Jumat, 09 November 2012

Jawa Barat "Dikuasai" Seleb-Birokrat

Tinggalkan saja diriku
yang tak mungkin menunggu
jangan pernah memilih
aku bukan pilihan
-- Iwan Fals

SEPULUH tahun yang lalu ada yang memprediksi. Bahwa wilayah Jawa Barat bakal dikuasai artis. Maksudnya, di provinsi ini banyak artis yang akan menjadi pejabat publik. Dari bupati, walikota, hingga gubernur. Prediksi tersebut tak meleset jauh. Terbukti, muncullah Rano Karno menjadi Wakil Bupati Tangerang dan kemudian menjadi Wakil Gubernur Banten. Dicky Chandra jadi Wakil Bupati Garut walau akhirnya mengundurkan diri.  Sedangkan Dede Yusuf menjadi Wakil Gubernur Jabar. 

Bandingkan dengan di daerah lain, hampir tak ada selebriti menjadi pejabat birokrasi. Kecuali di Jambi, Bupati  Tanjung Jabung Timur dijabat Zumi Zola, yang juga seorang artis.  Maka Jawa Barat boleh dibilang menjadi satu-satunya wilayah geopolitik Indonesia yang dipenuhi selebriti. Karena mereka masuk di jajaran pejabat birokrat, sebut saja dengan istilah: seleb-birokrat.

Fenomena seleb-birokrat menguasai Jawa Barat semakin jelas misalnya di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jabar kali ini. Pilgub-nya digelar pada Februari 2013. Tahap pendaftaran sudah dimulai. Ada sejumlah artis yang ikut bertarung. Rieke "Oneng" Diah Pitaloka jadi cagub dari PDIP. Deddy Mizwar jadi cawagub PKS. Dan, tentu saja, Dede Yusuf jadi cagub Partai Demokrat. Sempat beredar pula nama Nurul Arifin untuk jadi cawagub Partai Golkar, tapi akhirnya batal. Siapa pun yang menang, hampir bisa dipastikan bahwa di antara para artis itu akan menjadi gubernur ataupun wakil gubernur baru di Jawa Barat. Alhasil, di Jawa Barat banyak seleb-birokrat.

Mengapa mereka dipilih? Tak usah heran. Mereka popular, ngetop, sehingga memiliki elektabilitas yang tinggi. Apalagi calon-calon dari parpol kurang dikenal publik, maka ketenaran sang artis sangat menguntungkan dan dimanfaatkan sebagai penangguk suara (vote getter). Dalam Pilgub kali ini misalnya, PKS sengaja  memasang aktor kawakan Deddy Mizwar mendampingi cagub Ahmad Heryawan. Ini semata-mata untuk mengimbangi sekaligus melawan ketenaran Dede Yusuf dan Oneng. Ketiga artis ini akan berebut suara pemilih.

Yang jadi pertanyaan, jika sang artis telah terpilih, bisakah dan mampukah ia menjadi pejabat publik? Nah, di sinilah persoalannya. Kalau sekadar terpilih jadi bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota, gubernur atau wakil gubernur, mungkin sangat mudah bagi sang artis. Repotnya kalau ia tidak mampu menjalani tugasnya sebagai pejabat. Sangat mungkin terjadi karena ia  tidak punya pengalaman sebagai politisi maupun pejabat. Sehingga, tatkala sebagai seleb-birokrat, tak banyak yang bisa diperbuat. Jadilah ia sebagai pajangan saja, atau sebagai pelengkap belaka.

Di DPR saja, misalnya, cukup banyak artis jadi anggota dewan. Mereka pun masuk kategori seleb-birokrat. Tapi berapa besar kontribusi mereka? Apakah mereka mengubah atau minimal mewarnai parlemen? Nyatanya tidak, karena tetap didominasi para politisi yang secara kemampuan dan pengalaman jauh lebih memadai. Bahwa ada satu dua orang yang kelihatan menonjol, tapi tetap tenggelam di antara para politisi sejati. Seleb-birokrat di DPR cenderung hanya sebagai 'penggembira' saja.

Seleb-birokrat kita memang belum setaraf Ronald Reagen ataupun Arnold Scwarzenegger di Amerika. Masih jauh panggang dari api. Seleb-birokrat kita masih demam panggung. Bahkan mereka hampir tidak bisa membedakan: mana panggung politik dan mana panggung hiburan. Jadilah tingkah polah mereka yang gamang seperti yang terlihat sekarang.

Lantas, mengapa masih suka mengusung artis jadi kandidat seleb-birokrat, jadi calon pejabat publik? Ya karena partai-partai politik telah gagal, tak punya kader atau calon pemimpin yang bagus. Juga karena parpol-parpol malas; pengennya mengambil jalan pintas untuk merebut kursi kekuasaan itu. Tak peduli calon yang diusung sebenarnya tak bermutu....

Jakarta, 10 November 2012.
ZHM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar