bisa bekerja sendiri seolah-olah saya sudah tiada'
 --Maria Montessori, dokter dan pendidik Italia, 1870-1952

SEKOLAH itu sunah -- boleh dilakukan dan boleh juga tidak. Sedangkan belajar itu wajib. Dengan belajar kita bisa hidup dan mempertahankan kehidupan. Orang bisa belajar walau tidak bersekolah. Orang juga bisa belajar walau tidak di dalam gedung sekolah. Bahkan banyak orang sukses menjadi pengusaha, menjadi pemimpin politik atau artis terkenal, padahal mereka tidak pernah sekolah. Namun mereka berusaha belajar, belajar dan belajar, kendati secara otodidak atau nonformal.

Karena itu, dihapuskannya RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bukanlah kemunduran atau malapetaka besar dalam dunia pendidikan kita. Terutama di tingkat dasar hingga menengah. Lima atau sepuluh tahun lalu, tanpa RSBI pun banyak anak didik yang berkualitas dan dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yakni perguruan tinggi. Jadi, penghapusan RSBI anggaplah dinamika biasa dalam sistem pendidikan kita.

Penghapusan RSBI justru bagus untuk membangun demokratisasi pendidikan serta pemerataan hak mendaptkan pengajaran bagi generasi muda Indonesia usia sekolah.

Label RSBI memang terkesan keren. Niat awal pendiriannya pun bagus. Sekolah lokal dengan taraf internasional. Selain pengajarnya dipilih yang berkualitas, sistem pengajaran yang setara dengan beberapa sekolah bermutu di luar negeri, bahasa Inggris pun dipakai sebagai pengantar.Walau seleksi agak ketat dan biayanya cukup mahal, tapi banyak peminatnya -- terutama dari kalangan menengah berduit. Tak heran jika banyak SMP dan SMA berlomba membuka kelas RSBI. Guru-guru pun senang mengajar di kelas khusus ini karena bayarannya tentu lebih mahal ketimbang di kelas biasa.

Nah, di situlah masalahnya. Di antara 1.035 RSBI di Indonesia, ternyata banyak yang cuma kedok belaka. Tenaga pengajar dan mutu pelajaran tidak setaraf internasional. Bahkan ada yang tetap menggunakan pengantar bahasa Indonesia. Namun ongkos dan biaya yang dikenakan ke para murid tetap saja mahal. Dengan kata lain, banyak RSBI tidak bertaraf internasional, tapi tetap bertaraf lokal. Tentu saja para orangtua murid merasa rugi. Makanya, mereka merasa senang saat keluar putusan hukum MK bahwa RSBI tidak boleh lagi beroperasi.

Lagi pula praktik RSBI juga menciptakan jurang pemisah antara murid dari keluarga kaya dengan keluarga miskin. Orang-orang kaya tentu tidak keberatan menyekolahkan anaknya di RSBI. Tetapi mereka yang ekonominya pas-pasan, akan menjadi beban berat manakala anak mereka harus masuk RSBI. Sementara banyak sekolah justru memaksakan diri membuka kelas dengan status RSBI, bukan hanya karena gengsi, tapi juga dengan motif ekonomi. Bukankah pihak sekolah dan guru mendapat untung?

Padahal hakikat pendidikan adalah persamaan hak dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Tidak boleh ada gap atau pembedaan karena status sosial dan ekonomi. Ki Hadjar Dewantoro dulu mengajarkan bahwa orang miskin dan orang kaya punya hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan dan pengajaran.  Mana mungkin persamaan hak itu bisa diwujudkan kalau RSBI hanya menerima murid-murid dari keluarga berduit.

Apalagi sejauh ini belum ada penelitian untuk mengukur seberapa besar kontribusi RSBI bagi kemajuan dunia pendidikan di Indonesia khususnya tingkat pertama dan menengah. Bagaimana kualitas siswa lulusan RSBI? Lebih baikkah dibanding lulusan sekolah biasa? Berapa persen di antara mereka yang dapat melanjutkan ke perguruan tinggi? Ke PTN atau PTS? Sejumlah pertanyaan ini belum terjawab guna mengetahui hebat-tidaknya program RSBI. 

Setelah RSBI tiada, sekarang saatnya bagi pemerintah untuk meningkatkan kualitas sekolah-sekolah biasa. Jadikanlah SD, SMP dan SMA sebagai sekolah luar biasa yang juga menghasilkan anak-anak didik yang luar biasa pula. Harus ada upaya perubahan yang radikal: pengajar, cara mengajar, dan materi pelajarannya harus diperbarui hingga melahirkan anak-anak didik yang hebat dan dahsyat!

Pos Pengumben, 10 Januari 2013
ZHM 

Selasa, 01 Januari 2013

Hatta, Tirulah Sikap Presiden Afrika

Hal-hal yang paling penting tidak pernah boleh di bawah 
kekuasaan hal-hal yang paling tidak penting
-- W Von Goethe, penyair Jerman (1749-1832)

BAGI kebanyakan orang, apalagi pejabat tinggi berduit, tahun baru 2013 mungkin saat-saat paling bahagia. Mereka merayakan momentum sekali setahun ini dengan penuh sukacita. Tetapi tidak bagi keluarga besar Hatta Radjasa. Menko Perekonomian ini justru sedang dirundung sedih bahkan duka. Putra bungsunya, Rasyid Amrullah Radjasa, mengalami kecelakaan lalulintas justru di awal Januari tahun ini. Yang menyedihkannya, kecelakaan ini memakan korban dua orang tewas dan beberapa luka parah. 

Kecelakaan maut itu terjadi di tol Jagorawi, Selasa (1/1) pagi. Peristiwanya bermula ketika Luxio bernopol F 1622 CY yang sedang melaju dengan kecepatan sedang di ruas dua jalan tol Jagorawi yang mengarah ke Bogor sekitar pukul 06.00 WIB diseruduk oleh BMW bernopol B 272 HR dari arah belakang. BMW yang dikendarai oleh Rasyid diketahui melaju dengan kecepatan tinggi. Dua orang penumpang Luxio yang duduk di kursi belakang meninggal. Mereka adalah Harun (57) dan Raihan (14 bulan). Selain dua orang tersebut, juga terdapat 3 korban di mobil Luxio, yang mengalami luka-luka, yakni Rival (8 tahun), Nung (32 tahun), dan Supriyati (30 tahun).

Lewat konferensi pers, Hatta dan keluarga besarnya sudah menyatakan permohonan maaf sekaligus memberikan bantuan bagi keluarga korban. Dia juga memohon doa kepada masyarakat agar kedua belah pihak segera pulih dari beban psikologis. Bahkan Hatta pasrah dan menyerahkan kasus anak bungsunya itu kepada kepolisian. 

Sebetulnya kecelakaan lalulintas ini tidak terlalu besar tapi juga tidak bisa dikatakan kecil. Dari jumlah korban, terbilang sedang-sedang saja. Tapi menjadi berita besar bahkan agak kontroversial lantaran melibatkan anak pejabat tinggi, anak seorang menteri. Sebagai Menko Perekonomian, posisi Hatta memang amat sentral dan vital dalam kabinet SBY. Hatta pula yang ikut serta dalam perekrutan dan penyusunan kabinet. Apalagi Hatta juga merupakan besan Presiden SBY, maka lengkaplah insiden ini menjadi big news. 

Kecelakaan maut itu langsung menjadi trending topic di media-media jejaring sosial seperti facebook, twitter, dan BlackBerry Massenger/BBM. Tidak semua orang menyatakan prihatin atau ikut berduka. Lebih banyak yang sinis: apakah polisi akan berani memproses kasus anak menteri? Apakah polisi akan menahan Rasyid Amrullah Radjasa? Apakah nanti dia juga akan diadili? Atau justru malah dibebaskan? Walaupun Hatta sudah minta maaf dan menyerahkan kasus anaknya itu ke polisi, apakah polisi benar-benar berani memproses kasusnya jika Rasyid terbukti bersalah dalam kecelakaan tersebut?

Keraguan publik itu sangat wajar, mengingat di Indonesia anak pejabat tinggi cenderung ''kebal hukum.'' Ada banyak anak pejabat terlibat kasus (misalnya narkoba, perkelahian, skandal seks, dan sebagainya), tapi mereka seringkali lolos dari hukuman. Aparat penegak hukum tidak berani memproses kasusnya. Bisa karena sungkan, takut, dan bisa pula karena adanya intervensi dari sang pejabat. Hukum di negeri ini masih bagai pisau dapur: tumpul bagi anak dan keluarga pejabat, tapi tajam bagi rakyat. 

Hatta dan para pejabat tinggi Indonesia, sudah semestinya meniru sikap Presiden Republik Afrika Tengah, Francois Bozize. Apa yang dilakukan Bozize ketika tahu anaknya terlibat kasus penipuan? Dia langsung memerintahkan aparat kepolisian menahan anaknya, Kevin Bozize. Kevin dilaporkan telah menolak membayar tagihan senilai 12.000 euro atau sekitar Rp 146,6 juta dari sebuah hotel di Bangui, ibu kota negara tersebut. Kevin Bozize dilaporkan telah ditahan tanggal 6 November atas instruksi ayahnya. 

Bahkan, dulu di zaman Rasulullah dan para sahabatnya, anak-anak pejabat tidak diberikan sedikit pun fasilitas milik negara. Mereka dilarang menggunakan benda-benda yang dipakai orangtuanya selaku pejabat. Juga, tatkala mereka terlibat kasus pelanggaran hukum, tidak akan dibela atau dilindungi oleh orangtua mereka. Aparat hukum dipersilakan menangkap, menahan, bahkan memenjarakan mereka. Hukum ditegakkan tanpa pandang bulu dan tidak tebang pilih. 

Adakah sikap ksatria pejabat-pejabat di zaman dulu itu pada diri pejabat zaman sekarang? Kita bisa melihat dan mengujinya ketika anak-anak mereka terlibat suatu perkara... Lebih banyak yang membela dan melindunginya mati-matian ketimbang menyerahkan ke aparat hukum demi tegaknya hukum dan keadilan...

Pos Pengumben, 2 Januari 2013
ZHM