Senin, 04 Agustus 2014

''Newcomer'' DKI

Pipa kosong menghembuskan angin
Kepala kosong menghasilkan kegelapan
--Mathius Claudius, penyair Jerman (1740-1815)


A:  Kenapa ke Jakarta?
B:  Mau cari kerja

A:  Selain itu?

B:  Pengen seperti Jokowi
A:  Maksudnya?

B:  Iya, Jokowi kurang dari dua tahun tinggal di Jakarta, langsung

     jadi Presiden!

A:  ???


DIALOG itu terdengar di antara penumpang kereta api di Stasiun Gambir, Jakarta, saat puncak arus balik mudik Lebaran 2014. Mungkin Anda tersenyum karena ucapan spontan mereka terkesan lugu dan lucu.  Boleh jadi, begitulah gambaran umum kaum pendatang baru (newcomer) ke Ibukota. Dengan harapan tinggi, mereka ingin mengadu nasibnya.
Tahun ini, diperkirakan Jakarta ’kemasukan’ sekitar 70.000 pendatang baru. Jumlah yang cukup besar tentunya. Padahal sudah diingatkan, para pemudik jangan bawa orang baru saat balik. Nyatanya, peringatan itu tak ampuh, dan seperti biasa: mudik 1, balik 10; mudik 2, balik 20; mudik 3, balik 30. Alhasil, setiap habis lebaran, Jakarta penuh kaum urban.

Tak bisa dipungkiri, Jakarta memang masih bak lampu neon yang menarik laron-laron datang dari segala penjuru. Jakarta masih bagaikan gula yang dirubung semut. Karena Jakarta masih menjadi segalanya dibanding kota-kota besar lain di Indonesia. Ibukota ini merupakan sumber uang, ekonomi, politik, budaya, dan gaya hidup.

Siapa yang berhasil menaklukkan Jakarta, berarti dia sukses. Orang nomor satu Indonesia, berkiprah di Jakarta. Orang terkaya Indonesia, juga berbisnis di Jakarta. Artis terkenal Indonesa, pun lebih sering manggung di Jakarta.  Siapa pun orang Indonesia yang ingin berjaya, hampir tak bisa dipisahkan dari Jakarta. Makanya Jakarta pernah bernama ”Jayakarta” yang berarti: kota kemenangan atau kejayaan...

Akan tetapi, urbanisasi telah lama menjadi persoalan besar bagi Jakarta. Di lain sisi, melarang orang-orang dari daerah lain datang ke Jakarta juga rasanya kurang elok. ’’Tidak mungkin kita membuat pagar yang tinggi, lalu menggemboknya, sehingga orang dari desa tidak bisa masuk Jakarta,’’ kata Gubernur Jokowi. Dan, memang, tidak ada undang-undang yang mengatur tentang itu. Kecuali sebatas imbauan.

Selama ini, harus diakui, Pemprov DKI Jakarta telah berjuang mengatasi urbanisasi. Lewat berbagai langkah yang dipandang strategis. Misalnya, merazia para pendatang baru yang tidak memiliki KTP DKI, lalu memulangkan mereka ke daerah asalnya. Namun cara ini tak sebanding mengingat derasnya arus urbanisasi.

Wagub Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) juga melontarkan wacana akan memindahkan kawasan-kawasan pabrik dan industri di beberapa wilayah Jakarta. Soalnya, pabrik-pabrik itu telah menarik kaum pendatang baru dari daerah. Mereka yang rata-rata kaum muda, berpendidikan rendah, mau bekerja walau dengan upah murah.

Yang jadi masalah, mereka tinggal di kawasan-kawasan ilegal di DKI Jakarta. Mereka pun tidak memiliki identitas yang jelas (seperti KTP DKI), juga tidak memenuhi syarat alias melanggar aturan. Mereka menjadi masalah dalam penataan penduduk Jakarta.

’’Kebanyakan mereka tinggal di bantaran kali. Anda tahu kan, bantaran kali adalah daerah terlarang bagi pemukiman dan sudah kita bersihkan. Maka saya akan memangkas akar masalahnya, yaitu memindahkan pabrik-pabrik yang mempekerjakan mereka, ke daerah lain,’’ ungkap Ahok kepada pers.

Sebetulnya, kalau kaum pendatang baru itu memiliki keterampilan dan berani bersaing dalam dunia kerja, tak terlalu masalah. Yang jadi problema besar adalah, kalau mereka itu berpendidikan rendah, tidak memiliki keterampilan kerja, dan juga malas. Mereka pasti akan kalah. Mereka akan gagal menaklukkan Jakarta. Akhirnya, banyak yang jadi gelandangan, pengemis, dan ’sampah masyarakat.’

Dalam konteks itu, Jakarta mungkin SURGA bagi sebagian orang, tetapi menjadi NERAKA bagi para pendatang lainnya. Bukan lagi masalah keadilan atau ketidakadilan yang diberikan oleh pemerintah DKI Jakarta, melainkan soal kemampuan personal warga, khususnya para pendatang baru. Siapa yang mampu akan eksis, yang tidak mampu bakal tersingkir. Ini hukum alam. Di mana pun berlaku.

Kebon Jeruk, 5 Agustus 2014
ZHM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar