Minggu, 16 Desember 2012

"Nasionalisme" Guns N' Roses

RIGHT OR WRONG IS MY COUNTRY; If Right, 
To Be Kept Wright; and If Wrong, To Be Set Right
--Carl Schurz, Reformis Amerika (1872--)


SAYA bukan penggemar fanatik Guns N' Roses (GNR). Tapi, merasa salut dan bangga mendengar kabar band rock asal Amerika itu memainkan melodi lagu Indonesia Raya saat manggung di Ancol, Minggu (16/12) kemarin. Konon para penonton pun terkaget-kaget. Mereka tak menyangka, di tengah pertunjukan itu salah seorang personel GNR tiba-tiba memetik gitar. Terdengarlah nada-nada lagu kebangsaan kita. Spontan para penonton serentak menyanyikan lagu itu. Suasana pun jadi haru....

Itu peristiwa langka, malah hampir tak ada grup musik luar yang pernah konser di sini menyanyikan lagu kebangsaan kita. Bahkan grup-grup musik dalam negeri pun jarang sekali melakukan hal serupa, kecuali saat pentas di peringatan HUT kemerdekaan RI. Setidaknya, GNR telah mencatatkan sejarah baru dalam industri musik dan seni pertunjukan di sini: mereka menghormati bangsa dan negara Indonesia.

Lantas, bagaimana dengan kita? Jujur saja, kita justru kurang menghargai dan menghormati lagu kebangsaan sendiri. Bisa dihitung berapa kali kita menyanyikannya dalam setahun. Bisa dihitung pula berapa orang dewasa, pelajar dan mahasiswa, atau anak-anak muda masa kini yang hafal lirik Indonesia Raya. Barangkali jauh lebih banyak yang fasih dengan lirik lagu Begadang-nya Rhoma Irama, atau Separuh Aku-nya Ariel NOAH, atau lagu-lagu bertema cinta platonik lainnya.

Sejak lama, generasi terbaru Indonesia memang mengalami krisis nasionalisme termasuk dalam hal mengenal lagu-lagu kebangsaan kita khususnya Indonesia Raya. Kalau misalnya diminta menyanyikan lagu itu, kita pasti diam atau gagap karena tidak hafal. Banyak orang hanya 'berani' menyanyikannya bersama-sama karena bila salah ucap lirik tidak akan ketahuan. Coba saja buktikan, di acara keramaian yang mengharuskan lagu kebangsaan ini dilantunkan, orang-orang tidak akan keberatan karena menyanyikannya secara keroyokan. Itu pun seringkali sekadarnya saja alias tidak bersungguh-sungguh sehingga tampak kurang khidmat.

Nasionalisme memang tidak bisa diukur hanya lewat hafalan lagu-lagu kebangsaan. Tentu banyak hal bisa dilakukan. Tetapi, bangsa yang kurang menghargai dan menghormati lagu kebangsaannya, patut juga diragukan kadar nasionalismenya. GNR setidaknya telah mengingatkan sekaligus menyadarkan kita: dalam ingar-bingar musik rock pun ada nasionalisme. Dalam hura-hura hiburan -- yang urakan sekalipun -- tetap ada rasa kebangsaan. Jangan ditinggalkan atau dilupakan. 

Kita memang perlu berkaca pada sikap orang-orang bule. Sebebas-bebasnya gaya hidup mereka, hampir tak pernah merendahkan lagu kebangsaannya. Mereka senantiasa hormat dan khidmat saat menyanyikannya. Contoh nyata dan paling sering kita lihat di lapangan sepakbola. Tim-tim sepakbola dunia saat mengikuti ajang besar seperti Piala Eropa atau Piala Dunia, selalu dengan serius menyanyikan lagu kebangsaannya sebelum berlaga. Tak ada yang sambil cengengesan atau pura-pura menyanyikannya. Mereka khusyu dan khidmat. Lagu kebangsaan membakar semangat juang mereka. Sebaliknya, timnas sepakbola kita kerap ogah-ogahan menyanyikan lagu kebangsaan sendiri.

Kurang cintanya orang Indonesia terhadap lagu Indonesia Raya pasti bukan lantaran liriknya terlalu panjang. Pasti bukan. Sebab banyak lagu yang liriknya jauh lebih panjang justru mereka hafal dan menyukainya hampir sepanjang hidupnya. Lantas, karena apa? 

Bisa jadi karena sistem pendidikan Indonesia -- dari SD hingga perguruan tinggi -- kini kurang memberikan pelajaran nasionalisme. Dulu, kita diajarkan lagu-lagu perjuangan seperti Maju Tak Gentar, Halo-halo Bandung, Berkibarlah Benderaku, Rayuan Pulau Kelapa, dan sebagainya. Kita akan dimarahi guru jika tidak bisa menyanyikannya.  Sekarang murid yang tidak hafal lagu perjuangan bangsa, mungkin dibiarkan saja. Murid yang hafal lagu Iwak Peyek atau lagu senam disco Gangnam Style malah diapresiasi.

Apalagi televisi dan radio kini nyaris tak pernah lagi menyiarkan lagu-lagu kebangsaan. Sehingga, ABG zaman sekarang tidak familiar bahkan merasa asing dengan lagu perjuangan bangsa sendiri termasuk lagu Indonesia Raya. Tak ada RBT (Ring Back Tone) untuknya kecuali lagu pop, dangdut, rock  dan jazz, atau lagu masa kini yang sekadar 'asal enak didengar'.

Mungkin pula karena sistem politik kita sudah kering bahkan jauh dari nilai-nilai nasionalisme. Yang berkembang sekarang adalah paham materialisme dan hedonisme. Tak ada pejabat negara yang benar-benar mau berjuang atau mengabdi untuk kepentingan publik. Mereka berlomba dan mengejar kursi kekuasaan semata. Segalanya diukur dengan uang dan serba kebendaan. Bila kekuasaan telah diraih, maka berlomba-lomba pula memperkaya diri serta menikmatinya sepuasnya -- tidak peduli dan persetan dengan nasib rakyat yang hidup melarat. Dalam politik yang demikian apakah masih mungkin orang hafal lagu Indonesia Raya dan menyanyikannya dengan syahdu, khusyu dan khidmat?

Maka, boleh jadi Gun N' Roses lebih fasih menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya daripada kita sendiri !

Pos Pengumben, 17 Desember 2012
ZHM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar