Selasa, 05 Agustus 2014

Ngerumpiin Menteri

Pemimpin tidak menciptakan pengikut,
mereka menciptakan lebih banyak pemimpin
--Tom Peters, konsultan politik (1942--)
 
MESKI hasil Pilpres 2014 digugat kubu Prabowo-Hatta ke MK, yang sidangnya mulai digelar hari Rabu ini, hampir dipastikan gugatan itu bakal kandas karena materinya lemah. Tuduhan dari kubu Capres nomor 1 bahwa Pilpres berlangsung curang secara terstruktur,  massif dan sistematis, dianggap terlalu mengada-ada. Gambaran sikap tak siap dan tak rela kalah. Maka, banyak kalangan yakin 1000% pasangan Presiden-Wapres terpilih Jokowi-Jusuf Kalla bakal resmi dilantik pada 20 Oktober mendatang.
 
Karena itu, Jokowi-JK tidak perlu membuang waktu dan energi, langsung konsentrasi menyusun kabinetnya. Sejak dua pekan terakhir proses itu sudah dimulai. Jokowi misalnya membentuk markas yang dinamakannya Rumah Transisi, di kawasan Menteng. Di situ ada tim yang diketuai Rini Soewandi. Jokowi juga menerima masukan dari masyarakat lewat medsos Facebook tentang usulan siapa-siapa saja tokoh yang layak jadi menteri. Meskipun, daftar resminya, sepenuhnya merupakan hak prerogatif Jokowi-JK.
 
Sampai detik ini belum ada bocorannya. Di sejumlah media cetak memang sempat beredar sejumlah nama. Tapi, itu cuma utak-atik kalangan jurnalis dengan meminta pendapat pengamat politik. Daftar lengkap kandidat menteri, masih jadi misteri. Pihak Jokowi mengatakan masih terus melakukan penjaringan. Apalagi dengan ada gugatan ke MK, Presiden SBY sempat mengingatkan Jokowi agar sabar; jangan tergesa-gesa, tunggu hasil putusan MK. Setelah itu bolehlah proses seleksi calon menteri dipublikasi.
 
Meski begitu, di masyarakat sudah jadi bahan rerumpian siapa saja yang berpeluang dan kemungkinan diangkat jadi menteri. Di banyak tempat seperti warung kopi, pangkalan ojek, pos ronda, kantin kantor, bahkan cafe-cafe dan lobi hotel, orang mulai ramai merumpikan calon menteri. Dari soal nama, kriteria calon, syarat, hingga nama kabinet pun digunjingkan. Kita coba merekam rerumpian itu.
 
Misalnya ada yang mengatakan -- meski klise -- calon-calon menteri baru harus lebih banyak dari kaum profesional. Kalangan ini dianggap lebih punya skil, mampu bekerja, dan bersih dari kepentingan pribadi atau golongan. Sedangkan dari kalangan parpol sebaiknya sedikit saja, terutama dari parpol yang ikut koalisi dan pengusung utama Jokowi-JK. Menteri dari parpol dianggap rawan korupsi, sebagaimana terjadi selama ini.
 
Kemudian masyarakat juga berharap calon-calon menteri itu harus orang-orang yang siap dan mau bekerja. Mereka ikhlas mengabdi dan melayani rakyat, bukan sebaliknya minta dilayani rakyat. Karakter menteri yang mau bekerja dianggap sebagai kebutuhan utama, mengingat begitu banyak persoalan rakyat dan bangsa yang harus segera dibenahi. Masyarakat berharap Jokowi tidak salah menempatkan menteri; selain mau bekerja, juga ahli pada bidangnya. Dengan begitu diharapkan jabatan dan keberadaan sang menteri benar-benar bermanfaat, tidak sia-sia.
 
Masyarakat menganggap selama ini, misalnya di masa Pemerintahan SBY, ada beberapa menteri yang terasa kurang berfungsi. Jangankan hasil kerjanya, menterinya pun kurang dikenal masyarakat. Cukup banyak masalah yang tak dapat ditanganinya. Pos-pos menteri semacam itu diharapkan tidak ada lagi. Lebih baik mengangkat menteri baru karena kebutuhan, berdasarkan masalah besar yang dihadapi bangsa. Jokowi sepertinya telah memberi sinyal memilih menteri yang hanya dibutuhkan bangsa.
 
Dari rerumpian masyarakat, terdengar pula ada yang mengharapkan Jokowi tidak melakukan proses seleksi menteri seperti pentas "Indonesian Idol." Cara ini pernah dipakai Presiden SBY ketika menyusun Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2. Calon-calon diundang datang ke kediamannya di Cikeas. Proses itu menjadi bahan liputan media terutama ditayangkan di TV-TV. Sayangnya, tidak semua tokoh yang diundang itu akhirnya menjadi menteri. Banyak juga yang gagal atau tak terpilih.
 
Banyak kalangan menyayangkan model rekrutmen kabinet seperti itu. Bagi tokoh-tokoh yang terpilih mungkin tidak masalah, tapi yang gagal tentu merasa kecewa. Mereka telah telanjur diekspose dan pasti merasa senang karena disebut-sebut bakal jadi menteri, ternyata tidak jadi. Makanya, diharapkan, sebaiknya proses seleksi tak perlu dipublikasi. Lebih baik hasil finalnya saja yang diumumkan, karena toh itu hak prerogatif Presiden Jokowi. Selain itu juga untuk menghindari kekecewaan calon-calon yang tak terpilih.
 
Selain nama, kriteria dan prosesnya, ada juga terdengar usulan tentang nama kabinet yang akan dipakai Jokowi-JK nanti. Misalnya ada yang usul namanya Kabinet Revolusi Mental. Nama ini dianggap sebagai wujud jargon yang dipakai Jokowi selama kampanyenya. Nama ini juga diharapkan berimplikasi positif terhadap mental para menteri, terutama agar tidak melakukan korupsi dan berbagai bentuk penyelewengan kekuasaan (abuse of power). Kabinet Revolusi Mental dianggap cocok untuk mengubah mentalitas para pejabat negara (birokrat) yang selama ini dianggap kurang sehat.
 
Ada pula yang mengusulkan namanya Kabinet Kerja. Nama ini dianggap sejalan dan mempersonifikasikan karaktar Jokowo-JK yang lebih suka bekerja daripada hanya berkata-kata atau mengumbar pernyataan. Bahkan Kabinet Kerja dianggap menjadi stimulus bagi para menteri agar selalu bekerja, dan merasa malu jika hanya dengan pidato, iklan, atau pencitraan. Harus diakui, menteri-mentari yang bekerja memang lebih disukai rakyat.
 
Bahkan ada juga yang mengusulkan nama Kabinet Tiga Jari. Nama ini dianggap sebagai simbol persatuan, sebagaimana bunyi sila ketiga Pancasila, atau istilah yang dipakai Jokowi saat pidato kemenangannya  di atas kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa, beberapa jam setelah pengumuman hasil Pilpres oleh KPU pada 22 Juli lalu. Lucunya pula, ada yang mengusulkan beberapa nama seperti: Kabinet Kotak-kotak, Kabinet Satrio Piningit, Kabinet Presiden Ketujuh, dan Kabinet Pasca Reformasi.
 
Begitulah rumpian masyarakat dan rakyat tentang calon-calon menteri bagi kabinet Jokowi-JK. Suka atau tidak, tepat atau tidak, semuanya harus didengar sebagai cerminan sikap yang demokratis. Rakyat berharap Jokowi-JK menerima dan menjaring semua masukan dari masyarakat, kemudian memutuskannya secara tepat.
 
Apa pun itu, serahkanlah sepenuhnya kepada Jokowi-JK. Kita sangat percaya bahwa orang baik akan memilih orang baik. Orang baik memiliki standar,  citarasa dan feeling yang baik pula tentang segala hal yang baik-baik.
 
Batavia, 6 Agustus 2014
ZHM
 
 
 
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar